
Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu
di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah
Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,
di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« …السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »
“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat
bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah
dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara
Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3025)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2)
Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut
disebut bulan haram ? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan.
Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan
tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan
daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian
pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)
Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah
Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah,
inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475)
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘
(keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di
sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan
adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang
menggunakan nama Islami.
Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan
pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun.
Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di
atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan
istimewa. Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat
mengenai bulan Muharram (bulan Suro).
Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan,
bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat
mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat
berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan
oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti
pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta
atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat,
antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang
putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri).
Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol
kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau
melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa
mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar,
mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan
masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari
dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu.
Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah
bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela
waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan
orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan
mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka
ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا
وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ
إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan
di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan
membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24).
Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan
mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan
mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia
mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang
membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا
خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ.
فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ
قَبَضْتُهُمَا
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam.
Dia mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen].
Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam
rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah
yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam
keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419)
mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika
tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang
(rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa
mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena
Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam.
Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah
bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia
mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus
dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar
(syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan,
kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan
karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan
karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat
pada perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam,
هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang
membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk
syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta
bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain
Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir.
Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka
dia juga kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya
perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat
syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’)
yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama
saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu
tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu
bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk
kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara
langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja
kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau
bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala
bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang
terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk
perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini.
Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah
hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan
satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di
sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ
نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ
يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
(17)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat
mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)
Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ
تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا
طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka
berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa
kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka
itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)
Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.
Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).
Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk
kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak
ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan
anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Berbagai Ritual di Bulan Suro
Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.
Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”
Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.
Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.
Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)
Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ
مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى
فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا
بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di
hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan
(minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku
lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman,
‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat
sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah
berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah
mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah
mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.
Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.
Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.
Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.
Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa
zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H
Referensi:
- Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
- Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
- I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
- Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
- Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
- Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
- Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar