Kamis, 12 Januari 2012

KEBANGKITAN ISLAM

Kebangkitan Islam berarti kaum Muslimin -setelah terlelap dalam ‘tidur’ yang cukup lama alias (berabad-abad)- kini menghendaki berkuasanya Islam di tengah masyarakat. Ciri era ini adalah harapan untuk kembali ke peradaban Islam dan menghidupkannya, tumbuhnya rasa percaya diri, menolak solusi politik dan sosial yang diimpor dari Barat dan Timur, dan kembali kepada independensi politik Islam. 

Islam akan bangkit tampa kekerasan; jadi kita tak butuh teroris / pem bom bunuh diri

Dari sisi pengaruh yang ditimbulkan, karakteristik ini menempatkan era kebangkitan Islam pada sebuah posisi khas dalam tren politik-sosial dunia. Prestasi besar yang melahirkan kebangkitan islami ini adalah buah dari usaha dan pencerahan para reformis Islam. Gerakan-gerakan islami dan pusat-pusat studi dan pengembangan ajaran Islam di bawah kepemimpinan ulama Muslim serta hauzah ilmiah (pusat studi Islam tradisional semacam pesanteran) di Irak dan Iran adalah motor utama reformasi besar ini.

Tentu saja beberapa faktor seperti kegagalan aliran dan mazhab pemikiran politik dan ekonomi atau pelbagai isme yang ditawarkan dan praktekkan Timur dan Barat dalam mengatasi persoalan sosial, dan terbongkarnya kedok para penguasa dan pengklaim modernisasi–yang merupakan pelaksana konspirasi imprealisme–serta ketidakpercayaan rakyat terhadap kinerja mereka, juga membuat seruan dan himbauan para reformis lebih mudah dipahami dan dicerna. Di samping itu, kesewenang-wenangan para penguasa dan penyalahgunaan kekayaan bangsa oleh mereka demi kepentingan kaum imprealis telah membangkitkan ide kembali kepada naungan politik-sosial Islam sebagai sebuah perubahan yang mendunia dan memicu kemunculan gerakan pembebasan rakyat melawan penguasa yang menjadi boneka dan antek penjajah di dunia Islam.

Kemenangan Revolusi Islam Iran telah meniupkan spirit baru kepada kebangkitan kaum Muslimin dan menjadi teladan gerakan pembebasan kaum tertindas. Oleh karena itu, kehancuran Revolusi Islam Iran adalah satu-satunya cara menghalangi kebangkitan kaum Muslimin, sehingga karena itu kaum imprealis mengerahkan segala daya dan upaya guna mewujudkan tujuan jahat ini. Mulanya, mereka memaksakan perang kepada Iran melalui partai Ba`ath Irak yang dipimpin Saddam dan didukung sepenuhnya oleh pasukan koalisi Barat, dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Islam yang baru lahir. Ini adalah sebuah perang tak seimbang, dimana pihak agresor Irak disokong oleh pelbagai bantuan propaganda, logistik, dan media negara adidaya, sementara pihak yang tertindas (Iran) berjuang sendirian mempertahankan keyakinan dan kedaulatan negara mereka dengan fasilitas yang sangat minim dan terbatas. Pada akhirnya, darah jualah yang mengalahkan pedang, seperti yang sudah terbukti selama ini dalam sejarah manusia. Artinya, dalam konfrontasi antara kebenaran dan kebatilan, kemenangan selalu memihak yang pertama.

Meskipun demikian bukan berarti pasca perang Irak-Iran musuh berpangku tangan dan menyerah. Beragam konspirasi musuh untuk menghancurkan tumpuan harapan bangsa-bangsa Muslim terus berlanjut. Para pemimpin kekufuran, Zionisme, dan Kristen yang diikuti semua organisasi dan lembaga internasional bersatu padu mewujudkan tujuan busuk ini. Namun, seperti yang disaksikan semua orang, Revolusi dan pemerintahan rakyat di Iran tetap tegak dan berdiri dengan kokoh dan bahkan lebih kuat daripada masa-masa sebelumnya. Begitu pula halnya dengan gelora kecintaan terhadap Islam dan perjuangan bangsa-bangsa dalam mempertahankan norma-norma ajaran mereka—dengan berlalunya waktu—justru semakin meluas dan mengakar.

Karena itu, kini dunia Islam sedang melalui periode yang amat penting. Sebab, seiring meluasnya kebangkitan Islam di dunia, musuh berusaha menghadangnya dengan beragam cara dan rintangan. Oleh karena itu, upaya memperkenalkan generasi Islam yang tengah bangkit terhadap tantangan dan ancaman ini akan melipatgandakan kewaspadaan dan kemampuan mereka dalam mengantisipasinya.

Substansi Tantangan Islam di Era Kebangkitan

Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kendati musuh memiliki kelebihan dalam sektor fasilitas dan peralatan perang, propaganda, dan ekonomi, namun dalam perbandingan kekuatan antara front kebenaran dan kebatilan, hari demi hari situasi lebih memihak kepada kebenaran. Sebab, perang ini bukan jenis perang militer, yang kelengkapan fasilitas militer bisa menjadi penentu kemenangan. Ini adalah fakta yang juga disadari pihak musuh. Dalam analisanya terhadap kekuatan baru Islam, Barat mengetahui bahwa pesan yang dahulu membuat bangsa Muslim bak bendungan kuat di hadapan kehendak kaum imprealis, kini telah kembali hidup dalam jiwa kaum Muslimin. Ini adalah pesan yang di zaman Rasulullah saw dahulu telah terbukti mampu memobilisasi rakyat melawan penguasa zalim dan memunculkan revolusi budaya paling sukses sepanjang sejarah umat manusia serta membangun peradaban yang gemilang. 

Sedikit menengok ke belakang, setelah jatuhnya Kekhalifahan Usmani yang membuat Barat berpikir bahwa Islam sudah tamat, pihak musuh telah merasakan kekuatan pesan ini:
Kekalahan pasukan militer Napoleon saat menyerang Mesir, kemenangan rakyat Irak dan pengusiran penjajah Inggris di tahun 1920, digagalkannya konspirasi imprealis Inggris di Iran dalam peristiwa pengharaman tembakau, dibentuknya pemerintahan Islam di Pakistan, kegigihan rakyat Afghanistan dalam mengusir Uni Soviet, dan akhirnya, perjuangan Islam di Palestina dan belahan dunia lain, semua ini adalah tamparan yang dilayangkan “pesan” ini kepada musuh. Dengan demikian, musuh melihat bahwa ia berhadapan dengan suatu pemikiran yang terlahir kembali; pemikiran yang tak bisa dilawan dengan kekuatan militer, yaitu pemikiran tentang kembalinya kekuasaan Islam dalam kehidupan sosial masyarakat.

Melihat realita tersebut, pihak musuh Islam kini memikirkan cara lain untuk menghadapi pemikiran ini. Kendati dalam periode sebelum dan sesudah era kebangkitan, cara mereka tetap bercorak kebudayaan-peradaban, namun dalam era kebangkitan dan pasca gagalnya upaya penghapusan agama, mereka menggantikannya dengan liberalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan politik dan sosial. Dalam rancangan ini, keimanan dan keberagamaan hanya diposisikan sebagai suatu keyakinan dan ritual ibadah. 

Tapi di sisi lain, manusia mesti dibebaskan dari segala ikatan agama dalam urusan sosial. Dengan demikian, pada paruh pertama, mereka berusaha memisahkan manusia dari keyakinan terhadap Tuhan dan metafisik. Namun dalam paruh kedua, seraya mengakui keberadaan Tuhan, mereka menekankan pemisahan agama (baca: Islam) dari ranah sosial dan politik manusia. Oleh karena itu, Barat memulai perlawanan terhadap pemikiran politik Islam dan penyebarannya. Sebab, perhatian bangsa-bangsa dunia kepada pesan pembebasan Islam dan pengaruh positifnya bagi mereka adalah bahaya besar yang mengancam eksistensi kaum imprealis. Tak seperti dahulu ketika musuh melawan Islam di tanah kaum Muslimin sendiri, sekarang mereka mesti mengerahkan usaha untuk membendung masuknya Islam ke sarang mereka. 

Larangan masuk sekolah terhadap pelajar wanita Muslimah berjilbab di sebagian negara besar Eropa, adalah salah satu contoh nyata dari realita ini.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, perlawanan Barat terhadap gelombang kebangkitan Islam di dunia bisa dirangkum dalam tiga pilar yang semuanya bercorak kebudayaan-peradaban.

a. Di tengah masyarakat Islam:

1. Menolak efektivitas dan komprehensifitas Islam dalam mengatur kehidupan manusia masa kini.
2. Menghembuskan pemikiran tentang kontradiksi antara hukum-hukum sosial Islam dan modernisme.
3. Menyebar keraguan tentang sebagian hukum permanen Islam dan menyebutnya sebagai hukum yang bersifat periodik, seperti hukum waris, hijab, undang-undang pidana Islam, dan lain sebagainya.
4. Menolak peran ulama sebagai rujukan agama.
5. Menolak ijtihad dan spesialisasi dalam hukum-hukum Islam.
6. Menyuarakan kebebasan mutlak.
7. Menciptakan keraguan dalam keyakinan agama generasi muda terkait prinsip epistemologi Islam.
8. Menyebarkan paham-paham Barat dan mengaitkannya dengan prinsip epistemologi Islam, seperti pluralisme, wacana hermenetik, menolak validitas Al-Quran serta hadis dan lain sebagainya.
9. Melawan prinsip dan norma etika di tengah masyarakat Islam, dengan cara menyebarkan kesepakatan internasional terkait isu HAM, emansipasi wanita, kebebasan, dan lainnya, kemudian memaksa negara-negara Islam untuk menaatinya.

b. Di tingkat dunia:

1. Merusak citra Islam dan menyebut Al-Quran sebagai sumber kekerasan (dengan cara membentuk kelompok-kelompok teroris, seperti Al-Qaeda guna memburamkan ajaran Islam).
2. Memprovokasi para pengikut agama lain, khususnya Kristen, untuk memusuhi dan membenci kaum Muslimin.
3. Meragukan Islam sebagai agama samawi.
4. Membentuk beragam seminar dan mendirikan pusat penelitian untuk mencari kelemahan Islam.

c. Memudarkan kekuatan potensial negara-negara Islam:

1. Menciptakan pertikaian antar suku dan mazhab di dalam negara Muslim.
2. Menciptakan dan memperkeruh berbagai krisis dan sengketa politik dalam negara Islam melalui orang-orang bayaran.
3. Mendidik teroris dan berusaha mengacaukan stabilitas masyarakat Muslim.
4. Memecah belah negara-negara Muslim guna mencegah persatuan mereka dalam mengambil sikap di organisasi-organisasi internasional.
5. Melemahkan kekuatan ekonomi negara-negara Muslim dan memerah kekayaan sumber alam mereka demi mencegah kemajuan masyarakat Muslim, dengan cara:
5.1. Menciptakan musuh imajiner, sehingga memaksa negara-negara ini membeli senjata dengan anggaran besar.
5.2. Menjebak negara-negara ini dengan persoalan internal dan tanggungan biaya besar untuk mengontrol situasi dalam negeri.
5.3. Menciptakan krisis guna mencegah perkembangan ekonomi negara-negara Islam.
6. Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Muslim dan menyebarkan keputusasaan di tengah mereka demi melemahkan semangat perjuangan dan memupus harapan terhadap kemerdekaan serta kemandirian.

sumber : 
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=133:era-kebangkitan-islam&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143

Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

TAWASSUL DAN WASILAH

TAWASSUL DAN WASILAH


 

Pengertian Tawassul
Secara etimologi tawassul berasal dari kata "tawassala - yatawassalu - tawassulan " yang berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat.
Sedangkan secara terminologi: tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara). Wasilah sendiri
berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu
yang dijadikan perantara pendekatan dalam berdo'a. Imam An-Nasafi
berkata: "Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul
atau mendekatkan dirinya dengannya."

Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.
• Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
• Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya da. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
• Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Salah satu landasannya adalah :

Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, .... (QS.Al-Ma'idah 5:35)

Misalnya dalam doa Dluha : .... Allahuma in kaana rizka fis samaa fa anzilhu, wa inkaana fil ardli fa akhrijhu.... bihaqi dhuha-ika, wa quwatika, wal qudratika ... ( Ya Allah jika rizki di langit turunkanlah, jika di bumi keluarkanlah ... dengan haq dhuha-Mu, kekuatan-Mu, kekuasaan-Mu, .....)
Dalam shalawat badar : .... tawassalna bi bismillah wa bil hadi rasulillah, wa kulli mujahidin lillah bi ahlil badri, Ya Allah (... Kami bertawasul dengan bismillah dan petunjuk rasulillah, dan seluruh mujahidin di jalan Allah pada perang Badar)

Hukum tawassul adalah sunah, kecuali kepada orang yang sudah meninggal (dalam contoh di atas Mujahidin badar) terdapat ikhtilaf. Ada yang melarang, sedang yang lain memperbolehkan/sunah.

Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

“Do’a apabila disertai dengan bertawassul kepada Allah lewat perantara seorang makhluk adalah khilaf far’I dalam tatacara berdo’a dan bukan merupakan masalah aqidah” (Asy-Syahid Hasan Al-Banna)

MACAM-MACAM TAWASSUL

1. Tawassul dengan Iman kepada Allah dan RasulNya.
Tawasul kepada Allah dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَ ِللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْه بِهَا
“Dan hanya milik Allah nama-nama yang baik. Maka berdo’alah kalian dengan (wasilah) nama-nama tersebut”. (Al A’raaf : 180)
Asy Syaikh Abdurrahaman As Sa’di rahimahullah menafsirklan ayat ini dengan ucapan beliau: “Dan diantara kesempurnaan nama-nama Allah yang baik tersebut adalah tidaklah Dia diseru melainkan dengan (wasilah) nama-nama-Nya dan seruan (do’a) tersebut mencakup do’a ibadah dan do’a permintaan. Dia diseru di dalam setiap permintaan dengan nama yang sesuai dengan permintaan tersebut. Contohnya seseorang berdo’a: “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Memberi taubat. Berilah aku rizki wahai Dzat yang Maha Memberi rizki. Berilah kelembutan padaku wahai Dzat yang Maha Lembut dan lain-lain”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-sifat Allah yang tinggi juga termasuk di dalam wasilah tersebut karena nama-nama-Nya yang baik sekaligus mengandung sifat-sifat bagi-Nya. Terlebih lagi Rasululullah amalkan di dalam do’anya yang shohih:

اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku”. ( H.R An Nasa’i dan Al Hakim serta dishohihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam “Shohih An Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada Allah dengan wasilah dua sifat-Nya yaitu “Al Ilmu” dan “Al Qudrah” (kekuasaan).

Allah tetapkan perkara ini di dalam firman-Nya:

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَارِ
“Wahai Rabb kami sesungguhnya kami telah mendengar seruan orang yang menyeru (Muhammad ) kepada keimanan yaitu: “Berimanlah kalian kepada Rabb kalian”. Maka kami pun beriman. Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik”.(Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka menyebutkan keimanan terlebih dahulu sebelum berdo’a ! Bahkan iman dan amalan sholih sendiri merupakan sebab dikabulkannya sebuah do’a sebagaimana firman Allah :

وَيَسْتَجِيْبُ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وِيَزِدْهُمْ من فَضْلِهِ
“Dan Dia memperkenankan do’a orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta menambah balasan kebaikan kepada mereka dari keutamaan-Nya”. (Asy Syura :26). Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam “Al Qo’idah Al Jalilah” hal. 97 dan 241.

Tawasul dengan menyebutkan keadaannya yang sangat membutuhkan sesuatu kepada Allah, sperti misal Do’a Nabi Zakariya ? yang Allah kisahkan di dalam firman-Nya menunjukkan bolehnya perkara ini. Dia berfirman:

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku”. (Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta kepada Allah untuk dianugerahi seorang putera yang sholih. Dan Allah pun mengabulkannya.


2. Tawassul dengan amal sholeh kita

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal 160)

Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar berkata,”Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda,’Pernah terjadi pada masa dahulu sebelum kamu. Tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam didalam sebuah goa. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada didalam goa itu jatuhlah sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu goa itu hingga mereka tidak dapat keluar.

Berkatalah mereka,’Sungguh tiada sesuatu yang dapat menyelamatkan kalian dari bahaya ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan (perantara) amal-amal shaleh yang pernah kalian lakukan dahulu. Maka berkata seorang dari mereka,’Wahai Allah dahulu saya mempunyai ayah dan ibu dan saya biasa tidak memberi minuman susu pada seorang pun sebelum keduanya (ayah-ibu), baik pada keluarga atau hamba sahaya. Pada suatu hari saya menggembalakan ternak ditempat yang agak jauh sehingga tidaklah saya pulang pada keduanya kecuali sesudah larut malam sementara ayah ibuku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya pun segan untuk membangunkan keduanya dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapa pun sebelum ayah ibu. Lalu saya menunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum dari susu yang saya perah itu. Padahal semalam anak-anakku menangis didekat kakiku meminta susu itu. Wahai Allah jika saya melakukan itu semua benar-benar karena mengharapkan keridhoan-Mu maka lapangkanlah keadaan kami ini. Lalu batu itu pun bergeser sedikit namun mereka belum dapat keluar darinya.

Orang yang kedua berdoa,’Wahai Allah saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, karena sangat cintanya saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya akan tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku maka saya memberikan kepadanya seratus duapuluh dinar akan tetapi dengan perjanjian bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada diantara dua kakinya, tiba-tiba ia berkata,’Takutlah kepada Allah dan jangan kau pecahkan ‘tutup’ kecuali dengan cara yang halal. Saya pun segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya dan saya tinggalkan dinar mas yang telah saya berikan kepadanya itu. Wahai Allah jika saya melakukan itu semata-mata karena mengharapkan keredhoan-Mu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Lalu batu itu pun bergeser sedikit namun mereka belum dapat keluar.

Orang yang ketiga berdoa,’Wahai Allah dahulu saya seorang majikan yang mempunyai banyak buruh pegawai dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu dan ia segera pergi meninggalkan upah, terus pulang ke rumahnya dan tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu sehingga bertambah dan berbuah menjadi kekayaan. Setelah beberapa waktu lamanya buruh itu pun datang dan berkata,’Wahai Abdullah berilah kepadaku upahku dahulu itu?’ Saya menjawab,’Semua kekayaan yang didepanmu itu adalah dari upahmu yang berupa onta, lembu dan kambing serta budak penggembalanya itu.’ Orang itu berkata,’Wahai Abdullah kau jangan mengejekku.’ Saya menjawab,’Saya tidak mengejekmu.’ Lalu diambilnya semua yang disebut itu dan tidak meninggalkan satu pun daripadanya. Wahai Allah jika saya melakukan itu semua karena mengharapkan keredhoan-Mu maka hindarilah kami dari kesempitan ini. Tiba-tiba batu itu pun bergeser hingga mereka dapat keluar darinya dengan selamat.” (HR. Bukhori Muslim)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kisah diatas merupakan contoh berdoa dengan perantara amal-amal shaleh. Setiap mereka menyebutkan suatu amal besar yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah karena amal tersebut diantara perbuatan-perbuatan yang dicintai dan disenangi oleh Allah swt dengan harapan mendapat pengabulan-Nya. Ada yang berdoa dengan menyebutkan perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya, ada yang berdoa dengan menyebutkan sifat iffahnya dan ada yang berdoa dengan menyebutkan sifat amanah dan ihsannya.

Karena itulah Ibnu Mas’ud mengatakan di waktu sahur,”Wahai Allah Engkau telah memerintahkanku maka aku menaati-Mu dan Engkau telah menyeruku maka aku pun menyambut-Mu. Dan (dengan) sahur ini maka ampunkanlah (dosa) ku.”

Hadits Ibnu Umar yang mengatakan di bukit Shafa,”Wahai Allah sesungguhnya Engkau pernah mengatakan dan perkataan-Mu adalah benar,”Berdoalah kepada-Ku (maka) Aku kabulkan (doa) mu.’ Dan sesungguhnya Engkau tidaklah menyalahi janji.” Kemudian dia menyebutkan doa yang ma’ruf dari Ibnu Umar… (Majmu al Fatawa)

Dan tidak ada pelarangan terhadap seseorang untuk meminta kepada Allah swt berbagai permintaan yang dikehendakinya baik terkait dengan urusan-urusan dunia maupun akherat melalui berdoa dengan perantara suatu amal shaleh yang paling afdhal yang pernah dilakukannya. Firman Allah swt :


رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزَلَتْ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ


Artinya : “Ya Tuhan kami, kami Telah beriman kepada apa yang Telah Engkau turunkan dan Telah kami ikuti rasul, Karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. Al Imron : 53)

رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ ﴿١٩٣﴾
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلاَ تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴿١٩٤﴾

Artinya : “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (QS. Al Imron : 193 – 194)

3. Tawassul kepada Allah dengan (perantaraan) para waliNya ada beberapa macam.

Pertama.
Seseorang memohon kepada wali yang masih hidup agar mendoakannya supaya mendapatkan kelapangan rezeki, kesembuhan dari penyakit, hidayah dan taufiq, atau (permintaan-permintaan) lainnya. Tawassul yang seperti ini dibolehkan. Termasuk dalam tawassul ini adalah permintaan sebagian sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beristsiqa (meminta hujan) ketika hujan lama tidak turun kepada mereka. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menurunkan hujan, dan Allah mengabulkan doa beliau itu dengan menurunkan hujan kepada mereka.

Begitu pula, ketika para sahabat Radhiyallahu 'anhum beristisqa dengan perantaraan Abbas Radhiyallahu 'anhu pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu 'anhu. Mereka meminta kepadanya agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan. Abbas pun lalu berdoa kepada Allah dan diamini oleh para sahabat Radhiyallahu 'anhum yang lain. Dan kisah-kisah lainnya yang terjadi pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelahnya berupa permintaan seorang muslim kepada saudaranya sesame muslim agar berdoa kepada Allah untuknya supaya mendatangkan manfaat atau menghilangkan bahaya.

Kedua.
Seseorang menyeru Allah bertawassul kepadaNya dengan (perantaraan) rasa cinta dan ketaatannya kepada nabiNya, dan dengan rasa cintanya kepada para wali Allah dengan berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu agar Engkau memberiku ini (menyebutkan hajatnya)'. Tawassul yang seperti ini boleh karena merupakan tawassul dari seorang hamba kepada rabbnya dengan (perantaraan) amal-amal shalihnya. Termasuk tawassul jenis ini adalah kisah yang shahih tentang tawassul tiga orang, yang terjebak dalam sebuah goa, dengan amal-amal shalih mereka. [Hadits Riwayat Imam Ahmad II/116. Bukhari III/51,69. IV/147. VII/69. dan Muslim dengan Syarah Nawawi XVII/55]

Ketiga.
Seseorang meminta kepada Allah dengan (perantaraan) kedudukan para nabi atau kedudukan seorang wali dari wali-wali Allah dengan berkata -misalnya- 'Ya Allah, sesunguhnya aku meminta kepadaMu dengan kedudukan nabiMu atau dengan kedudukan Husain'. Tawassul yang seperti ini tidak boleh karena kedudukan wali-wali Allah dan lebih khusus lagai kekasih kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, sekalipun agung di sisi Allah, bukanlah sebab yang disyariatkan dan bukan pula suatu yang lumrah bagi terkabulnya sebuah doa.

Karena itulah ketika mengalami musim kemarau, para sahabat Radhiayallahu 'anhum berpaling dari tawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berdoa meminat hujan dan lebih memilih ber-tawassul dengan doa paman beliau, Abbas Radhiyallahu 'anhu, padahal kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada diatas kedudukan orang selain beliau. Demikian pula, tidak diketahui bahwa para sahabat Radhiyallahu 'anhum ada yang ber-tawassul dengan (perantraan) Nabi setelah beliau wafat, sementara mereka adalah generasi yang paling baik, manusia yang paling mengetahui hak-hak Nabi Shallalalhu 'alaihi wa sallam, dan yang paling cinta kepada beliau.

Keempat.
Seorang hamba meminta hajatnya kepada Allah dengan bersumpah (atas nama) wali atau nabiNya atau dengan hak nabi atau wali dengan mengatakan, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meminta ini (menyebutkan hajatnya) dengan (perantaraan) waliMu si-Fulan atau dengan hak nabiMu Fulan', maka yang seperti ini tidak boleh.

Sesungguhnya bersumpah dengan makhluk terhadap makhluk adalah terlarang, dan yang demikian terhadap Allah Sang Khaliq adalah lebih keras lagi larangannya. Tidak ada hak bagi makhluk terhadap Sang Khaliq (pencipta) hanya semata-mata karena ketaatannya kepadaNya Subahanhu wa Ta'ala sehingga dengan itu dia boleh bersumpah dengan para nabi dan wali kepada Allah atau ber-tawassul dengan mereka. Inilah yang ditampakkan oleh dalil-dalil, dan dengannya aqidah Islamiyah terjaga dan pintu-pintu kesyirikan tertutup.

Tawasul jenis ini pernah dipraktekkan baik di jaman Nabi masih hidup maupun setelah sepeninggal beliau . Di dalam riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari hadits Anas bin Malik ? menceritakan tentang tawasul orang Arab Badui dengan do’a Nabi agar Allah menurunkan hujan ketika terjadi kekeringan dan menahan hujan ketika terjadi banjir. Maka Allah mengabulkan do’a beliau .
Demikian juga apa yang diriwayatkan Al Bukhori di dalam “Shohih”-nya dari Umar bin Al Khoththob ? bahwa beliau pernah bertawasul dengan do’a Abbas bin Abdul Muththolib ? agar Allah menurunkan hujan.

Di dalam tawasul jenis kelima ini terdapat satu kaidah yang sangat penting bahwa yang dijadikan sebagai wasilah adalah do’a seorang yang sholih. Sehingga kalaupun orang sholih tersebut tidak memanjatkan do’anya atau mendo’akan sesuatu yang tidak mungkin dikabulkan maka tentunya tidaklah mungkin untuk ditunaikan tawasul jenis ini. Walillahil Hamdu.

Penyebutan macam-macam tawasul yang diperbolehkan secara syariat ini apabila dipadukan dengan kaidah bahwa penentuan tawasul syar’iyah itu hanya dengan keterangan Al Qur’an dan As Sunnah maka mengeluarkan segala bentuk tawasul yang tidak termasuk di dalamnya, walaupun dengan berbagai dalih dan alasan.

Asy Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam “At Tawasul” hal. 50 memberi nasehat mulia kepada kita dengan ucapannya: “Dan diantara perkara yang sangat aneh, engkau melihat mereka (orang-orang yang bertawasul dengan wasilah yang tidak disyari’atkan) itu berpaling dari macam-macam tawasul yang disyariatkan. Hampir-hampir mereka tidak lagi melakukan satupun darinya di dalam do’a ataupun tatkala membimbing manusia untuk melakukan tawasul. Padahal itu telah ditetapkan di dalam Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan umat ini. Engkau melihat mereka menggantinya untuk kemudian sengaja membuat do’a-do’a dan tawasul-tawasul sendiri yang tidak pernah disyariatkan Allah . Tidak pula pernah dipraktekkan Rasulullah dan ternukilkan dari pendahulu umat ini dari kalangan tiga generasi terbaik. Minimal yang mereka katakan bahwa tawasul yang diluar tawasul syar’i itu diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Maka betapa pantas keadaan mereka dengan firman-Nya :

أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?”.(Al Baqarah : 61)

Dan nampaknya pemandangan amaliah mereka memperkuat kebenaran ucapan seorang tabi’in yang mulia Hassan bin Athiyyah Al Muhasibi rahimahullah tatkala berkata: “Tidaklah suatu kaum membuat kebid’ahan di dalam agama mereka kecuali Allah cabut sunnah setimpal dengan perbuatan bid’ah itu. Kemudian Allah tidak mengembalikannya kepada mereka sampai hari kiamat”. (Diriwayatkan Ad Darimi 1/45 dengan sanad shohih)”.
Beliau pun juga mengajak kita untuk berpikir jernih tentang permasalahan besar itu di dalam “Silsilah Adh Dha’ifah” 1/94. Beliau berkata: “Kalaulah tawasul bid’ah itu dianggap tidak keluar dari lingkup khilafiyah, maka jika manusia mau bersikap adil pastilah mereka akan berpaling darinya dalam rangka hati-hati dan mengamalkan ucapan beliau :

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إلَي مَالاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”.
Untuk kemudian engkau beramal dengan apa yang kami isyaratkan dari bentuk-bentuk tawasul yang disyariatkan. Namun ternyata mereka – ironis sekali – berpaling dari perkara ini. Lalu berpegang teguh dengan tawasul yang diperselisihkan tadi seakan-akan tawasul bid’ah tersebut sebagai suatu keharusan yang mereka tekuni sebagaimana halnya perkara yang wajib !”.

Setelah itu kita pun harus mengerti bagaimana bentuk tawasul bid’ah yang sebenarnya telah diperingatkan para ulama sebelum munculnya nama besar Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sekalipun !.
Bentuk tawasul bid’ah yang sering diterangkan para ulama di dalam banyak karya mereka adalah seperti apa yang Allah tegaskan di dalam firman-Nya:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلي اللهِ زُلْفَى
“Tidaklah kami (orang-orang musyrik) beribadah kepada mereka (orang-orang sholih) melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.(Az Zumar: 3)

Hakekat bentuk tawasul mereka ini adalah menjadikan dzat dan kedudukan orang-orang sholih sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah ataupun wasilah untuk dikabulkannya suatu do’a. Hanya saja Asy Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafizhohullah di dalam “Al Muntaqo” dari fatwa beliau 1/89 memberikan rincian yang bagus tentang bentuk tawasul bid’ah ini yang masing-masingnya memiliki hukum yang berbeda. Beliau berkata: “Kemudian bila dia (orang yang bertawasul bid’ah yang masih beriman kepada rububiyah Allah ) ini bertaqarrub kepada orang-orang sholih dengan sesuatu dari bentuk-bentuk ibadah seperti menyembelih untuk wali-wali atau orang sholih, nadzar untuk mereka, meminta hajat dari orang-orang mati dan beristighotsah kepada mereka maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan dia dari agama.

Namun apabila dia bertawasul dengan orang-orang sholih karena kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah tanpa memberikan satupun bentuk ibadah kepada mereka maka ini termasuk bid’ah yang diharamkan dan perantara untuk sampai kepada syirik”.
Alasan mereka (orang-orang musyrik) berbuat demikian karena memandang orang-orang sholih memiliki ilmu dan ibadah sehingga berkedudukan tinggi di sisi Allah . Kemudian mereka mengkiaskan keadaan Allah dengan seorang raja di dunia. Seorang raja tidak mungkin ditemui rakyatnya melainkan melalui para pembantunya. Demikian juga tidak mungkin mereka mendekatkan diri kepada-Nya dan dikabulkannya sebuah do’a melainkan harus melalui orang-orang sholih tadi. Subhanallah ! Tidaklah mereka sadar bahwa alasan dan dalil yang mereka bawakan itu sebenarnya sebuah celaan kepada Allah . Kias yang mereka kemukakan merupakan sejahat-jahat kias yang mengandung unsur penyamaan Allah yang Maha Kuasa dengan makhluk yang sarat dengan berbagai kelemahan. Padahal seorang yang memilki mata hati yang paling lemah pun masih mengerti adanya perbedaan yang sangat terang antara keadaan Rabbul ‘Alamin dengan segenap alam semesta ini.

Diantara perbedaan yang mencolok sekali antara seorang raja di dunia dengan Allah bahwasanya seorang raja memang tidak mungkin memenuhi segala keinginan rakyatnya karena kemampuannya yang sangat terbatas. Sedangkan Allah Maha Kuasa untuk memenuhi kebutuhan setiap makhluk yang ada di alam semesta ini dan Dia pun Maha Tidak Butuh kepada segenap makhluk-Nya. Walillahil Hamdu.

Ironis memang tatkala kita melihat dan menengok kenyataan bahwa bentuk dan alasan mereka bertawasul ternyata diwarisi para generasi yang mengaku paling mengerti tentang agama ini di jaman sekarang. Bahkan mereka telah melengkapi alasan dan dalih rusak nenek moyang mereka terdahulu dengan dalih dan alasan terbaru ataupun sekedar “menghias” keyakinan dan aqidah jahiliyyah masa silam.

Mereka menjadikan tawasul bid’ah ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari do’a dan dzikir mereka setiap hari. Kita pun sering mendengar dan melihat mereka berkata:
( بِجَاهِ مُحَمَّدٍ … ) atau (بِبَرَكَةِ الشيخ عَبْدِ الْقَادِرِ الجَيْلاني …) sebelum berdo’a kepada Allah dan seterusnya di masjid-masjid Allah.

Mereka pun tidak sekedar mengamalkan tawasul bid’ah namun lebih daripada itu mendidik, mendakwahkan dan menulis karya-karya yang tidak mustahil akan dibaca di setiap tempat dan jaman. Wallahul Musta’an.

Seandainya mereka mendatangkan sejuta alasan dengan sejuta pula tingkat “keilmiahan” dari alasan-alasan sebelumnya, atau sekokoh dan setinggi apapun bangunan syubuhat yang mereka tegakkan maka terpatahkanlah alasan dan hancur pula bangunan tersebut secara serempak tatkala menghadapi tegaknya kaidah yang telah kita miliki, sebelum kita datangkan jawaban dari tiap-tiap alasan tersebut secara terperinci. Allah berfirman:

وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحّقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Dan tidaklah mereka mendatangkan sesuatu yang janggal melainkan Kami mendatangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (Al Furqan : 33)


Dalil-Dalil Tentang Tawassul

Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari alqur’an.

1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :

ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Suat Al-Isra', 57:


أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً

17.

57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.

2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).


قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilahبِمَا عَهِدَ عِندَكَDengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37


فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.


4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

B. Dalil dari hadis.
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir

Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu"

Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi :


فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615)


Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.

Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.

Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :


عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير
فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم فى المستدرك)


Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah meninggal.

Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :

عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)

Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk" (Riwayat Imam Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori :

عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.

d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .

عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).


Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).


Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar 1/272).

Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul

Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu. Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Lewat ulasan para waliyulloh kamil, mereka banyak memberi suatu pendapat, di antaranya:

Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani, pernah berujar, “Bila aku mati kelak, ruhku akan terus hadir di sela orang-orang yang setiap malamnya mengistiqomahkan, bertawassul kepadaku dengan keikhlasannya, sambil tak pernah henti-hentinya membaca surat Al-fatihah sebanyak 20.000 x setiap malamnya”

Menurut Imam Ibnul Aroby, “Barang siapa yang bertawassul kepadaku secara istiqomah dengan hitungan 7 jam lamanya (dari jam 21.00 s.d. 04.00) niscaya aku akan hadir tanpa perantara / suruhan / khodam, di manapun kamu menginginkannya”.

Menurut imam Abu Hasan Asy-Syadili r.a., “aku kan bertanggung jawab demi keselamatanmua di dunia dan akherat, dan aku akan terus memohonkan kepada-Nya atas segala permohonanmu, dan aku akan menyambangimu / menjumpai di setiap malammu dan aku akan membawamu hidup-hidup di antara kenikmatanku (surga) apabila kamu terus beristiqomah bertawassul kepadaku di setiap malamnya, dengan memudawamkan 5000x surat Al-Fatihah dan 4500x asma Hasbunalloh wa ni’mal wakil”.

Menurut imam Abu Sufyan Atssaury, “Berbahagialah wahai ummatku, sesungguhnya aku diberikan keluasan ilmu sebagai hamba yang mempunyai derajat syafa’at di kemudian hari. Istiqomahkan bertawassul kepadaku di setiap malamnya dengan terus membaca surat Al-Fatihah 7700 x dan solawat nabi (Allohumma Sholli ala sayidina Muhammad) 7000x niscaya ruhku akan selalu hadir setiap kau membutuhkanku, dan percayalah kepadaku, karena sesungguhnya aku takkan tinggal diam untuk selalu mendoakanmu sampai mencapai derajat mulia (surga)”.

Menurut Syarifah Robiatul Adawiyah, ”sesungguhnya aku diciptakan antara hidup dan setelah mati hanya punya satu tujuan, mengabdi kepada Alloh SWT. Dan barang siapa yang bertawassul kepadaku secara istiqomah setiap malamnya dengan membaca surat Al-Fatihah 3333x dan membaca istighfar sebanyak 30.000x niscaya aku akan terus hadir menjumpaimu sampai dirimu tanpa sadar menjadi seorang derajat waliyulloh kamil”.

