Kamis, 27 Oktober 2011

Gus Mus: Mengikuti Kanjeng Nabi itu Mudah

 
Jakarta, NU Online

Nabi Muhammad adalah manusia yang paling manusia. Manusia yang mengerti manusia. Manusia yang memanusiakan manusia. Manusia yang berprilaku manusia. Ia diperintahkan Allah untuk menjelaskan jati dirinya bahwa ia manusia sebagaimana umatnya. Karena itulah kita sangat mudah mengikutinya; karena manusia mengikuti manusia.

Hal itu disampaikan KH A. Mustofa Bisri di pengajian rutin komunitas Mata Air pada Rabu, (26/10), di Jalan Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta, pukul 19.30 WIB. Sebelumnya, KH. Luqman Hakim menjelaskan muqadimah kitab Minhajul Abidin karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali. 

“Bandingkan kalau Anda mengikuti kuda misalnya, itu bisa sakit nggak karu-karuan. Apalagi mengikuti kera, misalnya; sebentar loncat sana, sebentar loncat sini, sebentar gelantungan,” ungkap Wakil Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, disambut tawa hadirin yang berjumlah 40 orang.
Lebih lanjut kata Musthofa, kuncinya hanya satu, asal tetap manusia, tentu lebih enak mengikuti kanjeng Nabi. Kalau kesulitan, maka mestinya curiga pada diri sendiri.

"Jangan-jangan kita setengah buaya. Jangan-jangan kita seperti ular saja, kadal segala macam,” terang  Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang biasa disapa Gus Mus ini. 
Kyai yang penyair dan pelukis ini menambahkan, makanya sepanjang mengimami jamaahnya, Nabi Muhammad tidak pernah diprotes jemaahnya. Tidak pernah ada yang mengeluh karena kelamaan bacaan sembahyang atau khotbahnya. 

“Wah, ini kelamaan sembahyangnya, nih, khotbahnya bertele-tele. Nggak pernah! Sebaliknya, nggak ada jemaah yang mengeluh, ini cepet sekali. Kenapa? Karena Nabi tahu dan faham siapa yang ada di “belakangnya”, tambah penulis cerpen “Lukisan Kaligarafi” yang mendapat penghargaan dari Majlis Asia Tenggara (Mastera) ini. 

Sahabat karib Gus Dur berusia 68 tahun ini pun mengisahkan salah seorang juru dakwah Nabi, Mu’adz bin Jabal. Dia dikirim ke Yaman. Tapi suatu ketika, jemaahnya mendatangi Nabi. Mereka protes karena Mu’adz membaca surat yang panjang saat mengimami sembayang.
Lalu, Nabi memanggil Mu’adz dan menasihatinya. Bahwa hal yang demikian itu bisa menimbulkan fitnah. Kalau sembahyang sendirian, menamatkan al-Quran pun tidak jadi soal. 



Redaktur  : Syaifullah Amin
Penulis     : Abdullah Alawi


Nama beliau, Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), beliau kini pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang.  Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma’shum dan KH Abdul Qadir; dan Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya sendiri, KH Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang. 

Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan : Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyah, Nada dan Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri Mustofa.  Kini beliau telah memiliki 5 (lima) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi,  Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan serta 7 (tujuh) orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad; Muhammad Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah, Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
Selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga dikenal sebagai budayawan,Pelukis, Pujangga dan penulis produktif.
Tapi adakah yang tahu bahwa beliau adalah seorang Pendekar yang mencintai silat sebagai khasanah budayanya sendiri?
Ini kisah lucu tentang beliau (Gus Mus) dan kakaknya, Gus Kholil yang ditulis oleh Gus Yahya Cholil Staquf dalam notesnya :
Sebelum mondok di Krapyak, Yogya, Gus Mus dan Gus Kholil muda sempat mondok di Lirboyo, Kediri. Pada waktu itu Lirboyo terkenal gudangnya ilmu hikmah dan kanuragan. Maka dua santri kakak-beradik ini pun tak ketinggalan, getol mesu diri, tirakat, menekuni gemblengan untuk mempelajari berbagai ilmu kejadugan.
Sampailah akhirnya kesempatan pulang kampung di waktu liburan. Sebagai orang-orang “dhugdheng alu gembreng”, dua bersaudara ini pulang ke Rembang dengan bersengaja mengenakan pakaian dan perhiasan yang menegaskan kejadugan mereka:
  1. Rambut gondrong sampai ke punggung pertanda tak mempan dicukur
  2. Baju kutung dan celana komprang sebatas dengkul, semua serba hitam, khas pendekar
  3. Ikat kepala batik dan terompah kayu yang tebalnya hampir sehasta yang mungkin mereka kira mirip kepunyaan Sunan Kalijaga; dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bergaya super-pendekar yang membuat jerih siapa pun disekitarnya. Memandang langsung kepada mereka pun orang tak berani, takut dikira nantang.
Tak dinyana, begitu sampai di rumah, Mbah Bisri, ayahanda mereka marah besar!
Segala pakaian dan perhiasan kependekaran mereka dilucuti dan dibakar. Karena tak ada yang mampu mencukur rambut mereka —benar-benar jadug rupanya, Mbah Bisri sendiri yang turun tangan membabat habis rambut mereka. Pendek kata mereka divonis harus berhenti main jadug-jadugan!


Kenapa Mbah Bisri melakukan semua itu
“AKU SAJA CUMA KIYAI KOK KALIAN MAU JADI WALI!”
Kakak-beradik itu akhirnya dipindahkan mondoknya ke Krapyak, Yogya.
-sumber : GusMusdotNet, Gus Yahya Cholil Staquf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar