Jumat, 23 Desember 2011

Hakikat tauhid

Hakikat tauhid dan nasehat seorang murid kepada gurunya



Mereka mengaku bahwa dakwah mereka adalah dakwah memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat atau disingkat TBC

Apakah tauhid ?

Tauhid secara umum adalah lawan dari syirik. Syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan orangnya dinamakan orang kafir

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali)? mereka menjawab : ya, wahai Rasulullah ! beliau bersabda : menyekutukan Allah“ [muttafaq ‘alaih, Al Bukhari hadits nomer : 2511]

Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya“ [An Nisa : 48]

Tauhid secara umum maknanya adalah tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalla atau mereka bertauhid (mereka beriman) adalah mereka mengakui tiada tuhan selain Allah Azza wa Jalla.

Sebagian orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah mengedepankan “kebebasan” mengatakan bahwa Iblis mengakui tiada tuhan selain Allah bahkan dijuluki "bapak tauhid" karena tidak mau sujud kepada selain Allah.

Hakikat kafir atau menyekutukan Allah atau mereka yang melakukan perbuatan syirik adalah mereka yang tidak mengakui ke -Maha Kuasa - an Allah Azza wa Jalla

Iblis dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak mengakui ke -Maha Kuasa -an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya berupa perintah untuk sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s).

Orang Islam yang bersujud (sholat) menghadap Ka’bah, tidak berarti dia menyembah Ka’bah, akan tetapi dia sebenarnya sedang bersujud dan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan menghadap ke Ka’bah perwujudan menjalankan perintahNya atau mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla. Begitu juga para malaikat sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s) perwujudan melaksanakan perintahNya atau mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla.  

Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani walaupun sebagain kecil mereka beriman kepada Allah namun tetap dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla dan dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat karena mereka tidak mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya berupa perintah untuk bersyahadat.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
 “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata:  ‘Setiap kali Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta’ala  menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah  yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]:140 )

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,  “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.

Firman Allah ta’ala yang artinya
Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al Maa’idah [5]:68 )
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)

Ibadah sendiri berarti mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana seseorang yang sedang melaksanakan ibadah haji, dia diperintahkan untuk mencium hajar aswad dan melempar jumrah, amalan-amalan ini disebut ibadah karena melaksanakan perintah Allah.  

PerintahNya dan laranganNya oleh para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dirumuskan kedalam 5 hukum perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah (mandub), haram, makruh, mubah yang dikenal dengan istilah beristinbat (menetapkan hukum perkara)

Orang kafir pada hakikatnya adalah mereka yang tidak mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla yakni mereka yang tidak mentaati kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa) , tidak menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) dan tidak menjauhi apa yang diharamkanNya (dikerjakan berdosa).

Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan sholat adalah orang kafir. Pada hakikatnya kafir karena tidak mengakui ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati perintahNya berupa kewajibanNya (ditinggalkan berdosa).

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perbedaan antara seorang pria mukmin dan kafir adalah meninggalkan sholat” . (H.R. Muslim)

Rasulullah bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kami dan mereka adalah sholat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah menjadi kafir”. (H.R. Tirmidzi)

Ahli bid'ah pun termasuk orang kafir , mereka yang melakukan perbuatan syirik, mereka yang tidak mau mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla karena mereka mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya

Perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla meliputi kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa), laranganNya (dikerjakan berdosa) dan segala perkara yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).

Ahli bid'ah adalah mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid'ah) sehingga mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya

Ahli bid'ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.

Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat tarawih berjama'ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari

Bid'ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan penuh.
Bid'ah dholalah,  jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya (ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.

Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ

“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

Mereka yang melampaui batas adalah mereka yang sombong yakni mereka yang menuhankan akal pikirannya, menuhankan hawa nafsunya.

Akal pikiran berbeda dengan Akal Qalbu (hati).

Akal Pikiran / logika adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau kerja otak.
Akal Qalbu / hati adalah mengikuti cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa setiap manusia.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )

Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang mem-benarkanmu.” Ini adalah hadits yang kami riwayatkan dari dua imam, yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan

Iblis menolak sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s), karena dia merasa lebih baik dari manusia. Dia menganggap bahwa unsur api, lebih baik daripada unsur tanah. Sebenarnya kalau saja Iblis mau jujur, mestinya dia merasa malu, karena pada waktu dia menolak untuk sujud kepada manusia, disitu terdapat makhluk yang lebih tinggi derajatnya yaitu malaikat, karena mereka diciptakan dari cahaya. Walaupun begitu mereka mau bersujud ketika diperintah Allah Azza wa Jalla, seharusnya yang lebih rendah derajatnya ikut sujud juga. Akan tetapi begitulah Iblis, dia sombong dan menolak untuk sujud.

Rasa takabbur dan sombong merupakan sifat yang sangat tercela. Pertama kali yang mempunyai sifat ini adalah Iblis. Seseorang yang mempunya sifat seperti ini akan dijauhkan dari surga .

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidak masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari perasaan sombong

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda:  "Keagungan adalah sarungKU dan kesombongan adalah pakaianKU. Barangsiapa merebutnya (dari AKU) maka AKU menyiksanya. (HR. Muslim)

Dosa pertama kali yang dilakukan makhluk adalah rasa sombong, tamak dan iri .
Berkata Qatadah :  “Iblis merasa iri dengan Adam, karena dia diberikan kemuliaan oleh Allah subhanahu wa’ta'ala, maka ia berkata :  “Saya tercipta dari api, sedangkan dia dari tanah”, kemudian munculah dosa pertama kali yaitu rasa sombong. Setelah itu muncul rasa tamak, sehingga Adam memakan dari pohon ‘ yang terlarang ‘ , kemudian rasa iri, ketika anak Adam iri dengan saudaranya.

Ibnu Abbas ra mengatakan juga : “Jika seseorang terjerat di dalam kesombongan, maka jangan banyak diharap. Sebaliknya jika ia terjerat di dalam kemaksiatan, kemungkinan masih bisa diharapkan untuk bertaubat

Kesombongan kaum Yahudi karena  memandang bahwa mereka adalah umat pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa diistimewakan dan dilebihkan atas seluruh umat pada zaman yaitu semasa Nabi Musa ‘alaihissalam. Selengkapnya telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan/

Orang yang merasa berilmu banyak, merasa berkompentesi berijtihad dan tidak mau mengakui pemahaman/pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang Empat, tidak mau mengakui pemahaman/pendapat para jumhur ulama yang bermazhab atau mereka merasa lebih Ahlus Sunnah dibandingkan muslim yang bermazhab boleh jadi mereka yang terjerumus dalam kesombongan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh

Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/04/semakin-jauh-darinya/

Al-Hâfizh adz-Dzahabi adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, --terutama dalam masalah akidah--, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama'ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.

Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9 ]:

Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Berikut nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:


*****awal kutipan*****
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh... Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!

Oh... Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.

Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.

Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)

Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!

Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!

Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!

Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.

Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.

Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.
*****akhir kutipan*****

Sebenarnya ada informasi dan saksi yang menyampaikan bahwa ulama Ibnu Taimiyyah sebelum wafat telah sempat bertobat dari kesalahpahaman-kesalahpahamannya namun sayangnya informasi ini tidak tersampaikan dengan baik sehingga kesalahpahaman-kesalahpahaman beliau tetap diikuti oleh ulama-ulama lainnya seperti ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang hidup setelah 350 tahun lebih wafatnya ulama Ibnu Taimiyyah.  Sebagaimana contoh yang diriwayatkan dalam tulisan pada http://arisandi.com/?p=964 berikut kutipannya

***awal kutipan****
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.

Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.

Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.

Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.
****akhir kutipan*****

Padahal ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan agar menghindari kitab-kitab ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf  maupun pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/

Begitu juga ulama-ulama negeri kita telah memperingatkan kita untuk meninggalkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya seperti contohnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.  Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul Wahhab telah keluar daripada pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan dan menyalahi pemahaman para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain


Wassalam



Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Files:
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

Sejarah Tasawuf

Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.

Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far.

Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.

Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.

Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).

Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.

Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :

Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H.

Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.

Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah

Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).

2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)

3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).

4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H).

Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.

Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.

Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.

Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)

Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.

Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.

Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.


Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun tarekat telah dikenal sejak  jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini  tarekat berkembang dengan pesat.

Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

Smber :
http://forum.dudung.net
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

ILMU LADUNI

ILMU LADUNI


Posted by sufi 



Ilmu ladunny diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh hamba tanpa menggunakan sarana, tapi berdasarkan ilham dari Allah, yang diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya, seperti ilmu Khidhir yang diperoleh tanpa sarana seperti halnya Musa.* Allah befirman,

"Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65) *Di satu sisi Khidhir adalah seorang hamba dan juga rasul, dan di sisi lain Musa juga seorang hamba dan rasul. Pada diri Musa tersisa sifat-sifat kekerasan, karena beliau dibesarkan di rumah Fir'aun. Suatu hari beliau menyampaikan pidato. Ada seseorang bertanya, "Siapakah orang yang paling berilmu?" Musa menjawab, "Aku." Karena beliau tidak menisbatkan ilmu itu kepada Allah, maka Allah menghardiknya, dan memerintahkan agar beliau pergi untuk belajar dari Nabi Khidhir, yang sebelumnya telah diberikan wahyu agar memberi pelajaran yang pas kepada Musa. Begitulah yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary.

Ada perbedaan antara rahmat dan ilmu. Keduanya dijadikan berasal dari samping Allah dan dari sisi Allah, karena memang keduanya tidak diperoleh begitu saja oleh hamba. Kata min ladunhu lebih khusus dan menunjukkan jarak yang lebih dekat daripada kata min indihi, yang keduanya sama-sama berarti dari sisi-Nya. Maka dari itu Allah befirman,

"Dan, katakanlah, 'Ya Rabbi, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong'." (Al-Isra': 80).

Min ladunhu berupa kekuasaan yang menolong, sedangkan min indihi berupa pertolongan yang diberikan kepada orang-orang Mukmin.

