Ilmu menurut Imam Ghozali
Oleh Fejri Gasman
“Idza zaadani ‘ilman, zaadani fahman
bijahliâ€
(Imam Ghozali)
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Dalam perjalanan hidupnya dalam menuntut ilmu
bahwa beliau terlahir dari keluarga yang kental dengan agama. Ayah beliau
adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan
menjualnya di kota Thusi.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.â€
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.â€
Setelah meninggal, maka temannya tersebut
mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit
tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya
dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah
membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin
yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke
madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang
dapat membantu kalian berdua.â€
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut.
Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah
diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala
, akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.†(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun
bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil
pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis
dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah
nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak
yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau
tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad)
menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih
kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota
Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al
Isma’ili dan menulis buku At
Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru
kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil
menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu
perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan
para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun
tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam
Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.
Pembagian Ilmu
Dalam buku Ihya Ulumuddin di bab pertama, beliau menulis tentang
Ilmu. Menurut Imam Ghozali, Ilmu itu terbagi menjadi 2: yaitu Ilmu mu’amalah
dan Ilmu Mukasyafah. Dalam Ilmu Mu’amalah ada yang syari’ah dan
tidak syar’iah. Yang syar’iyah juga terbagi menjadi 2, ilmu mahmudah (terpuji)
dan ilmu madzmumah (tidak terpuji): disebut ilmu mahmudah
karena ilmu itu bermanfaat untuk maslahat umat. Di ilmu mahmudah pun
dibagi menjadi 4: Ushul, Furu’, Muqoddimat, dan Mutammimat.
1. Ilmu Ushul
seperti Al-Qur’an dan Assunnah.
2. Ilmu Furu’
itu ilmu penunjang, ini pun dibagi menjadi 2; pertama, penunjang mashlahat
duniawi seperti, ilmu fiqh, ilmu ‘aqoid, kedokteran, hisab, falak, politik,
ekonomi dsb; dan kedua, penunjang mashlahat ukhrowi seperti ‘ilm
ahwalul qolb dan ‘ilm akhlaqul mahmudah wal madzmumah
3. Ilmu Muqoddimaat
adalah ilmu sebagai alat pembantu untuk memahami ilmu ushul, Seperti Nahwu, Shorf, Balaghoh dsb.
4. Ilmu Mutammimat
adalah ilmu yang menyempurnakan ilmu ushul seperti ta’limul
qiro’at, makharijul huruf, atau yang berkaitan dengan makna seperti ilmu
tafsir, ilmu kalam, dsb
Sedangkan Ilmu madzmumah (tidak
terpuji) itu dicontohkan beliau seperti Sihr, Talbis, ‘Tholsimaat
dan ‘Ilm Asy-Sya’idah. ‘Ilm yang tidak syar’iyah adalah ilmu yang tidak
dimanfaatkan oleh para anbiya ketika tidak ada kaitannya dengan ‘aql seperti al-hisab,
atau Tajribah seperti At-thib, dan Sima’ seperti bahasa.
Ilmu mu’amalah ini dibebankan kepada seorang hamba yang berakal dan mampu untuk berbuat
dengannya. Disini, beliau menjelaskan bahwa ilmu ini sangat berkaitan erat
dengan ‘ilm ahwalil qolb (Ilmu keadaan hati) artinya dengan ‘Ilmu
manusia itu bisa menjadi terpuji ataupun tercela. Oleh Karena itu, tidak akan
bermanfaat ilmu seseorang bila dia mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji,
Dalam ‘ilmu mu’amalah ini Imam Ghozali membaginya menjadi 2 yaitu:
hati yang terpuji dan hati yang tercela.
Pertama, Hati yang terpuji seperti Shabr, Syukr, Khouf (takut), Rojak (pengharapan), Ridho (rela), Zuhd, Taqwa, Qona’ah (merasa cukup), Sakha (dermawan), Husnu dzon (baik sangka), Shidq (Jujur), dsb. Ilmu akan banyak manfaatnya bila seseorang mempunyai sifat hati yang baik.
Kedua, Ilmu tidak akan bermanfaat bila hati dipenuhi sifat-sifat yang tercela seperti hasd (iri), hubbutsana’ (suka pujian), al-kubr (sombong), riyak, ghodob (marah), al-adawah (suka permusuhan), thomak, bakhil, dsb. Sama seperti perkataan seorang ‘ulama: â€man lam yashun nafsahu, lam yanfa’hu ‘ilman,†artinya barangsiapa yang tidak menjaga (kehormatan) dirinya, maka ilmu tidak akan bermanfaat untuknya.
hati yang terpuji dan hati yang tercela.
Pertama, Hati yang terpuji seperti Shabr, Syukr, Khouf (takut), Rojak (pengharapan), Ridho (rela), Zuhd, Taqwa, Qona’ah (merasa cukup), Sakha (dermawan), Husnu dzon (baik sangka), Shidq (Jujur), dsb. Ilmu akan banyak manfaatnya bila seseorang mempunyai sifat hati yang baik.
Kedua, Ilmu tidak akan bermanfaat bila hati dipenuhi sifat-sifat yang tercela seperti hasd (iri), hubbutsana’ (suka pujian), al-kubr (sombong), riyak, ghodob (marah), al-adawah (suka permusuhan), thomak, bakhil, dsb. Sama seperti perkataan seorang ‘ulama: â€man lam yashun nafsahu, lam yanfa’hu ‘ilman,†artinya barangsiapa yang tidak menjaga (kehormatan) dirinya, maka ilmu tidak akan bermanfaat untuknya.
Dalam Ilmu Mukasyafah, Imam Ghozali menjelaskan bahwa ilmu ini
adalah sebagai tujuan “ghoyah†dari semua ilmu karena dia yang berkaitan
dengan batin dan pensucian jiwa (purification of soul). Dia diibaratkan seperti
cahaya yang menerangi hati seseorang dan yang mensucikan dari sifat-sifat
tercela. Ilmu ini adalah ilmu para Shiddiqun dan Muqorrobun.
Oleh karena itu Imam Ghozali menjelaskan lagi bahwa ilmu itu wajib untuk
dipelajari, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: Menuntut ilmu itu
menjadi kewajiban bagi setiap Muslim.
Dalam konteks ini beliau menjelaskan bahwa ilmu-ilmu yang fardhu dipelajari ada lebih dari 20 kelompok seperti kelompok al-Mutakallimun: mereka mengatakan bahwah Ilmu Kalam itu wajib dipelajari karena dapat mengetahui ke-tawhid-an dan Dzat Allah Subhanahu dan juga sifat-sifat_Nya. Ada juga kelompok al-Fuqoha’: mereka mengatakan Ilmu Fiqh itu wajib untuk dipelajari karena dengannya bisa mengetahui ‘Ibadah, halal dan haram dan apa-apa yang diharamkan dan dihalalkan dari mu’amalah . dsb. Oleh karena itu pembagian-pembagian diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya ilmu itu dipelajari.
Dalam konteks ini beliau menjelaskan bahwa ilmu-ilmu yang fardhu dipelajari ada lebih dari 20 kelompok seperti kelompok al-Mutakallimun: mereka mengatakan bahwah Ilmu Kalam itu wajib dipelajari karena dapat mengetahui ke-tawhid-an dan Dzat Allah Subhanahu dan juga sifat-sifat_Nya. Ada juga kelompok al-Fuqoha’: mereka mengatakan Ilmu Fiqh itu wajib untuk dipelajari karena dengannya bisa mengetahui ‘Ibadah, halal dan haram dan apa-apa yang diharamkan dan dihalalkan dari mu’amalah . dsb. Oleh karena itu pembagian-pembagian diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya ilmu itu dipelajari.
Dan akhirnya, bisa disimpulkan bahwa kewajiban menuntut ilmu merupakan
tuntutan setiap orang bukan keniscayaan, dan musuh manusia paling besar adalah
kebodohan “Annasu a’da_un ma jahiluâ€.
“Belajar itu murah tapi ilmu itu mahalâ€
"lare ngreco"
the new generations
of traditional Islamic shool
Tidak ada komentar:
Posting Komentar