Jumat, 18 Januari 2013

PERAYAAN MAULID NABI SAW

Perayaan maulid Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam -seorang nabi yang diutus oleh Allah rahmatan lil 'alamin- dengan membaca sebagian ayat al-Qur'an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid'ah-bid'ah sayyiah yang dicela oleh syara'.

Hendaklah diketahui bahwa menghalalkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah meridlai mereka serta semua ulama as-Salaf ash-Shalih-. Tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama' as-Salaf ash-Shalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. 

Maka barang siapa yang mengharamkan menyebut nama (berdzikir) Allah 'azza wa jalla dan menelaah sifat-sifat nabi pada peringatan hari lahirnya dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah melakukannya, kita katakan kepadanya: Apakah anda juga mengharamkan mihrab-mihrab (tempat imam) yang ada di semua masjid dan menganggap mihrab tersebut termasuk bid'ah dlalalah?! 

Dan apakah anda juga mengharamkan kodifikasi al Qur'an dalam satu mushaf serta pemberian tanda titik dalam al Qur'an dengan alasan Nabi tidak pernah melakukannya?! Kalau anda mengharamkan itu semua berarti anda telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi. Padahal Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah bersabda:

"مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بّعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ" رواه الإمام مسلم في صحيحه .
Maknanya: "Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun". (H.R. Muslim dalam shahihnya).

Sahabat Umar ibn al Khaththab setelah mengumpulkan para sahabat dalam shalat tarawih dengan bermakmum kepada satu imam mengatakan :
" نِعْمَ  الْبِدْعَةُ  هَذِهِ "  رواه الإمام البخاريّ في  صحيحه .
Maknanya: "sebaik-baik bid'ah adalah ini" (H.R. al Bukhari dalam shahihnya).

Dari sinilah Imam Syafi'i –semoga Allah meridlainya- menyimpulkan:
"الْمُحْدَثَاتُ مِنَ  اْلأُمُوْرِ  ضَرْبَانِ  : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ  ِممَّا يُخَالـِفُ  كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ  اْلبِدْعَةُ  الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ  الْخَيْرِ  لاَ خِلاَفَ  فِيْهِ  لِوَاحِدٍ  مِنْ  هذا ، وَهَذِهِ  مُحْدَثَةٌ  غَيْرُ  مَذْمُوْمَةٍ "  رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ"
"Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab ,sunnah, atsar para sahabat dan ijma', ini adalah bid'ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"  (diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitabnya "Manaqib asy-Syafi'i" juz I h. 469)

Karenanya Al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) menyatakan : "Mengadakan peringatan maulid Nabi adalah bid'ah hasanah".  Demikian pula dinyatakan oleh para ulama yang fatwanya bisa dipertanggungjawabkan seperti al Hafizh Ibnu Dihyah (abad 7 H), al Hafizh al 'Iraqi (W. 806 H), al Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al Hafizh as-Sakhawi (W. 902 H), Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W. 974 H), Imam Nawawi (W. 676 H), Imam al ‘Izz ibn 'Abdissalam (W. 660 H), Syekh Muhammad Bakhit al Muthi'i (W. 1354 H), Mantan Mufti Mesir yang lalu, Syekh Mushthafa Naja (W. 1351 H) mantan Mufti Beirut terdahulu dan masih banyak lagi yang lain. 

Dengan demikian fatwa yang menyatakan peringatan maulid adalah bid'ah muharramah (bid'ah yang haram) sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama Ahlussunnah, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu'tabar, selain itu bukankah hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan. 

Agama Allah mudah tidaklah susah. Dan karena inilah para ulama di semua negara Islam selalu melaksanakan peringatan maulid Nabi di mana-mana, Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan dan melimpahkan keberkahan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam kepada kita semua, amin.
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Senin, 14 Januari 2013

Kesederhanaan Rasulullah di Tengah “Gelimangan Harta”

Pada suatu situasi Muhammad saw menjadi orang “kaya”. Pada kondisi lain, menjadi orang “miskin”. Pada saat tertentu, beliau berada pada posisi di antara keduanya. Hal ini tidak terlepas dari figur beliau untuk menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi semua lapisan masyarakat.

Rasulullah saw pernah menjadi orang kaya, agar umatnya yang dianugerahi kekayaan dapat mencontoh beliau tatkala berinteraksi dengan harta, cara memperoleh harta yang halal, mensyukuri kekayaan, dan membelanjakannya di jalan Allah.

Nabi pernah pula menjadi orang miskin, supaya orang-orang yang kekurangan bisa meneladani beliau: bersabar dan menjaga kehormatan diri, sekaligus keluar dari jerat kemiskinan dengan cara yang baik..
Rasul telah dianugerahi harta yang sangat banyak, tetapi sesaat kemudian beliau berada dalam kesederhanaan, hartanya diberikannya kepada para yatim dan dhuafa.

Kesederhanaan kehidupan ekonomi Muhammad saw tercermin dari berbagai riwayat berikut:
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. Anas ra mengatakan: “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.”(HR. Bukhari No. 2068, Kitabul Buyu’)

Khalifah Umar bin Khattab pernah berkisah: “Aku masuk menemui Rasulullah saw yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekat beliau, lalu beliau menurunkan kain sarungnya. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. Aku melihat segenggam gandum, kira-kira seberat satu sha’, dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar, juga sehelai kulit binatang yang samakannya tidak sempurna. Seketika dua mataku meneteskan air mata tanpa dapat aku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasulullah saw bertanya: “Apakah yang membuatmu menangis, wahai Putra Khattab?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar itu telah membekas di tubuhmu, dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain daripada apa yang telah aku lihat. Sedangkan Raja Romawi dan Persia bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya, hanya ada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.” Rasulullah saw lalu berkata: “Wahai Putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita, dan dunia menjadi bagian mereka?” (HR. Muslim No. 3768, kitab at-Thalaq)

Dalam riwayat lain diceritakan, suatu ketika para istri Nabi serentak menuntut beliau agar keperluan nafkah mereka segera dipenuhi. Mereka menuntut demikian karena Nabi mendapat harta rampasan setelah memperoleh kemenangan di Hunain, tetapi kebutuhan keluarga tidak didahulukan. Semua harta tersebut habis dibagi-bagikan oleh beliau kepada yang lebih berhak, termasuk memberikan banyak unta kepada orang-orang dari suku Arab yang baru memeluk Islam. Dalam kondisi tiadanya bahan makanan seperti itu, Nabi beserta para istri beliau sering memilih berpuasa.

Kesederhanaan Nabi sesungguhnya sudah tercermin dari keberadaan rumah beliau beserta isinya, serta pakaian yang dikenakan. Rumah beliau hanyalah berupa bilik-bilik yang teramat sederhana di samping masjid Nabawi. Beliau makan apa adanya, secukupnya dan tidak berlebihan. Tidak jarang, beliau memerah susu kambing dengan kedua tangannya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Dalam hal pakaian, Nabi mengenakan pakaian yang tidak mahal. Malah beliau seringkali menjahit pakaiannya sendiri, dan memperbaiki sepatunya dengan tangan sendiri.

Perlu ditekankan di sini, Nabi tidak menganjurkan apalagi memerintahkan umat Islam berpantang dari segala bentuk kesenangan atau kenikmatan (akseketisme). Menurut salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda: “Sungguh menyenangkan kekayaan itu jika didapat dengan cara yang halal dan oleh orang yang tahu cara membelanjakannya.”

Masih menurut beliau, “Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan.”
Wallahu a’lam bish-showab
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Kesederhanaan ala Rasulullah SAW

Kesederhanaan akhir-akhir ini menjadi makhluk langka, apalagi di tengah-tengah perkotaan yang megah. Kesederhanaan identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa kesederhanaan adalah hidup yang susah dan identik dengan kehidupan yang menderita, padahal anggapan seperti ini adalah anggapan yang keliru dan jauh dari apa yang telah di ajarkan oleh Rasulullah SAW. 

Sudah seharusnya dalam kehidupan kita sehari hari untuk selalu meneladani gaya hidup ala Rasulullah tercinta. Karena hidup sederhana bukanlah berarti hidup susah dan menderita karena semua keinginannya tidak terpenuhi, bukan berarti juga meninggalkan kesenangan dunia tapi, kita harus sadar bahwa di setiap kesenangan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, sementara kita sering lupa bahwa kita akan mempertanggungjawabkan nikmat yang kita terima. Seperti:

Kemudian sungguh, pada hari itu kamu akan ditanya tentang kenikmatan yang kamu peroleh hari ini (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. Al-Takatsur [102]: 8)

Kisah kesederhanaan Rasulullah SAW terekam dalam sebuah hadits yang menceritakan betapa beliau tidak mempunyai keinginan menumpuk harta, walaupun jikalau mau sangatlah mudah baginya. Ketika Islam telah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakmuran, Sahabat Umar bin Khattab RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW ketika dia telah masuk ke dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar,

sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu. Keharuan muncul dalam hati Umar Ra. Tanpa disadari air matanya berlinang, maka kemudian Rasulullah saw menegurnya. “Gerangan apakah yang membuatmu menangis?” Umar pun menjawabnya, “bagaimana aku tidak menangis Ya Rasulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan.

Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab “Wahai Umar aku ini adalah Rasul Allah, Aku bukan seorang Kaisar dari Romawi dan bukan pula seorang Kisra dari Persia. Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.

Kata-kata Aku bukan Kaisar Romawi, Aku bukan Kisra Persia, tidak berarti Rasulullah tidak memiliki kesempatan, mengingat keterangan Umar bahwa di tangan Rasulullah-lah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat. Namun niat Rasulullah saw dalam kalimat terakhir itu merupakan kata paling berharga “Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.” Apa yang diisyaratkan Rasulullah saw sangatlah jelas, bahwa tidak selamanya hidup dengan kemewahan dan gelimang harta adalah berkualitas, justru sebaliknya.

Seringkali kehidupan semacam itu menjadikan hidup terasa kering dan sunyi, sombong dan akan lebih menjauhkan diri kita dari cinta dan kasih Allah. Kondisi seperti ini adalah seburuk buruk hati, bukankah Allah sangat membenci sesuatu yang serba berlebih lebihan? Ingatlah kesederhanaan adalah kemuliaan, kesederhanaan baru bisa terwujud kala kita menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan dari perjalanan panjang manusia menuju Tuhan.
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Muhammad SAW:Keagungan Dalam Kesederhanaan !

Pada hari wafatnya,harta yang tertinggal dikediaman beliau hanyalah beberapa keping uang,sebagian digunakan untuk melunasi hutang dan sisanya di gunakan untuk orang-orang susah yang datang kerumahnya yang sangat  sederhana pula  untuk mendapatkan derma .Pakaian yang di kenakan beliau itu di penuhi dengan tambalan .Rumah yang telah memancarkan cahaya keseluruh dunia sering kali gelap,karena memang tidak ada minyak yang tersisa untuk menyulut lampunya.

Lingkungan terus berubah,tetapi  tidak demikian dengan Rasul Islam itu.Dalam kemenangan dan kekalahan ,atau di kala berkuasa dan kesengsaraan ,di dalam kemakmuran maupun kemiskinan ,beliau tetap tegar dalam berbagai penampilan kepribadiannya yang kokoh.Seperti telah ditentukan Tuhan.Rasul Islam itu tetap tidak tergoyahkan oleh apapun.Muhammad yang agung,tujuannya yang agung,sarananya yang sederhana ,dengan hasilnya sangat mengejutkan.Itulah kejeniusan manusia,siapa yang berani membandingkan orang besar manapun    di  abad modern  ini dengan  Muhammad SAW ?

Orang-orang yang yang paling masyhur hanya mampu menciptakan tentara,hukum dan kerajaan.Mereka mendirikan segala-galanya tidak lebih dari keuatan material belaka,yang kerap kali justeru hancur binasa  bersamanya ,ataupun hancur binasa di depan mata kepalanya sendiri.Sedangkan Muhammad tidak hanya menggerakakan tentara,hukum dan kerajaan ,rakyat dan dinasti,

bahkan lebih dari itu semua ,berjuta-juta manusia yang menggetarkan altar-altar,agama-agama,gagasan-gagasan  dan keyakinan jiwa manusia .Nabi Muhammad SAW dengan berpedoman  pada suatu Kitab Suci  Al-Qur’an,dimana setiap hurufnya telah menjadi hukum,beliau menciptakan suatu negara spiritual yang memadukan keberagaman bahasa dan ras-ras menjadi satu kesatuan yang utuh  dan padu.Memang beliau di utus untuk memperbaiki akhlaq umat manusia,karenanya Rasul Islam itu memberi contoh yang sempurna kepada manusia secara keseluruhan.

Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.

Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina ‘Aisyah menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumahtangga.

Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sembahyang.”

Pernah baginda pulang pada waktu pagi. Tentulah baginda amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya,

“Belum ada sarapan ya Khumaira?” (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang berarti ‘Wahai yang kemerah-merahan’)

Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas berkata,
”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.

Pernah baginda bersabda, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.”

Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda sebagai kepala keluarga.

Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :

“Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”

“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”
“Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh,
kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan?
Kami yakin engkau sedang sakit…”
desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

“Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?”

Lalu baginda menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.
Hanya diam dan bersabar bila kain rida’nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya.

Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah saw menolak sama sekali rasa ketuanan.

Anugerah kemuliaan dari ALLAH tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.

Ketika pintu Syurga telah terbuka, seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemahuan jiwanya yang tinggi.

Bila ditanya oleh Sayidatina ‘Aisyah, “Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?”

Jawab baginda dengan lunak, “Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”

Rasulullah s. a. w. bersabda, “Sampaikan pesanku walau sepotong ayat”



Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Rabu, 09 Januari 2013

Hal Kesaksian Kepada Jenasah



Warga NU sudah tidak berbeda pendapat dalam memahami hadits tentang isyhad atau minta kesaksian agar yang hadir diajak bersaksi bahwa, “Almarhum ini orang baik”. Hanya teknis penyampaian isyhad itu yang sering mengundang kritik.

Misalnya, ada pak kiai yang mamberi sambutan dalam rangka memamitkan jenasah dengan mengatakan: “Meniko jenasah sae nopo awon para rawuh?” (jenasah ini baik apa jelak hadirin?) Otomatis para hadirin serempak menjawab “sae” (baik)!

Biasanya bahkan diulang sampai 3 kali. Persaksian semacam ini masih sering kita dengar di kalangan masyarakat kita. Bagi yang kurang sependapat dengan kebiasaan semacam ini, mungkin akan bilang: “Minta persaksian kok dipaksa!” Artinya, teknis persaksian di atas dipandang ada unsur pemaksaan. Akan tetapi, orang-orang NU punya alasan: Bagaimana tidak menjawab “sae” (baik) kalau kita sedang berada di muka umum!

Mungkin tampak terasa lebih halus bila memilih redaksi bernada “saran”, misalnya: “Hadirin, marilah kita bersama bersaksi bahwa jenazah ini jenasah yang baik…” atau mungkin redaksi lain yang mirip dengan itu, sebab kita hidup dalam budaya timur, dan kita tidak hidup di tahun 40-an.

Mengenai Isyhad yang kita bicarakan ini tentu ada dasar hukumnya.

Dalil Pertama:

Dalam kitab Fathul Wahab, Juz I disebutkan bahwa nunnah hukumnya menyebut kebaikan si mayit bila mengtahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar lebih banyak yang memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan Hakim:
 
اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم

Sebutlah kebaikan seorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya.

Dalil kedua:

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abi Bakrah Nafi’ bin Harits, Rasulullah bersabda: Maukah kalian aku beri tahu tentang dosa yang besar? (Rasulullah mengulang sampai 3 kali). Para sahabat menjawab: Bersedia, wahai Rasulullah. Nabi lalu bersabda lagi: Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua (nabi sedang berdiri sambil bersandar, lantas duduk, dan bersabda lagi): Hindarilah kata-kata keji/ bohong dan beraksi dengan kata-kata itu. (Nabi mengulang-ulang perkataan itu sampai kamu berharab dia diam). Saya (Imam an-Nawawi) berkata: hadits-hadits dalam bab ini banyak sekali, tetapi cukuplah apa yang sudah saya sebutkan di atas.

Dalil ketiga :

Nabi bersabda: Setiap muslim yang disaksikan sebagai orang baik oleh 4 orang, Allah akan memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: Kalau disaksikan 3 orang? Nabi menjawab:Kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: Dua orang juga. Kami tak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya dipersaksikan oleh satu orang. (HR. Bukhari)

 
KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuk Pondok Pesantren Kerapyak, Yogyakarta
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Makna Istighotsah


Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.

Jadi istighotsah berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan.

Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum.

Baik Istighotsah maupun Isti'anah terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau  teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ 

"(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9)

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.

Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;

وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ

"Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)

Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan.

Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.

Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya : 



إنَّ الشَّمْسَ ‏تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ ‏بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
 
Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).

Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.

Sedangkan isti'anah terdapat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ

Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)
Namun entah kenapa salah satu pemuja paham salafi wahabi Indonesia H. Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul, ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”. Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.

Dalam bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan bid’ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid’ah. 

Padahal, bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin.
Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan membaca zikir termasuk perbuatan bid’ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?

Wallahul musta’an bish-Shawab. Semoga bermanfa’at. Aamiin

 
KH A. Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Selasa, 08 Januari 2013

Tawassul dengan Rasulullah SAW



Sewaktu masih hidup dan setelah wafat, tawassul pada Rasulullah itu disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْظَلَمُوْااَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الَّرسُوْلُ لَوْ جَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً

Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, pasti mereka menjumpai Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.

Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir juz I;

قَالَ الإِمَامُ اْلحَافِظُ السَّيْخُ عِمَادُالدِيْنِ كَثِيْر ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ السَّيْخُ أَبُوْ مَنْصُوْرٍالصَّبَاغُ فِىكِتَاِبهِ الشَّامِلِ اْلحِكَايَةَ اَلمَشْهُوْرَةَ عَنِ اْلعَتَبِىِّ قَالَ: كُنْتُ جَالِساً عِنْدَ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاَء اَعْرَابِىٌّ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ َسمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُوْ وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوْااَ نْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوْجَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً. وَقَدْجِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًالِذَنْبِى مُسْتَشْفِعاً بِكَ اِلىَ رَبِّى ثُمَّ أَنْشَدَ ثُمَ انْصَرَفَ اْلأَعْرَاِبىُّ فَغَلَبَتْنىِ عَيْنىِ فَرَأَيْتُ النَبِىُّ فِى النَّوْمِ فَقَالَ يَاعَتَبِىُّ اْلحَقِّ اْلأَعْرَاِبىُّ فَبَشِّرْهُ اَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَلَهُ.

“Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! 

Saya telah mendengar Allah berfirman; Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda: Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”

Dalam riwayat di atas dipaparkan bahwa Ataby diampuni dosanya dengan tawassul kepada Nabi yang telah wafat. Riwayat di atas diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam 

لاءيضاح فىمناسك الحج للا مام النووى halaman 485

Selanjutnya, diriwayatkan juga oleh Abu Muhammad Ibnu Quddamah dalam kitabnya Al-Mughni juz. III. Riwayat Al-Ataby ini banyak sekali diriwayatkan oleh para Ulama’ terkemuka.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Tawassul Dianjurkan dalam Islam



Rasulullah saw bersabda: Ketika Adam mengakui kesalahannya, dia berkata: ‘Wahai Tuhanku, jika aku memohonmu atas nama Muhammad, Engkau pasti akan mengampuniku’. Lalu Allah bertanya: ‘Wahai Adam, bagaimana kau tahu tentang Muhammad sedang Aku belum menciptakannya?’

Adam menjawab:’Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat di kaki ‘Arsy tertulis “Laa ilaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah”, dan aku tahu, bahwa Engkau tidak akan pernah menyambungkan nama-Mu kecuali dengan ciptaan yang sangat Engkau cintai’. 

Allah berfirman: ‘Kau benar wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling aku cintai, dan ketika kau memohon kepadaku atas namanya, maka Aku telah mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”. Dalam riwayat Imam Thabrani ditambahkan:”….dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu”.

Bertawassul kepada Rasulullah saw sebagaimana do’a  Nabi Adam as tersebut di atas adalah sebuah bukti bahwa berdo’a dan meminta permohonan kepada Allah melalui perantara (wasilah)  bukanlah hal yang baru atau aneh, apalagi dianggap bid’ah. 

Wasilah adalah segala hal yang dapat mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Bentuk jama’ dari wasilah adalah wusul atau wasa’il. Sedangkan bentuk tunggalnya adalah tausil dan tawassul. Contohnya, “Si A bertawassul dengan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”. Maka, dia mendekatkan diri kepada Tuhannya dengn sebuah wasilah. Maksudnya, dia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara amal baikya.

Allah swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya……(QS. Al-Maidh [5]:35)

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang(harus) diatkuti.(QS Al-Isra’ [17]:57)

Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dibolehkannya bertawassul  kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Baik ketika mereka masih hidup maupun sepeninggal mereka. Kdeua, boleh juga bertawassul dengan amal baik masing-masing. Allah sendiri memerintahkan kepada kita untuk bertawassul sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat Fatimah binti Asad (ibu Ali bin Abi Thalib) wafat. Rasulullah  Saw bersabda:
 
اَللهُ الَّذِى يحُىْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ
“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dialah yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).

Dalam hadits di atas, Rasulullah bertawassul kepada Allah dengan dirinya sebagai orang yang paling mulia,  juga bertawassul dengan nama para Nabi sebelumnya yang berhak mendapat shalawat dan salam.

Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW mengizinkan Umar bertawassul dengannya, dan menyertakan Rasulullah saw dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.

 
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى

“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.

Rujukan lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:

 
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.
 رواه البخارى

“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)

Bertawassul kepada orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:
 
لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ
“Tiada  yang bisa  mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ

“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”

Sesungguhnya bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Bertawassul bukan berarti meminta kepada orang  yang dijadikan wasilah, melainkan  memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya. 

Jadi, tidak ada unsur  syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah Swt, seperti para Nabi, Para Rasul, para sholihin pada hakekatnya  tidak bertawassul degan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang sholeh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orangorang yang ahli maksiat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah Swt, dan kita juga tidak bertawassul dengan pohon, baru, guung, kuburan kramat dsb.

Oleh karena itu wajar saja jika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah, dalam risalahnya merasa perlu bertabayyun atau klarifikasi atas tuduhan beberapa orang yang ngatakan bahwa ia mengharamkan tawassul. Ia menuliskan “Sesungguhnya Sulaiman bin Suhaim telah berdusta terhadapku tentang banyak hal yang tidak pernah aku katakan, bahkan tidak pernah terlintas dibenakku.

Di antaranya aku dianggap mengkafirkan orang-orang yang bertawassul melalui orang shaleh, aku juga dituduh mengkafirkan al-Bushiri karena mengatakan ‘wahai makhluk yang paling mulia’, aku juga difitnah membakar kitab dalailul khairat. semua itu hanya bisa aku jawab Maha Suci Engkau Ya Allah semua ini adalah dusta Besar.”    

Malahan dalam al-Fatwa al-Kubra, Syaikh Abdul Wahab menjawab ketika ditanya tentang tawassul, beliau dengan tegas menjawab “ Tidak mengapa bertawassul dengan orang-orang Shaleh ... asalkan mereka yang berdoa dengan jelas memohon seperti “aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu” atau “Dengan nama Rasul-Mu aku memohon agar...” atau “aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan hamba-hamba-Mu yang sholeh, semoga...” bahkan ketika mereka berdoa’a di atas kuburpun tidak ada masalah”

Wal hasil, tawassul dalam Islam dibolehkan, dan dianjurkan. Asalkan mereka yang bertawassul ini mengerti dan faham arti, serta cara-cara bertawassul. Dan sadar benar bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Allah swt. 

Bertawassullah  dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a. Dan tidak ada yang lebih disayangi di jagad raya ini kecuali Rasulullah saw. karena itu dalam setiap doa selalu ada sholawat dan salam kepadanya.

(Ngabdurrahman al-Jawi)
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?



Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.

Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo'akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan," katanya.

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ 
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ  اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
 
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat.

"Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. 

Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata. 
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. 

Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 
H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Mengapa Bertawassul?



Wasilah (=perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :

يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ
Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan  carilah jalan (wasilah/perantara)."

Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.

Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:

لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ

Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.

Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.

Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Meneruskan Tradisi Berdakwah para Pendahulu



Dakwah dapat diartikan mengumpulkan manusia dalam kebaikan dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf nahi munkar. Sandaran pendapat ini adalah firman Allah Swt:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3: 104)

Ayat tersebut merupakan landasan umum mengenai dakwah: amar ma’ruf nahi munkar. Tak diragukan lagi bahwa ajaran tentang dakwah merupakan bagian integral dalam Islam. Di samping dituntut untuk hidup secara Islami, kita juga dituntut untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh umat manusia. Dan berkat dakwah pula agama Islam dapat menyebar dan diterima di mana-mana, di hampir semua belahan benua.

Dakwah adalah tradisi yang diwariskan para Nabi dan Rasul beserta para pengikut setianya. Para ulama, kiai-kiai yang membawa misi Islam ke negeri ini mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk kepentingan dakwah demi kejayaan Islam dan kehidupan yang damai bagi para pemeluknya di bawah naungan ridla Ilahi. 

Dapat dikatakan bahwa dengan bermodalkan spirit demi menegakkan agama Allah para Walisongo berhasil mengislamkan kawasan Melayu-Nusantara sebagai agama mayoritas meskipun pada awalnya penduduk lokal telah menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan lokal lainnya selama berabad-abad. Hal ini membuktikan betapa arti pentingnya sebuah prencanaan dan strategi dakwah yang dilakukan oleh para pejuang Islam sejati (para pendahulu kita) dalam merombak suatu tatanan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak atau konflik-horisontal yang berkepanjangan. Sehingga tampilan wajah Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia kini menjadi agama yang ramah, toleran, penuh kedamaian dan mengedepankan suasana keselarasan sosial.

Sebaliknya, tanpa adanya dakwah yang intensif dan terprogram dengan baik maka nilai-nilai Islam sudah barang tentu akan semakin jauh ditinggalkan oleh masyarakat dan komunitas manusia. Di mana musuh-musuh Islam akan senantiasa menghendaki keruntuhannya. Karena begitu pentingnya, maka dakwah tidak dapat dianggap enteng dan sepele.

Sesuai dengan visi dan misi kelahirannya, bahwa NU merupakan jam’iyah keagaman yang bergerak di bidang dakwah Islam, yang meliputi masalah keagamaan, pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini pula hingga saat ini NU tetap konsisten pada jalur kulturalnya. Memilih model dakwah kultural ini tak lain adalah upaya melestarikan prestasi dakwah para muballigh Islam awal di bumi Nusantara yang lebih terkenal dengan sebutan Walisongo. 

Merupakan best-practice dari pada model dakwah warisan Walisongo yaitu soal kemampuannya dalam menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat berikut tradisi maupun kultur lokal. Yakni dengan memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang ramah dan meneduhkan, sehingga tampilan wajah Islam memiliki daya tarik nan memukau kepada penduduk pribumi yang pengaruhnya terus meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan kerajaan di masa itu.

Jasa para Walisongo memiliki peranan penting dalam mengantarkan model perjuangan para generasi da’i/kiai selanjutnya. Berkat jasa-jasanya Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa, bahkan telah menyebar ke seluruh Nusantara. Perlu penulis tegaskan kembali bahwa, keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya yang tepat. Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan darah.

Strategi dakwah yang kemudian oleh sejarawan dikenal dengan model strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam dalam menyikapi proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Dari sudut pandang sosiologi, sepertinya strategi yang diterapkan Walisongo benar-benar memperhatikan seluruh konteks maupun situasi yang melingkupi masyarakat setempat sehingga nampak jelas tidak begitu mementingkan kehadiran simbol-simbol Islam yang mencerminkan budaya Timur Tengah. Justru penekanannya terletak pada nilai-nilai substantif Islam dengan kerja-kerja dakwah kultural yang penuh nuansa dialogis dan toleran.

Upaya rekonsiliasi kultural antara Islam dan budaya lokal ini kerap dilakukan oleh para Walisonggo sebagai kreasi dakwahnya, dan bukti-bukti historisnya sangat mudah dilacak, sebut misalnya ornamen yang terdapat pada bangunan masjid Wali seperti yang terdapat pada bentuk arsitektur masjid Demak dan menara masjid Kudus atau budaya kirim do’a seperti budaya tahlilan yang lazim oleh warga nahdliyin disebut slametan.

Dengan kata lain upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal yang pernah digagas dan dikembangkan oleh para Walisongo pada akhirnya melahirkan corak Islam yang khas Melayu-Nusantra atau Islam Indonesia sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Dalam dekade terakhir ini, kita menyaksikan semarak dakwah Islam di Tanah Air. Banyak bermunculan da’i-da’i muda tampil mengisi acara-acara pengajian di berbagai tempat dan kesempatan. Ceramah-ceramah keagamaan itu tidak saja dilakukan di masjid-masjid atau mushalla, tetapi juga di kantor-kantor pemerintah dan perusahaan. Selain melalui ceramah di panggung pengajian, geliat dakwah ini diramaikan dengan hadirnya di berbagai media informasi Islami, apakah dalam bentuk media cetak atau elektronik. 

Bagi mereka yang kekeringan spiritualitas, kapan saja dan di mana saja bisa menyiraminya, baik melalui radio, televisi maupun majalah-majalah. Tidak sedikit kalangan pejabat, eksekutif, profesional dan selebritis yang haus siraman-siraman rohani keislaman rajin mengahadiri dan menyimak acara-acara pengajian dengan khidmat. Haluan dan orientasi hidup mereka berubah ke arah yang lebih baik. Kenyataan ini tentu saja amat mengembirakan.

Namun sayangnya, dibalik ghirah berdakwah itu terdapat beberapa juru dakwah yang kurang memperhatikan etika berdakwah. Misalnya berdakwah dengan gaya pidato yang provokatif dan bermuatan hasutan atau menjelek-jelekan pihak lain. Dakwah seperti ini justru kontra produktif dan dapat menimbulkan perpejahan atau firqah di masyarakat.

Dakwah yang dilakukan dengan cara kekerasan dan paksaan dampak madaraatnya jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Bahkan yang memilukan lagi, akhir-akhir ini sering bermunculan aksi dari sekelompok orang Islam yang cenderung anarkhis dan destruktif. Islam menjadi beringas dan kasar. Pujian Allahu Akbar, Allah Mahabesar, berubah menjadi semangat untuk merusak dan membakar. Cintra Islam pun menjadi buruk di mata penganut agama lain. Agama Islam dikira identik dengan budaya kekerasan, padahal hal itu justru dilarang agama. Bukankah pesan Al-Qur’an pada surat An-Nahl, ayat 125 mengajarkan:

 
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

Menurut keterangan ayat di atas, dari segi metodologis, bahwa dakwah Islam dapat dilaksanakan dengan cara: Pertama, bil hikmah, yaitu dakwah yang dilakukan dengan contoh yang baik, di dalamnya bisa tingkah laku dan tutur kata yang baik, sejuk dan mententramkan. Di sini dibutuhkan konsistensi antara yang diucapkan dan tindakan nyata.

Jika tingkah laku dan tutur kata itu diteladani, bisa menyentuh dan mengubah sikap seseorang, berarti di dalamnya terdapat hikmah. Dakwah dengan hikmah jauh lebih efektif: tantangannya relatif sedikit tapi dampak sosialnya lebih besar. Kebanyakan orang lebih senang meneladani suatu kebajikan atas dasar kesadaran diri sendiri dari pada dipaksa orang lain. Biarlah masyarakat melihat, menghayati dan mengikuti perilaku atau contoh keteladanan yang baik itu.

Kedua, bil lisan, yaitu cara dakwah dengan menyampaikan nasehat atau memberikan penjelasan-penjelasan keagamaan secara lisan. Pengajian-pengajian umum atau ceramah-ceramah keagamaan lain bisa dimasukan kategori ini. Sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan norma dan etika agama, dijelaskan dan diperingatkan sehingga bisa kembali ke jalan yang benar. Cari ini kerap mendapatkan tentangan, terutama ketika ber-nahi mungkar (mencegah kemungkaran/kemaksiatan). Menasehati orang agar meninggalkan kemaksiatan jauh lebih berat daripada mengajak kepada kebaikan. 

Ketiga, dengan cara dialog dengan beradu argumentasi ataumujadalah. Dakwah model ini lebih banyak dilakukan oleh para intelektual atau ahli agama untuk masalah-masalah berat yang memerlukan kajian ilmiah. Baik di bidang aqidah, ibadah maupun mu’amalah terdapat hal-hal yang perlu menggunakan argumentasi rasional. Tidak sedikit masalah-masalah kontemporer yang tidak ada pijakan normatifnya, namun harus ditinjau dari sudut pandang Islam, mengundang perdebatan di kalangan ulama. Siapa yang argumentasinya lebih kuat, maka itulah pendapat yang dipandang paling mendekati kebenaran. 

Selain menyangkut isi pesan dan metode atau cara menyampaikan pesan dakwah ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh juru dakwah, yaitu kalangan audien atau sasaran dakwah. Seorang da’i yang profesional tidak boleh melakukan generalisasi atau bersikap gebyah-uyah (hantam kromo) kepada masyarakat yang hendak didakwahi. Mereka harus dipilah-pilah dan diklasifikasikan terlebih dahulu sesuai latar belakang masing-masing karena hal ini menyakut ketepatan dalam berdakwah. Kalau sejak awal tidak cermat memetakan kelompok audien maka dakwah bisa gagal total. Hanya buang-buang waktu dan tenaga dan bisa jadi hanya berhasil membuat umat tambah resah akibat dakwah yang diberikan.

Dalam konteks ini sasaran atau objek dakwah dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok; Pertama, adalah golongan objek yang disebut umat ijabah; yaitu kategori umat (audien) yang sudah siap melakukan ajaran syariat (hukum positif) Islam. Untuk golongan objek dakwah ini tentu pendekatan yang digunakan adalah fiqhul ahkam. 

Kedua, ialah golongan objek yang disebut umat dakwah; yaitu kategori umat yang masih dalam kondisi pembinaan atau membutuhkan bimbingan secara intensif, di mana pesan dakwah yang diberikan bertujuan dalam rangka pengembangan agama Islam di tengah-tengah masyarakat luas yang beraneka ragam (plural). Maka pendekatan yang cocok untuk kondisi demikian adalah tidak melalui pendekatan fiqh yang legal formal, namun melalui guidance and counseling atau fiqhul dakwah. 

Dan ketiga, yaitu dakwah pada golongan orang yang tersebut di luar kedua kategori di atas; yaitu dakwah dengan melalui pendekatan fiqhul siyasah, karena pada posisi ini seorang da’i di lingkungan Nahdlatul Ulama’ dituntut lebih profesional dalam hal memberikan penjelasan mengenai hubungan agama dengan politik dan kekuasaan negara secara logis dan proporsional. Dengan demikian kelompok umat di luar Islam dapat menerima seruan agama rahmatan lil’alamin ini dalam nuansa keramahan dan kesejukan sehingga tidak muncul kesan ancaman ataupun keterpaksaan untuk menerimanya. 

Sebagai rangkaian penutup, perlu kami informasikan di sini, bahwa akhir-akhir ini kiai-kiai pesantren di lingkungan NU yang selama ini berjuang keras mempertahankan tegaknya idiologi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak hanya sibuk menghadapi serbuan limbah budaya global yang merong-rong sendi-sendi akidah umat. Akan tetapi mereka juga dihadapkan pada mewabahnya ideologi transnasional, liberalisme dan sekularisme yang berusaha mendesakralisasikan agama hampir tanpa batas, sehingga berpotensi mengikis spiritualitas yang dibutuhkan sebagai salah satu pijakan utama atau sumber nilai-nilai etis dan moral masyarakat.

Dua ”kutub ekstrim” tersebut jelas bukan pilihan untuk membangun kejayaan Islam. Pandangan dan sikap radikal yang nyaris paralel dengan tindak kekerasan hanya membuat wajah Islam menjadi seram dan lekat dengan kebrutalan. Sementara sekularisme dan liberalisme cenderung menjauhkan muslim dari ajaran agamanya. 

Adalah tugas NU khususnya LDNU untuk mereformulasi model dakwah kultural warisan Walisonggo demi menjaga kesinambungan dan kelangsungan syiar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi Indonesia. Selain itu, LDNU sebagai garda depan dalam mensosialisasikan nilai-nilai Islam inklusif, ramah, moderat dan toleran, --yang mencerminkan Islam rahmatan lil’alamin-- perlu merumuskan kembali metode dan strategi dakwah yang tepat, dalam arti responsif terhadap perubahan zaman. Lebih dari itu, materi dakwah yang disampaikan pun harus diupayakan tetap kontekstual, sesuai perkembangan serta kebutuhan masyarakat sebagai objek dakwah.

Satu hal yang penting diingat, sebagai lembaga keagamaan yang konsen di bidang dakwah Islam LDNU juga dituntut mengembangkan program-program dakwah kultural yang lebih inovatif dan, tidak lupa mempersiapkan kader-kader dakwah yang handal, tangguh dan memiliki pengetahuan keislaman yang mumpuni di samping skill berdakwah di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Wallahu’alam

 
Dr. KH. Hasyim Muzadi
Ketua Umum PBNU

Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»