Ilmu ladunny merupakan buah ubudiyah, kepatuhan, kebersamaan dengan Allah, ikhlas karena-Nya dan berusaha mencari ilmu dari misykat Rasul-Nya serta ketundukan kepada beliau. Dengan begitu akan dibukakan kepadanya pemahaman Al-Kitab dan As-Sunnah, yang biasanya dikhususkan pada perkara tertentu.

Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kekhususan tertentu tentang suatu perkara kepada kalian, yang tidak diberikan kepada selain kalian?" Maka dia menjawab, "Tidak. Demi yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angin, selain dari pemahaman tentang Al-Qur'an yang diberikan Allah kepada hamba-Nya."

Inilah yang disebut ilmu ladunny yang hakiki, yaitu ilmu yang datang dari sisi Allah, ilmu tentang pemahaman Kitab-Nya. Sedangkan ilmu yang menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak diikat dengan keduanya, maka itu datang dari hawa nafsu dan syetan. Memang bisa saja disebut ilmu ladunny. Tapi dari sisi siapa? Suatu ilmu bisa diketahui sebagai ilmu ladunny, jika ia sesuai dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang berasal dari Allah. Jadi ilmu ladunny ada dua macam: Dari sisi Allah, dan dari sisi syetan. Materinya disebut wahyu. Sementara tidak ada wahyu setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Ilmu ladunni diambil dari kalimat 'minladunna ilman', ... ilmu yang berasal dari sisi Kami (Allah) tercantum dalam surat Al Kahfi : 65

" lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami"

yaitu ilmu yang langsung berasal dari Allah berupa ilham atau wahyu.Menurut para mufassir hamba Allah di sini adalah nabi Khaidhir, dan yang dimaksud dengan rahmat ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang tercantum dalam kisah nabi Musa dan nabi Khidhir berikut ini:

Musa berkata kepada Khidhir: bolehkah aku mengikutimu supaya mangajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?
Dia Khidir menjawab: sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan saggup sabar bersamaku.Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?
Musa berkata: insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.
Khidir berkata: kamu mengikutiku, maka janganlah kau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya, Musa berkata: mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ? Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar.
Dia (Khidhir) berkata: bukankah aku telah berkata : sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.
Musa berkata : janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.
Maka berjalanlah keduanya: hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya.
Musa berkata: mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain ? sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.
Khidhir berkata: bukanlah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku ?
Musa berkata: jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.
Maka keduanya berjalan: hingga takala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu.
Musa berkata: jikalau kamu mau niscaya kamu mengambil upah untuk itu.
Khidhir berkata: inilah perpisahan antara aku dengan kamu: aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka tuhanmu mengendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku sendiri, demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
(QS. Al Kahfi:66-82)


Dari kisah tadi dapat disimpulkan bahwa ilmu ladunni adalah ilmu mukasyafah (mampu melihat dengan pandangan bathinnya) yang berasal dari ilham maupun dari wahyu.

Juga dapat disimpulkan bahwa ilmu mukasyafah banyak bertentangan dengan ilmu syariat yang ada, sehigga tidak bisa dijadikan landasan hukum agama. Karena itu Musa selalu membantah apa yang dilakukan oleh nabi Khaidhir. Maka dari itu ilmu mukasyafah itu hanya untuk diri sendiri dan bagi yang mengerti ilmu ini saja, bukan dijadikan dalil hukum-hukum agama. Kecuali yang tidak bertentangan dengan nash Alqur'an dan Al hadist .

Ilmu mukasyafah ini bukan hasil mempelajari suatu ilmu tetapi merupakan ilham yang diletakkan kedalam jiwa orang mukmin yang hatinya bersih. Jika hal ini terjadi kepada kita maka kita diberi kefahaman untuk menangkap suatu kejadian yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Karena jiwa yang bersih dapat melakukan komunikasi kepada sumber ilmu yaitu Allah yang maha mengetahui segala sesuatu.

Adapun manfaat ilmu mukasyafah ini adalah untuk menjaga dan mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi terhadap kita maupun terhadap lingkungan, sehingga kita bisa mengantisipasi sedini mungkin ... ittaquu firasatal mukmin ... percayalah kepada firasatnya orang-orang mukmin

Pendapat Al-Ghazali

Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seseorang mendapat ilmu itu ada dengan dua cara: 1. Proses pengajaran dari manusia, disebut: At Ta'lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu: a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya). b. Self study dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya sendiri. 2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut At Ta'lim Ar Rabbani. Ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Diberi dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ilmu Al Anbiya (Ilmu Para Nabi) dan ini khusus untuk para nabi. b Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut Ilmu ladunny (ilmu dari sisi Tuhan). Ilmu ladunny ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang sinar itu langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih Nya (para wali).

Kisah simbolik anatara Nabi Musa dengan nabi Khidir ini mengisyaratkan adanya tingkatan-tingkatan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan kecerdasan spiritual. Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa adalah kecerdasan intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka Nabi pun berpotensi untuk memperolehnya.

Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan model kecerdasan spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual (ladunni) dalam bentuk mukasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan pikiran dan akal pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa. Mukasyafah ini juga merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini.

Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dengan maksud supaya disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.

Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra conciousnes sedangkan intuisi hanya merupakan sub-conciousnes. Allah Swt sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang disebut ‘Ilm al-Ladunny oleh Al-Gazali.

Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:


Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Al-Gazali mengakui adanya hierarki kecerdasan dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun Al-Gazali hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu:

1.Kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akan (al-‘aql)

2.Kecerdasan Spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruhani, yang ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik (intuisi).

Ibn Arabi menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu yaitu pengetahuan kudus (‘ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (‘ilm al-asr±r) dan ilmu pengetahuan tentang gaib (‘ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan ini tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual. Tentang kecerdasan intelektual, Ibn ‘Arabi cenderung mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan bahwa intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah yang mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.

Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksessibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Gazali, jika seseorang mampu mensinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada diri manusia, maka yang bersangkutan dapat “membaca” alam semesta. Kemampuan membaca alam semesta di sini merupakan anak tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta menurut Al-Gazali merupaka “tulisan” Allah Swt.

Menurut Al-Gazali, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan kemampuan untuk mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Fenomena “kenabian” bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan sifat-sifatnya untuk “menerimanya”. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai kecerdasan kepada manusia, maka “kenabian” menjadi fenomena alami. Keajaiban yang menyertai para Rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral dari “kenabian”, tetapi hanyalah alat untuk pelengkap alam mempercepat umat percaya dan meyakini risalah para Rasul itu.


Demikianlah kisah Musa dengan Khidhir, maka bergantung kepada kisah ini untuk memperbolehkan ketidak butuhan wahyu kepada ilmu ladunny, merupakan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Adapun perbedaannya, Musa tidak diutus sebagai rasul kepada Khidhir dan Khidhir tidak diperintah untuk menjadi pengikut Musa. Andaikan Khidhir diperintahkan menjadi pengikut Musa, tentunya Khidhir diperintahkan untuk mendatangi Musa dan hidup bersama beliau. Karena itu Khidhir bertanya kepada Musa, "Kamukah Musa, nabi Bani Israel?" Musa menjawab, "Ya."

Sementara Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diutus kepada semua manusia. Risalah beliau diperuntukkan bagi jin dan manusia di setiap zaman. Andaikan Musa dan Isa masih hidup, tentu keduanya menjadi pengikut beliau. Andaikan Isa bin Maryam turun ke bumi, tentu Isa akan menerapkan syariat beliau. Maka siapa yang beranggapan bahwa Isa dengan Muhammad sama seperti Musa dengan Khidhir, atau memperbolehkan anggapan seperti ini, maka hendaklah dia memperbarui Islamnya dan mengucapkan syahadatain sekali lagi secara benar. Karena dengan anggapan seperti itu dia telah keluar dari Islam secara total, dan sama sekali tidak bisa disebut wali Allah, tapi wali syetan.

Maksud perkataan, "Pengetahuannya adalah kesaksiannya", bahwa ilmu ini tidak bisa diambil dengan pemikiran dan kesimpulan, tapi dengan melihat dan menyaksikannya.

Maksud perkataan, "Sifatnya adalah hukumnya", bahwa sifat-sifatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan hukum-hukumnya, sifatnya terbatas pada hukumnya, saksinya adalah hukumnya. Hukum ini merupakan dalil, sehingga antaranya dan hal-hal yang tidak tampak tidak ada hijab. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain.

Inilah yang diisyaratkan orang-orang, bahwa ilmu ini merupakan cahaya dari sisi Allah, yang mampu menghapus kekuatan indera dan hukum-hukumnya. Inilah makna yang diisyaratkan dalam atsar Ilahy,"Jika aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat...."

Demikianlah Ilmu ladunny yang datang dari Allah merupakan buah cinta ini, yang muncul karena mengerjakan nafilah setelah fardhu. Sedangkan ilmu ladunny yang datang dari syetan merupakan buah berpaling dari wahyu, mementingkan hawa nafsu dan memberi kekuasaan kepada syetan.
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

RUH, QALB, NAFS DAN AQAL

RUH, QALB, NAFS DAN AQAL


Posted by sufi 

Pengertian Ruh, Qalb, Aql dan Nafs

Menurut al-Ghazali istilah Ruh, Qalb, Aql dan Nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:

الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.

”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb).”

Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukank seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu Kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah Qalb.

Menurut para sufi hati juga merupakan bagian dari diri kita yang dapat menyingkap ilmu-ilmu ghaib, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kita mempunyai dua pasang mata: yaitu mata lahir dan mata bathin, jadi hati adalah lathifah yang mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal yang ghaib. Dengan hati juga kita dapat melihat tuhan, kata imam Al Ghazali, hati itu hati dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.

Hal itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.

Selanjutnya adalah persoalan hati. Menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatian kita bukanlah hati fisik, biarlah itu menjadi urusan dokter saja, yang menjadi urusan kita adalah lathifah rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.

