Sabtu, 11 Februari 2012

Dia tidak lupa

Seluruh perkara syariat telah ditetapkanNya 

dan Dia tidak lupa

Seluruh perkara syariat telah ditetapkanNya dan Dia tidak lupa


Firman Allah ta'ala yang artinya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Agama hanyalah bersumber dari Allah ta'ala.

Pokok agama atau disebut perkara syariat adalah perintahNya yang wajib dijalankan yang jika ditinggalkan berdosa dan laranganNya yang wajib dijauhi yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Perkara kewajiban, larangan dan pengharaman adalah hak Allah ta’ala menetapkannya dan Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Agama atau perkara syariat atau perkara yang diwajibkanNya, wajib dikerjakan dan wajib dijauhi meliputi kewajiban, larangan dan perngharaman telah sempurna atau telah selesai ditetapkanNya atau telah selesai disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla atau telah disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)

Rasulullah mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama'ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjama'ah adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa karena Allah ta'ala tidak menetapkan sholat tarawih berjamaah sebagai kewajiban di bulan Ramadhan. Yang diwajibkanNya adalah berpuasa di bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda "Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )

Begitupula para Imam Mujtahid  dalam beristinbat, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindari al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau kadang disamakan juga dengan al-Istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’  (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang

Menurut Imam Syafi’i  cara-cara penetapan hukum seperti  itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya  sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti  itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti  itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Menetapkan sebagai perkara larangan atau pengharaman yang dikerjakan/dilanggar berdosa atau sebagai perkara kewajiban yang ditinggalkan berdosa berdasarkan maslahah mursalah atau berdasarkan  akibat baik dan buruk menurut akal pikiran manusia termasuk kedalam bid’ah dholalah karena yang mengetahui baik dan buruk bagi manusia hanyalah Allah Azza wa Jalla.

Oleh karenanya mereka yang mengada-ada perkara kewajiban, larangan maupun pengharaman adalah termasuk penyembahan kepada selain Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”

Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).

‘PR’ Panjang  Bid’ah Hasanah
Inilah  beberapa ‘PR’  tentang bid’ah hasanah; Bagi anda yg meyakini dan memegang erat adanya bid’ah hasanah maka sudah saatnya anda sejenak memperhatikan ‘PR’ berikut ;
  1. Bahwasannya dalil2 ttg celaan thd bid’ah sangat banyak dan semuanya datang dlm bentuk mutlak (umum), tdk terdapat di dalamnya pengecualian sedikitpun dan tdk pula terdapat di dalamnya sesuatu yg menghendaki (yg terkandung makna) bhw dlm bid’ah itu ada berupa petunjuk, dan tdk pula terdapat di dlmnya perkataan : “setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yg begini dan begini, dan tdk pula perkataan yg semakna dgnnya.  Seandainya ada bid’ah yg dipandang oleh syara’ sbg bid’ah hasanah niscaya akan disebutkan dlm suatu ayat atopun dlm hadits. Namun tdk ada, mk ini menunjukkan bhw dalil2 tsb scr keseluruan pd hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yg tdk seorg pun dpt menyelisihi tuntunannya.
  2. Apakah standar utk mengatakan bhw suatu bid’ah itu adalah bid’ah yg baik (hasanah)? Dan siapakah yg menjadi rujukannya?  Jika dikatakan bhw standarnya adlh kesesuaian dgn syari’at mk menjadi jelas bhw apa2 yg sesuai dgn syari’at bukanlah disbt sbg bid’ah. Jika rujukannya adlh pendapat seseorang (akal seseorg) mk itu tdk bisa dijadikan rujukan krn akal itu berbeda2 dan bertingkat2. Dan setiap pelaku bid’ah akan menganggap bhw bid’ahnya itu adalah baik (hasanah) menurut pendapatnya (akalnya). Lalu apa yg menjadi rujukan dlm masalah tsb? Dan yg mana yg diterima hukumnya?
  3. Jika penambahan dlm agama itu dibolehkan  atas nama bid’ah hasanah, mk orang yg menghapus ato mengurangi sesuatu dr agama ini juga dpt dianggap baik dgn mengatasnamakan bid’ah hasanah. Dan tdk ada bedanya antara dua hal tsb, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu (menambahi ) ato meninggalkan sesuatu (mengurangi), sehingga nantinya agama ini akan dihilangkan (ciri aslinya) disebabkan penambahan dan pengurangan tsb, dan cukuplah hal ini dikatakan sbg suatu kesesatan.
  4. Apa manfaat (kemashlahatan) yg ditimbulkan dgn adanya bid’ah hasanah? Lebih bermanfaat mana apabila kita tinggalkan? Apa ruginya bagi agama ini jika bid’ah hasanah ini kita tinggalkan? Bukankah dgn meninggalkannya akan lebih menyatukan umat Islam dan menjauhkan dr perselisihan berkepanjangan? Klolah ada krn dengannya Islam tidak bisa tegak maka adakah perbuatan (amalan) bid’ah hasanah yg bila tanpanya menjadi ‘guncang’ agama ini? 
  5. Barangsiapa yg mengetahui bhw Rosululloh Shollalllohu ‘alaihi wa sallam adlh org yg paling tau ttg kebenaran dan org yg paling fasih dlm berbicara dan menjelaskan sesuatu mk dia akan tau pula pula bahwasannya sungguh tlh terkumpul pd diri beliau kesempurnaan pengetahuan thd kebenaran, bhw beliau memiliki kemampuan yg sempurna  utk menjelaskan kebenaran  dan kesempurnaan kehendak utk itu.  Dan tentunya dia akan mengetahui akan wajibnya menunaikan apa yg dituntut/diinginkan dr kemampuan dan kesempurnaan tsb.  Dgn demikian org tsb akan tau bahwasannya perkataan beliau adalah perkataan yg paling jelas , paling lengkap dan merupakan penjelas yg paling agung thd urusan2 agama ini. Mk apabila keyakinan spt ini tlh tertanam dgn kuat dlm qolbunya mk ia akan mengetahui dg seyakin2nya bahwasannya seandainya bid’ah hasanah itu ada niscaya Rosululloh Shollalllohu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan dan menyampaikannya.
“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (TQS. An-Nisa’:115)
Wallohu a’lam...
Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Sepenggal Kisah para Wahhabiyyun

