Sabtu, 22 Oktober 2011

Ilmu menurut Imam Ghozali

Ilmu menurut Imam Ghozali
Oleh Fejri Gasman
“Idza zaadani ‘ilman, zaadani fahman bijahli”
(Imam Ghozali)

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa, untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan diamalkan dengan baik dan ikhlas hanya kerana Allah S.W.T.
 
Dalam perjalanan hidupnya dalam menuntut ilmu bahwa beliau terlahir dari keluarga yang kental dengan agama. Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. 
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, â€œSungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
 
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, â€œKetahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
 
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, â€œKami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
 
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
 
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
 
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
 
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
 
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
 
Pembagian Ilmu
Dalam buku Ihya Ulumuddin di bab pertama, beliau menulis tentang Ilmu. Menurut Imam Ghozali, Ilmu itu terbagi menjadi 2: yaitu Ilmu mu’amalah dan Ilmu Mukasyafah. Dalam Ilmu Mu’amalah ada yang syari’ah dan tidak syar’iah. Yang syar’iyah juga terbagi menjadi 2, ilmu mahmudah (terpuji) dan ilmu madzmumah (tidak terpuji): disebut ilmu mahmudah karena ilmu itu bermanfaat untuk maslahat umat. Di ilmu mahmudah pun dibagi menjadi 4: Ushul, Furu’, Muqoddimat, dan  Mutammimat.
 
1.    Ilmu Ushul seperti Al-Qur’an dan Assunnah.
2.   Ilmu Furu’ itu ilmu penunjang, ini pun dibagi menjadi 2; pertama, penunjang mashlahat duniawi seperti, ilmu fiqh, ilmu ‘aqoid, kedokteran, hisab, falak, politik, ekonomi dsb; dan kedua, penunjang mashlahat ukhrowi seperti ‘ilm ahwalul qolb dan ‘ilm akhlaqul mahmudah wal madzmumah
3. Ilmu Muqoddimaat adalah ilmu sebagai alat pembantu untuk memahami ilmu ushul,  Seperti Nahwu, Shorf, Balaghoh dsb.
4. Ilmu Mutammimat adalah ilmu yang menyempurnakan ilmu ushul seperti ta’limul qiro’at, makharijul huruf, atau yang berkaitan dengan makna seperti ilmu tafsir, ilmu kalam, dsb
Sedangkan Ilmu madzmumah (tidak terpuji) itu dicontohkan beliau seperti Sihr, Talbis, ‘Tholsimaat dan ‘Ilm Asy-Sya’idah. ‘Ilm yang tidak syar’iyah adalah ilmu yang tidak dimanfaatkan oleh para anbiya ketika tidak ada kaitannya dengan ‘aql seperti al-hisab, atau Tajribah seperti At-thib, dan Sima’ seperti bahasa.
 
 Ilmu mu’amalah ini dibebankan kepada seorang hamba yang berakal dan mampu untuk berbuat dengannya. Disini, beliau menjelaskan bahwa ilmu ini sangat berkaitan erat dengan ‘ilm ahwalil qolb (Ilmu keadaan hati) artinya dengan ‘Ilmu manusia itu bisa menjadi terpuji ataupun tercela. Oleh Karena itu, tidak akan bermanfaat ilmu seseorang bila dia mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji,
 
Dalam ‘ilmu mu’amalah ini Imam Ghozali membaginya menjadi 2 yaitu:
hati yang terpuji dan hati yang tercela.  

Pertama, Hati yang terpuji seperti Shabr, Syukr, Khouf (takut), Rojak (pengharapan), Ridho (rela), Zuhd, Taqwa, Qona’ah (merasa cukup), Sakha (dermawan), Husnu dzon (baik sangka), Shidq (Jujur), dsb. Ilmu akan banyak manfaatnya bila seseorang mempunyai sifat hati  yang baik.  

Kedua, Ilmu tidak akan bermanfaat bila hati dipenuhi sifat-sifat yang tercela seperti hasd (iri), hubbutsana’ (suka pujian), al-kubr (sombong), riyak, ghodob (marah), al-adawah (suka permusuhan), thomak, bakhil, dsb. Sama seperti perkataan seorang ‘ulama: ”man lam yashun nafsahu, lam yanfa’hu ‘ilman,” artinya barangsiapa yang tidak menjaga (kehormatan) dirinya, maka ilmu tidak akan bermanfaat untuknya.
 
Dalam Ilmu Mukasyafah, Imam Ghozali menjelaskan bahwa ilmu ini adalah sebagai tujuan “ghoyah” dari semua ilmu karena dia yang berkaitan dengan batin dan pensucian jiwa (purification of soul). Dia diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati seseorang dan yang mensucikan dari sifat-sifat tercela. Ilmu ini adalah ilmu para Shiddiqun dan Muqorrobun.
Oleh karena itu Imam Ghozali menjelaskan lagi bahwa ilmu itu wajib untuk dipelajari, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: Menuntut ilmu itu menjadi kewajiban bagi setiap Muslim

Dalam konteks ini beliau menjelaskan bahwa ilmu-ilmu yang fardhu dipelajari ada lebih dari 20 kelompok seperti kelompok al-Mutakallimun: mereka mengatakan bahwah Ilmu Kalam itu wajib dipelajari karena dapat mengetahui ke-tawhid-an dan Dzat Allah Subhanahu dan juga sifat-sifat_Nya. Ada juga kelompok al-Fuqoha’: mereka mengatakan Ilmu Fiqh itu wajib untuk dipelajari karena dengannya bisa mengetahui ‘Ibadah, halal dan haram dan apa-apa yang diharamkan dan dihalalkan dari mu’amalah . dsb. Oleh karena itu pembagian-pembagian diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya ilmu itu dipelajari.
Dan akhirnya, bisa disimpulkan bahwa kewajiban menuntut ilmu merupakan tuntutan setiap orang bukan keniscayaan, dan musuh manusia paling besar adalah kebodohan “Annasu a’da_un ma jahilu”.
 
“Belajar itu murah tapi ilmu itu mahalâ€
"lare ngreco" 
the new generations 
 of traditional Islamic shool

Tidak ada komentar:

Posting Komentar