Berikutnya adalah Akal. Ia juga memiliki dua nama. ada akal sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut akal.

Alhasil ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. ketiganya sama-sama merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaiatan dengan jasmani. Orang dapat merasakan pedih tampa mengalami gangguan fisik, sedikitpun. tubuhnya normal tetapi mengalami kepedihan yang luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasalan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan tubuh, akan tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak mempunyai ruh, ia tidak akan merasakan sakit apapun, meski tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit bukan tubuh kita, tetapi ruh kita atau qalb atau akal-dalam definisi lathif sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat pedih tampa mengalami gangguan fisik sedikitpun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yng luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan adalah lathifah rabbaniyah ruhiyyah.

Orang-orang modern mencoba membuktikan hal ini dengan hipnotis. Misalnya seseorang menghipnotis anda dan menyuruh anda tidur. Kemudian ia memberikan posthypnotic suggestion (sugesti pasca hipnotis) kepada anda, sehingga ketika bangun dari tidur, anda tidak merasakan apa-apa meskipun tubuh anda dikerat-kerat. meskipun anda sadar, anda tidak merasakan sakit sedikitpun, sebab ruh anda sudah diperintahkan untuk tidak merasakan sakit. Jadi yang merasakan sakit itu bukan tubuh kita, tetapi ruh. Yang mendengar, melihat dan merasa sakit adalah ruh. Jika ruhanda tidak mau merasakan, anda pun tidak akan merasakannya, kalau anda dikejar ular, lalu anda lari dengan cepat sehinggga menginjak pecahan-pecahan kaca, anda tidak akan merasakan sakit setelah anda selamat yakni ketika anda sudah tidak memperhatikan ular lagi, barulah ruh anda akan memperhatikan kaki anda. Semula tidak merasa, kini terasa sakit. Sebab, saat itu ruh sedang memperhatikan pecahan-pecahan kaca bukan ular lagi. Kata Imanuel Kant kalau seseorang mendengar jam, yang mendengar itu bukan telinganya. Telinganya hanya alat saja. Yang mendengar adalah ruh. Ketika sepasang manusia sedang berpacaran, detak jam dinding itu tidak terdengar lagi, begitu pacaran selesai dan mereka merenung sendirian, detak jam itu mulai terdengar oleh mereka.

Berikutnya adalah Nafs, di kalangan ulama, nafs itu bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek yakni al-hawa yang di dalamn bahasa Indonesia sering digabungkan menjadi satu, yakni hawa nafsu tugas kita adalah membersihkan hati kita dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu oleh Al-Qur’an disebut dengan qalbun salim, tidak akan digangu setan. Kalau kita salat lalu kita datang kepadanya dengan hati yang dipenuhi oleh makanan setan, dzikir yang kita ucapkan tidak akan dapat mengusir setan, setan akan tetap bertengger di sekitar kita. Begitu kita lengah, ia akan masuk dan bersarang di hati kita memakan makanannya, yang di antaranya adalah al-hawa tersebut.

Diceritakan bahwa sesuatu ketika setan datang kepada Ibn Al A‎Hjjaj dan berkata, ia tidak menemukan makananya di dalam diri orang-orang salih. Ia kekurangan makanan karena orang mukmin yang slaih itu menghancurkan hawa nafsunya.

Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita itu adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-qur’an, pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga: (1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthma’innah.

Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat yusuf disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu itu menyuruh (ammaratun ) berbuat jelek’ (QS 12: 53)

Ammarah artinya yang memerintahkan yang mendesahkan, atau yang mengajak. Nafsu ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, nafsu yang masiih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya yang tunduk kepada ghadab dan syahwat serta sifat-sifat kebinatanganya.

Nafsu yang kebih tinggi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, itulah yang disebut nafsu lawwamah Allah bersumpah dengan macam pengadilan:

“Aku bersumpah dengan hari kiamat dan aku bersumpah dengan nafsu lawamah”, (QS 75: 1-2).

Kata Murthadha Muttahhari, ada tiga macam pengadilan, berurutan dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Mungkin pengadilan di dunia ini merupakan pengadilan yang paling banyak tidak adilnya. Sebab di sini keadilan diukur dengan seberapa kuat atau lemahnya seseorang. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang disebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili, yang membuat kita gelisah. Di situ tidak bisa lagi berbohong. Akan tetapi nafsu Lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan hari kiamat. Di situ orang tidak bisa bersdusta dan tidak bisa menghindar lagi. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil adilnya. Tidak ada satupun orang yang luput dari pengadilan tuhan. Itulah pertama kali Allah bersumpah dengan hari kiamat.

Yang terakhir, yakni diri yang paling tinggi adalah diri sesudah tunduk kepada kehendak Allah, yang sudah meninggakan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak ketika kembali kepada tuhan hanya akan disapa dengan penuh kemesraan:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan perasaan rela dan direlakan (QS 89: 27-28)

Nafsu muthmainnah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.