Terhasut oleh pembatasan makna firmanNya

Terhasut oleh pembatasan makna firmanNya

Mereka adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi.

Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.

Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.

Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/02/potongan-perkataan-ulama/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh potongan perkataan ulama.  

Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/03/terhasut-pengalihan-makna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pengalihan makna perkataan ulama.

Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/05/menyalah-maknakan-hadits/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh penyalah makna dari hadits.

Dalam tulisan kali ini diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pembatasan makna firman Allah ta’ala.

Contohnya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,  "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu*  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" (QS An Nisaa’ [4]:115)
*) Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan

Mereka berpendapat bahwa sabilil mu’minin , jalan orang-orang mu’min terbatas hanya pada para Sahabat saja dan kemudian diikuti dengan orang-orang yang mengikuti mereka dari Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.  Contoh pendapat ulama mereka sebagaimana termuat dalam Al-Masaa-il oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat – Halaman 240 s/d 246

Jadi kalau kaum muslim mengikuti apa yang disampaikan oleh orang-orang mu’min selain para Sahabat seperti Imam Mazhab yang empat maka  termasuk tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla sekaligus telah menentang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Bagaimana mereka mengetahui jalan atau cara beribadah para Sahabat  kalau tidak mengikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat yang melihat langsung penerapan,  perbuatan serta contoh nyata jalan atau cara beribadah dari Salafush Sholeh.  

Mereka katakan telah mengikuti jalan atau cara beribadah para Sahabat   namun kenyataannya mereka mengikuti akal pikiran mereka sendiri hasil belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah, menelaah kitab.  

Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah. Kemungkinan salah akan semakin besar jika tidak berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak sebagaimana kompetensi Imam Mazhab yang empat.  

Kesalahpahaman dapat ditimbulkan karena mereka tidak mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya Salafush Sholeh sedangkan Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh langsung dari lisannya Salafush Sholeh karena Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.

Merekalah korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan tujuan menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim karena perbedaan pemahaman.

Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.

Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.

Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?"
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?"
“Dari siapakah mendapatkan pemahaman seperti itu  ?"

Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan agama kepada  Sahabat.  Sahabat menyampaikan kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah” (Habib Munzir).

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan

Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yg tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,” (Habib Munzir)

Keistimewaan syari’at Islam adalah adanya sanad atau mata rantai yang bersambung hingga pembawa syari’at itu sendiri; Rasulullah. Karena itulah munculnya faham-faham menyimpang yang dapat menyesatkan umat Islam sangat kecil kemungkinannya untuk tidak terdeteksi jika berpegang teguh kepada sanad.

Sanad inilah yang kemudian menjadi tradisi di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk selalu dilestarikan, karena dengan terus membudayakannya akan terjamin kemurnian ajaran agama Allah ini tidak bercampur dengan akal pikiran manusia yang didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan

Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»