Senin, 24 Desember 2012

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL

NATAL berarti = hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih

KISAH MARYAM DAN NABI ISA a.s.
Kehamilan Maryam tanpa sentuhan seorang laki-laki

QS Maryam :
16. Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur,

17. maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami[901] kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.

***[901]. Maksudnya: Jibril a.s.

18. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa."

19. Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci."

20. Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

21. Jibril berkata: "Demikianlah." Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan."

22. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.

23. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan."

24. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.

25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,

26. maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini."

27. Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.

28. Hai saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",

*** [902]. Maryam dipanggil saudara perempuan Harun, karena ia seorang wanita yang shaleh seperti keshalehan Nabi Harun a.s.

29. maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?"

30. Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,

31. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;

32. dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

33. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."

34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.

35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.

36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.

Berhubung saya bukan ahli fiqih atau ushul fiqih, terkait soal apakah boleh mengucapkan selamat Natal, maka saya “bertanya” pada ahli agama yang kompeten: apakah boleh mengucapkan selamat Natal? Benarkan mengucapkan selamat Natal, haram?

Ternyata, kata ahli agama: boleh mengucapkan selamat merayakan Natal. Umumnya ulama kontemporer membolehkan pengucapan selamat Natal. Yang mengharamkan ucapan selamat Natal, kata ahli agama ini (ingat: bukan kata saya), hampir bisa dipastikan adalah ulama Wahabi-Salafi dan pendukungnya di Indonesia. Karena ini era kontemporer, maka sudah barang tentu, saya ikut pendapat ulama kontemporer.

Untuk mudahnya saya copas habis-habisan pengelompokan pendapat ulama berikut ini, dikutip dari rilis Pesantren Al-Khoirot Jawa Timur bertajuk “Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut Pandangan Ulama Islam” berikut ini:

Ada dua hal yang menjadi kontroversi seputar Natal bagi muslim yaitu hukum (a) mengucapkan selamat Natal; dan (b) mengikuti ritual sakramen Natal.
Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa mengucapkan Selamat Natal itu boleh. Yang tidak sepakat dengan pandangan ini adalah para ulama Wahabi dan pendukungnya. Apabla anda melihat komentar yang tidak setuju dengan ucapan selamat Natal di artikel ini, maka hampir dapat dipastikan mereka para aktifis Wahabi di Indonesia.

Masalah kedua adalah mengikuti sakramen ritual Natal. Untuk hal ini, hampir semua ulama kontemporer sepakat bahwa itu haram hukumnya.
Islam sangat menganjurkan para ahli agama di bidangnya untuk melakukan ijtihad. Muadz bin Jabal dipuji Nabi dengan ijtihadnya saat dikirim Nabi ke Yaman sebagai Hakim.[1]

Tetapi, ijtihad adalah aktivitas para ahli di bidang hukum agama yang disebut fiqih atau syariah. Sebagaimana juga undang-undang negara yang hanya dapat dibuat oleh para ahli hukum. Ada yang bermimpi bahwa ijtihad hukum Islam dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh mereka yang hanya modal membaca hadits terjemahan. Pendapat ini tidak logis bahkan bagi kalangan awam sekalipun. Kalau hanya ahli hukum pidana yang dapat membuat perundang-undangan atau keputusan hukum pidana umum, maka mengapa hukum Islam yang jauh lebih penting dapat dilakukan oleh sembarang orang? Tokoh Ulama Wahabi sendiri mewajibkan kalangan muslim yang awam ilmu agama untuk taqlid kepada keputusan hukum yang diambil ulama mereka.

Kembali pada soal Natal, yang menjadi perbedaan (ikhtilaf) ulama adalah seputar mengucapkan Selamat Natal. Sedangkan mengikuti ritual natal hukumnya haram secara ijmak (mufakat ulama fiqh). Sebagaimana haramnya orang Nasrani mengikuti ritual solat Idul Fitri atau Idul Adha. Namun dipersilahkan untuk ikut acara makan-mak`n setelah acara salat Ied selesai.

CATATAN: Artikel ini bertujuan untuk memberi pencerahan pada umat Islam terhadap persoalan seputar Natal. Karena itu, kami memuat dua pendapat yang berbeda. Baik yang menghalalkan atau yang mengharamkan mengucapkan Selamat Natal atau ucapan selamat yang lain pada pengikut agama lain. Adanya arus besar dua perbedaan pendapat seputar hal ini penting. Karena dapat dipakai oleh umat Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pendapat diambil dengan memakai sumber rujukan dari kedua kubu. Dengan mengesampingkan preferensi pribadi.

Umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri sendiri dan bagi seluruh alam apabila (a) tidak memaksakan kehendaknya sendiri; (b) menghargai perbedaan pendapat ulama yang berdasarkan pada argumen ilmiah; (c) boleh setuju atau tidak setuju dengan suatu pendapat dengan tetap menjaga perilaku Islami. Yakni, santun, logis dan tidak emosional.

Alkhoirot.net akan terus memberikan pencerahan pada umat yang bertanya pada kami dengan berusaha memberi jawaban terbaik (mengemukakan berbagai pendapat ul`ma) dan tanpa bias. Yang ingin bertanya seputar agama, silahkan kirim ke alkhoirot@gmail.com dan info@alkhoirot.com. Arsip konsultasi agama sebelumnya lihat di Konsultasi Agama Islam.

PENDAPAT BOLEHNYA MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
2. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’
3. Dr. Wahbah Zuhayli
4. Dr. M. Quraish Shihab
5. Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan Buya Hamka
6. Dr. Din Syamsuddin
7. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
8. Isi Fatwa MUI 1981 Seperti Dikutip Eramuslim.com

ULAMA WAHABI MENGHARAMKAN UCAPAN SELAMAT NATAL
Umumnya yang mengharamkan ucapan selamat Natal adalah ulama Wahabi. Inti alasan dari ulama yang mengharamkan adalah karena mengucapkan selamat pada perayaan orang non-muslim sama dengan mengakui kebenaran agama mereka,al: 

1. Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah
2. Fatwa Syeikh Al-’Utsaimin (ulama Wahabi)
3. Seluruh ulama Wahabi Salafi.
4. Seluruh simpatisan Wahabi Salafi di Indonesia

HARAM MENGIKUTI SAKRAMEN (RITUAL) NATAL
Mengikuti ritual (sakramen) Natal haram hukumnya secara mutlak. Baik menurut ulama yang membolehkan ucapan selamat natal maupun menurut ulama yang mengharamkannya.

SUMBER RUJUKAN KUTIPAN ULAMA
A. Bahasa Indonesia
1. sites.google.com/site/ppmenetherlands/syariah/hukummengucapkanselamatnatal
2. ustsarwat.com/web/ust.php?id=1198564259

B. Bahasa Arab
FATWA WAHBAH ZUHAILI SOAL NATAL
1. http://www.fikr.com/zuhayli/fatawa_p54.htm#26 (pendapat Wahbah Zuhayli yang membolehkan).
Zuhayli mengatakan:

لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
Artinya: Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.

2. islamqa.info/ar/cat/2021 (Ibnu Taymiyyah yang mengharamkan)
3. majdah.maktoob.com/vb/majdah14478/ (Al Uthaimin yang mengharamkan)
4. alanba.com.kw/AbsoluteNMNEW/templates/local2010.aspx?articleid=159838&zoneid=14&m=0

FATWA YUSUF QARDHAWI SOAL NATAL
Pada link no. 4 mengutip fatwa Qardhawi yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada hari raya umat Nasrani dan hari-hari raya nonmuslim lain. Berikut pendapat Yuruf Qaradawi:

يرى جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)».
ويرى د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات جاملة تعارفها الناس.

Artinya: Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani.

Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain.

Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam. Allah berfirman: Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik.

Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (nonmuslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka atau rela dengan hal itu. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal.
Fatwa Qardhawi lebih detail lihat di sini.

5. FATWA MUI DAN BUYA HAMKA
Ada pembaca yang memprotes di kotak komentar bahwa MUI sebenarnya mengharamkan ucapan selamat Natal sejak era Buya Hamka berdasarkan sumber dari Hidayatullah.com dengan mengutip ucapan salah satu tokoh MUI saat ini yaitu H. Aminuddin Ya`qub. Ucapan Aminuddin Ya’qub–kalau itu benar ucapan dia– bahwa MUI mengharamkan ucapan Natal sejak era Buya Hamka jadi ketua MUI adalah tidak akurat.

Saya adalah pembaca setia majalah Panji Masyarakat di mana Buya Hamka adalah pemrednya. Saya ingat persis tulisannya dalam kolom “Dari Hati ke Hati” yang mengatakan bahwa dia mengharamkan umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal. Tapi, kalau sekedar mengucapkan selamat Natal atau mengikuti perayaan non-ritual tidak masalah (tidak haram).

Saya kesulitan mencari berkas majalah Panji Masyarakat tersebut, tapi untungnya ada berkas seputar fatwa MUI dan HAMKA tersebut yang masih tersimpan di arsip Majalah TEMPO 16 Mei 1981 demikian: “Pada dasarnya menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . “

Pada 30 Mei 1981 Majalah Tempo melaporkan:
Mengapa Hamka mengundurkan diri ? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan (sic!; maksudnya mungkin mengharamkan -red) umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.

.. Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MU. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut.

Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

… HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Perbedaan dalam Internal MUI
Di samping itu, rupanya masih adanya perbedaan pendapat. Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. “Biarpun di situ kita tidaj ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut bernatal,” katanya. M nurut pendapatnya, “Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual. (Majalah Tempo, 30 Mei 1981).

Kesimpulan Fatwa MUI dan Hamka
Inti dari fatwa MUI era Hamka tahun 1981 adalah (a) haram mengikuti ritual Natal; (b) tidak haram menghadiri perayaan Natal, bukan ritualnya; (c) MUI Jawa Timur (KH. Misbach) mengharamkan menghadiri acara Natal baik sekedar untuk mengikuti perayaannya saja atau apalagi sampai mengikuti ritualnya.

Fatwa tersebut tidak membahas soal mengucapkan ucapan Selamat Natal.

MUI Tidak Mengharamkan ucapan Selamat Natal, kata Din Syamsuddin
Dikutip dari Hidayatullah.com Selasa, Jum’at, 23 Desember 2011:

Din Syamsuddin: “MUI Tidak Larang Ucapan Selamat Natal”
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin mengatakan, MUI tak melarang umat Islam memberikan ucapan “Selamat Natal”. Ibnu Qayyim dan Syaikh Muhammad ‘Utsaimîn mengatakan haram. @ Link sumber: http://www.hidayatullah.com/read/2359/11/10/2005/kanal.php?kat_id=9

FATWA MUI 1981 DIKUTIP DARI KUMPULAN FATWA MUI 1997 OLEH ERAMUSLIM.COM
Eramuslim.com mengutip khutbah Jumat Hartono Ahmad Jaiz seputar fatwa MUI era Hamka soal Natal.

(MUI) MEMUTUSKAN
Memfatwakan
Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.

Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.

Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. (Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H, 7 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ketua K. H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI).
Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia 1417H/ 1997, halaman 187-193)
Sumber link: Eramuslim.com

CATATAN: Dalam fatwa di atas, jelas disebutkan HARAMNYA mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Bukan mengucapkan selamat Natal.

DIN SYAMSUDDIN TENTANG UCAPAN SELAMAT NATAL
Kapanlagi.com - Ada pengakuan menarik dari Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof DR HM Din Syamsuddin MA soal muslim memberikan ucapan selamat Natal. “Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminarWawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10).

Din yang juga Sekretaris Umum MUI Pusat itu menyatakan MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi melarang orang Islam ikut sakramen/ritual Natal.

“Kalau hanya memberi ucapan selamat tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam,” katanya. @ Link sumber: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/74225

KESIMPULAN HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL
Seorang muslim yang mengucapkan Selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut mayoritas ulama. Yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen natal. Mengucapkan Selamat Natal itu perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman kuliah/sekolah, kolega kerja, atau rekan bisnis yang beragama Nasrani sebagai sikap mutual respect.

Bagi yang tidak punya hubungan apapun dengan orang Nasrani, tentu saja ucapan itu tidak diperlukan.Adapun pendapat yang tidak membolehkan adalah pendapat sebagian kecil ulama umumnya yang berlatarbelakang faham Wahabi Salafi yang memang dikenal ekstrim dan intoleran bahkan kepada kelompok lain dalam Islam sendiri.

Kembali saya klik sana-sini di internet. Akhirnya ketemulah artikel Quraish Shihab ini. Intinya, mengucapkan selamat Natal dibolehkan dan tersurat dalam Qs surah Maryam (19) ayat ke-33. Namun untuk memuaskan hati saya maka saya copas habis-habis tanpa ampun sebagaimana di bawah ini, sumber di sini:

Selamat Natal Menurut Al-Qur’an
Dr. M. Quraish Shihab
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'" "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya.

Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."   Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.  

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu?
Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.?

Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."  

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda ?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.?
Bukankah seluruh umat bersaudara ? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.  

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.   Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu."

Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.   Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur."

Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang." Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.  

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih ?
Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi )

" Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."(QS 3/Ali Imron :64) ?

Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?   Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual .

Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.  Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.  
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman.

Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan.

Beliau tidak sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan ?" Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan."  

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.

Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.  

Adakah kacamata lain ? Mungkin!   Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu.

Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?   Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya.

Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.  

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.  

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.

di rangkum dari berbagai sumber
1. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Natal.html
MEMBUMIKAN AL-QURAN Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Dr. M. Quraish Shihab Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996 Jln. Yodkali 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

2. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/078450166/Alissa-Wahid-Ucapan-Selamat-Natal-Tidak-Dilarang

3. http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/24/setelah-saya-tanya-ahlinya-kata-ahlinya-boleh-ucapkan-selamat-natal-519355.html

@@@ Serahkan pada Ahlinya
____________Semoga bermanfaat._____________
Salam,
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»