F. Hadist -hadits tentang Hati

Qalb mempunyai dua makna: Qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, Qalb dapat kita terjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi Saw. bersabda, "Di antara tubuh itu ada mudghah, ada suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah mudghah itu adalah qalb.”

Orang sering menerjemahakan qalb disini sebagai “hati”, sehingga mereka berkata, "Kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih.” Padahal sebenarnya yang dimaksud disini adalah hati dalam bentuk jasmani. Karena Nabi Saw. menyebutnya segumpal daging.

Ada seorang penulis Mesir yang menulis sebuah buku tentang kedokteran islam. Dia merujuk hadis ini untuk menunjukan peran jantung dalam seluruh mekanisme tubuh kita. Bagaimana kalau tubuh kita mengalami gangguan? Apakah yang akan segera terjadi pada bagian tubuh yang lain. Dan bagaimana pula kalau jantung kita ini baik, maka apakah yang akan terjadi pada seluruh bagian tubuh ini?

Itulah yang dimaksud oleh Rasululah bahwa di dalam tubuh kita ada segumpal daging yang apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Dan segumpal daging itu adalah al-qalb, jantung dalam bentuk fisik.

Ada juga qalb dalam arti kekuatan ruhaniah yang mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsi dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira.yang berpikir dan yang merenungkan itu kekuatan batin yang disebut qalb. Dan ini dalam bahasa indonesia disebut hati. Sehingga kalau ada sebutan, "Hatinya hancur,” maka yang dimaksud bukan jantungnya hancur tetapi ada bagian jiwa orang itu yang hancur.

Ketika Nabi mengatakan, ”Ada segumpal daging dalam tubuh,” Nabi juga melambangkan peran hati dalam kesehatan jiwa. Sebagaimana jantung memegang peranan penting dalam kesehatan tubu, maka begitu pula hati. Ia memegang peranan amat penting dalam kesehatan ruhani kita. Kalau hati kita rusak, maka seluruh ruhani kita rusak; dan kalau hati kita baik, seluruh ruhani kita baik.

Banyak hadits nabi yang membicarakan qalb ini. Di antaranya, Rasulullah Saw. mengatakan bahwa “Qalb ini karena sifat berubah-ubahnya bagaikan selembar bulu dipadang pasir yang bergantung pada akar pepohonan kemudian dibolak-balik oleh angin dari atas kebawah “.8

Ketika Rasulullah menggambarkan hati itu seperti selembar bulu yang tergantung di atas pohon yang ditiup angin, beliau mengingatkan kita agar berhati-hati menghadapi perubahan itu. Karena itu, ada do’a yang diajarkan Nabi untuk mengokohkan hati, yaitu “Teguhkanlah hatiku dalam agama-mu”.

Dalam pertanggung jawaban yang berkaitan dengan amal manusia, Allah menghukum bukan hanya amal lahiriyah dalam bentuk perbuatan yang jelek tetapi juga niat yang jelek yang tersembunyi dalam hati. Al-Qur’an mengatakan: Allah mennghukum kamu dengan apa yang dilakukan oleh hati kamu (QS 2:225).

Dalam ayat lain disebutkan

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.:

"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36)

Jadi, jangan mengira kalau kita punya niat yang jelek itu tidak dimintai pertanggungjawaban. Itu juga dihukum.

"Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan". (QS 2:27)

Jadi, termasuk niat yang ada dalam hati pun akan di hitung Allah Swt Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan niat itu.

Dalam suatu perjalanan yang panjang dengan udara yang panas, para sahabat kelelahan. Waktu itu Rasulullah mengatakan, “Ada orang yang tinggal di Madinah dan tidak ikut berangkat dengan kita tetapi ia mendapatkan ganjaran seperti ganjaran amal yang sedang kita laksanakan”. Ketika para sahabat bertanya,:”Mengapa?” Rasulullah menjawab, “Karena dia telah berniat pergi bersama kita, tetapi karena uzur yang tidak dapat ditolak, dia tidak bisa berangkat bersama kita, dan Allah membalas mereka semua dengan niatnya.”

Bila ada laki-laki menikah dengan mahar yang tidak dibayar kontan, sedangkan ia berniat dalam hati untuk tidak membayarnya, maka Allah menghitung laki-laki tersebut berzina. Kalau ada orang meminjam uang kemudian dalam hatinya ada niat tidak mau membayar, Allah menghitungnya sebagai pencuri. Dari sini Allah menghukum seseorang berdasarkan niat yang bergetar didalam hati, karena niat itu letaknya di dalam hati.

Marilah kita melihat apa peranan hati didalam ruhani kita menurut beberapa riwayat : Rasulullah Saw. bersabda : “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.9

Imam Ja’far Ash-shadiq juga mengatakan, “Sesungguhnya posisi qalb sama seperti pemimpin ditengah-tengah manusia.” Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah punya wadah dibumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.” Kemudian Nabi melanjutkan, “Yang paling lembut adalah yang lembut terhadap sesama saudaranya, dan yang bersih adalah yang bersih darri dosa-dosa, sedangkan yang kokoh adalah keteguhan seseorang dalam membela agama Allah sedang dia tidak takuk celaan orang yang mencelanya”

Dalam riwayat lain, nabi SAW bersabda, “Allah tidak melihat tubuh tubuh kamu, Allah tidak melihat harta- harta kamu tetapi Allah melihat hati dan amal amal kamu.” Disebutkan dalam hadits yang lain, “Hati ada tiga macam. Pertama, hati yang terbalik, yaitu hati yang tidak bisa menampung kebaikan sedikitpun dan itu adalah hati orang kafir.

Kedua, hati yang di dalamnya ada titik hitam, yang di dalamnya bertarung antara kebaikan dan kejahatan. kalau salah satu kuat, maka yang kuat itulah yang menang.

Ketiga hati yang terbuka yang di dalamnya ada lamppu yang bersinar sinar sampai hari kiamat. itu hati orang mukmin. Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu dia berjalan di tengah tengah ummat manusia (QS. 6:122).”

Imam Ali mengatakan: "Hati yang paling baik adalah hati yang paling bisa menyimpan kebaikan.”

1. Perubahan hati

Qolb adalah masdar dari qalaba, artinya membalikan, mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqallaba, artinya bolak-balik, berganti-ganti, berubah-rubah.”Summiya al-qalb li taqallubih‎” 'disebut qalb karena berubah-rubahnya.' Imam ja’far Ash-Shadiq menyebutkan hati itu ada empat.

a. Hati yang tinggi

Tingginya hati ini ketika zikir kepada Allah Swt. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah hatinya akan naik ke tempat yang tinggi.

b. Hati yang terbuka

Hati ini diperoleh apabila kita ridha kepeda Allah Swt. Ketiga, hati yang rendah, terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal yang selain Allah.

c. Hati yang mati atau hati yang berhenti

Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah Swt. sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga agar hati kita selalu hidup, maka ingatlah kepada Allah Swt. Dalam salah satu hadis dikatakan, "Kalau hati tidak diisi dengan zikir, maka ia bagaikan bangkai.”

Dalam surat Asy-Syu’ara ayat 87-89 dan Ash-shffat ayat 83-84 di sebutkan hati yang selamat, bersih atau suci qalbun salim. Allah berfirman:

Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka di bangkitkan.(yaitu)di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna.Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS26:87-89).

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan (Nuh).(ingatlah)ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (QS 37:83-84).

Nabi pernah ditanya tentang apa yang dimaksud qalbun salim ini, kemudian Nabi menjawab, "Itu keyakinan agama yang tidak dicampuri dengan keragu-raguan hawa nafsu.” Mungkin sulit untuk dapat menggambarkan keyakinan itu.Tetapi,ada penelitian yang pernah saya ceritakan dalam buku Islam Alternatif yaitu penelitian Gordon W. Allport. Seperti Anda ketahui, di situ disebutkan ada dua macam cara beragama yaitu intrinsik dan ektrinsik. Mula-mula Alport mengadakan penelitian tentang hubungan orang yang beragama dengan kesehatan jiwanya. Ada anggapan makin beragama orang itu makin sehat jiwanya.yang. Menurut Alport, harus di tentukan dulu adalah tipe orang beragama itu. Kalau beragama itu diukur dengan beberapa banyak datang ke masjid atau ke gereja, keberagamaan tidak menjamin kesehatan jiwa.

Karena sering sekali orang datang ke gereja, dalam penelitian Alport, bukan karena keyakinan tetapi karena hawa nafsu. Mungkin seseorang datang ke gereja ingin memperoleh pasangan, ingin mendapat pengakuan sosial, atau menjalin relasi bisnis.

Agama seringkali dipakai sebagai tempat pelarian.orang lari kepada agama untuk memperkokoh harga dirinya, ada yang karena frustrasi akibat pergumulan hidup. Ia menemukan satu aliran agama yang menawarkan apa yang di carinya. Itu keberagamaan ektrinsik. Bagaimana beragama yang intrinsik. Rosululloh Saw. Menyebutkannya, “Keyakinan yang di masuki hawa nafsu." Beliau bersabda, "qalb yang selamat adalah keyakinan yang tidak dimasuki keraguan dan hawa nafsu.” Di sini orang yang beramal tanpa berkeinginan untuk pamer dan ingin dipuji.

Allah Swt.berfirman:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS.13:28).

Dalam ayat itu disebutkan bahwa cara memperoleh ketenteraman hati adalah dengan berzikir kepada Allah, tetapi tidak semua zikir itu menenteramkan hati. Karena itu, syarat zikir yang dapat menenteramkan hati adalah zikir orang yang beriman. Orang yang tidak beriman tidak bisa tenteram dengan zikir. Sebaliknya, orang yang beriman tidak akan tenteram hatinya kecuali dengan zikir kepada Allah.

Karena itu, kalau anda beriman jangan mencari ketenteraman pada kekayaan, kemasyhuran, atau hal-hal duniawi lainnya. Tetapi ketenteraman itu hanya di peroleh dengan zikir kepada Allah.

Ketenteraman ada kaitannya dengan keimanan seperti dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 4:

"Dialah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)...(QS. 48:4).

Allah menurunkan ketenteraman kepada hati orang yang beriman. Ketenteraman hati itu tampak dari gejala fisik mereka. Ada orang yang bertingkahlaku qurani dan ada pula manusia yang bertingkah laku syaithani. Orang yang tenteram menunjukan perilaku qurani.

Di Iran sesudah revolusi, ada banyak ulama yang mati ketika menyampaikan khutbah. Orang yang mati itu dinamakan syahid mimbar. Pada suatu waktu ketika khatib menyampaikan khutbah di sekitar mimbar meledak sebuah bom. Beberapa orang terpental. Kebetulan khutbah itu direkam dalam televisi, sehingga dapat disaksikan ulang. Termasuk tingkah laku khatib. Anehnya, khatib itu tenang saja, tidak memiliki rasa takut sedikitpun, seperti terlihat dari raut wajahnya. Beliau hanya memalingkan mukanya sedikit untuk menghindari seburan debu dari arah ledakan tadi. Setelah selesai ledakan, khatib melanjutkan khutbah lagi. Inilah contoh tingkah laku yang qurani, yang tumbuh dari zikir kepada Allah.

Ada tingkah laku lain. Segera setelah imam Khomaeni meninggal dunia, Salman Rusdie ditanyai oleh seorang wartawan surat kabar, "Apakah rasa takut anda tenang hukuman mati dari khomaeni ini dilebih-lebihkan orang? "Dia menjawab, ”ya.” Artinya,ungkapan Salman Rushdie itu dilebih-lebihkan orang. Ia sebetulnya tidak takut sama sekali. Tetapi begitu Salman Rushdie mengucapkan jawaban, ”ya,” di luar Gedung ada sebuah mobil naik ke trotoar dan kebetulan knalpotnya meledakkan letupan seperti tembakan.Waktu itu tubuh Salman Rushdie menggetar ketakutan. Wartawan yang menyaksikan itu mengatakan, "Ini menunjukan seluruh kehidupan Salman rushdie dipenuhi oleh rasa takut yang berkepanjangan.”

Saya menceritakan dua peristiwa ini untuk menunjukan tentang adanya dua macam tingkah laku itu. Yaitu tingkah laku yang dipenuhi oleh zikir kepada Allah dan tingkah laku yang di penuhi dengan rasa was-was.

Contoh lain, Abul A’la A-Maududi berkhutbah. Pada waktu khutbah ada sebuah tembakan diarahkan ke wajahnya. Semua jamaah tiarap menghindar dari tembakan itu, tetapi Maududi tetap di mimbar. Orang menyuruh beliau bertiarap tetapi Maududi menjawab, "Kalau aku ikut turun, siapa lagi yang akan berkhutbah di sini.”

Hati itu adalah ibarat bejana, selama bejana itu dipenuhi dengan air, maka udara tidak akan bisa masuk. begitu juga hati yang disibiukan dengan hal-hal selain Allah, maka tidak akan dapat masuk kedalam hati tersebut perasaan ma’rifat akan keagungan Allah ta’la. maka untuk menyibukan hati tersebut kita perlu memenejnya dengan penuh ketelitian sehingga sesuatu yang datang dari luar yang sifatnya akan menghancurkan hati kita akan tertolak dengan sendirinya.

Apabila syeitan-syeitan itu tidak mengerubungi hati anak adam, niscaya mereka memandang ke alam malakut yang ada di langit.

2. Manajemen Qalbu

Manajemen Qalbu berarti memenej Qalbu yang merupakan tempat bersemayamnya niat, yakni menentukan apakah perbuatan seseorang berharga atau sia-sia, mulia atau nista. Niat itu selamanya diproses oleh akal pikiran agar bisa direalisasikan dengan efektif dan efisien oleh jasad kita dalam bentuk perbuatan. Setiap keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari dalam diri akan terasing niatnya hingga melahirkan suatu kebaikan dan kemuliaan serta penuh manfaat, dan dapat merespon segala bentuk aksi, apakah itu perbuatan baik atau buruk secara proporsional.10

Respon yang terkelola dengan sangat baik akan membuat reaksi yang dikeluarkan adalah kemuliaan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, aktivitas lahir dan pikirannya telah tersaing sedemikian rupa oleh proses manajemen Qalbu. Maka yang muncul hanyalah sikap yang pemuh kemuliaan dengan pertimbangan nurani yang tulus. Intinya orang yang mengamalkan manjemen Qalbu adalah orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi ataupun kehadiran menjadi sesuatu yang bernilai kemulian dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.

Pelatihan manajemen Qalbu merupakan pelatihan yang menanamkan sebuah paradigma baru dalam mengarungi kehidupan, yaitu dengan upaya memenej potensi qalbu, di mana peserta akan lebih memahami dan menghayati arti pentingnya nilai-nilai yang hakiki yang perlu dipegang dan diamalkan dalam kehidupana sehari-hari di rumah, pekerjaan maupun dalam lingkungan masyarakat. Dan menjadi orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi atau kejadian-kejadian menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»