Menurut imam Asy-Sya’roni, “Jangan kau sesekali meninggalkan istiqomah bertawassul kepada para nabi, malaikat dan wali lainnya. Sesungguhnya bertawassul adalah suatu kebajikan hati dalam mencari syafa’at dan rahmat para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya”. Tambahnya lagi, “sesungguhnya derajat yang paling mudah didapat adalah, kedekatan hati kita dengan para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya, maka tiada lain dan tiada bukan, istiqomahkan bertawassul kepadanya!”.

Menurut imam Ibnu Athoillah, “Keluasan dan penghayatan ilmu sangat diperlukan oleh setiap ummat di dunia. Namun, sebagai rasa takdzim akan penghormatan kepada para kekasih Alloh SWT. Lebih sangat diutamakan. Karena sesungguhnya batu loncatan kita sebagai manusia hidup tak lain adalah bantuan rahmat dari para Ahlillah yang sudah mendahului kita, kuncinya perbanyaklah bertawassul untuknya”.

Menurut pendapat para walijawa (walisongo), “Gunakanlah waktumu untuk kebajikan di jalan-Nya. Sesungguhnya sifat manusia terbagi dalam kelebihan dan kekurangan. Sebagai seorang mahluk yang serba kekurangan akan ilmu dan pengetahuan, dekatkanlah dirimu kepada-Nya lewat jalan para kekasih-Nya (bertawassul) sesungguhnya hanya lewat jalan inilah kamu sekalian akan mendapat derajat mulia di sisi-Nya”.
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»  

NUR ALLAH

NUR ALLAH






PENGENALAN NUR (CAHAYA)
Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita nampak dengan jelas
akan sesuatu. Baik dengan mata kepala (Nazariah) kita atau mata hati
(Basariah). Ia adalah perlu untuk kehidupan manusia terutama dalam
kehidupan yang berhubung dengan agama dan penerimaan petunjuk daripada
Allah s.w.t.


Hakikat Nur

Nur bermaksud cahaya, lawannya gelap. Selain itu nur juga bererti petunjuk
atau hidayah. Allah s.w.t berfirman di dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran, terdapat 43 perkataan An-Nur yang membawa pelbagai
makna. Antaranya :

1 Petunjuk dan Keimanan

Allah Pelindung bagi orang-orang yang beriman. Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang
orang yang kafir, pelindung mereka adalah Thagut (syaitan) ,
mengeluarkan mereka daripada Nur petunjuk dan iman kepada
kegelapan iaitu kekufuran.1

2 Waktu Siang

Maha suci Allah yang menjadikan langit dan bumi dan telah menjadikan
kegelapan dan cahaya.2

2 Nabi Muhammad saw

Telah datang kepada kamu nur iaitu Nabi Muhammad dan kitab
yang nyata.3

3 Taurat dan Injil

Dan kami datangkan Injil didalamnya ada petunjuk dan Nur.4
Dan kami datangkan kepadanya taurat di dalamnya ada petunjuk
dan Nur.5

PEMBAHASAN AYAT 35 DARI SURAH AN-NUR

Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan
cahayaNya adalah seperti sebuah lubang besar yang tidak tembus,
yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu
seakan-akan bintang yang begemerlapan yang dinyalakan dari
pohon yang banyak berkahnya, iaitu pohon zaitun yang tidak
tumbuh di sebelah Timur dan tidak pula tumbuh di sebelah Barat.
Yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapisan, Allah
membimbing kepada cahayaNya siapa yang dikehendaki dan Allah
membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.6

Terjemahan Ayat Dalam Bahasa Inggeris
Allah is the Light of the heavens and the earth. The parable
of His Light is as (if there were) a niche within it a lamp :
the lamp is in the glass, the glass as it were a brilliant star,
lit from a blessed tree, an olive, neither of the east nor of the
west, whose oil would almost glow forth (of itself) through
no fire touched it. Light upon Light! Allah guides to His
Light whom He wills. And Allah sets forth parables for
mankind, and Allah is Knower of everything.
Pendapat Ulama Tafsir Berkenaan Perumpamaan Pada Ayat 35 Surah An-Nur Kenyataan Pada Ayat

1. Allah, Dialah cahaya langit dan bumi
2. Bandingan nurNya adalah seperti sebuah "Misykaat"
3. Allah memimpin sesiapa yang dikehendakiNya kepada nurNya itu
4. Allah mengemukakan berbagai-bagai perumpamaan untuk umat manusia
5. Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu

Perumpamaan Pada Ayat

1. NurNya adalah seperti sebuah Misykat
2. Misykat yang berisi sebuah lampu (Misbah)
3. Lampu itu di dalam kaca (Zujajah)
4. Kaca itu pula jernih terang laksana bintang yang bersinar cemerlang
(Kaukabun Durriyun)
5. Lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak
manfaatnya (Syajarah Mubarakah)
6. Iaitu pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naiknya
dan bukan sahaja semasa turunnya (La Syarqiyyah Wa La Gharbiyyah)

7. Hampir-hampir minyaknya itu dengan sendirinya memancarkan cahaya
walaupun ia tidak disentuh api (Yakaadu zaituha yudhi- u walau lam
tamsashu naar)
8. Cahaya berlapis cahaya (Nur ‘ala Nur)

Tafsiran Ayat

Allah yang empunya cahaya dan dengan cahaya itu penduduk yang ada di
langit dan di bumi ini dipimpinNya dan ditunjukiNya dengan bukti-bukti
wujud alam semesta dan bukti pengajaran yang dibawa oleh para utusanNya .
Maka dengan cahayaNya itulah manusia akan terpimpin ke jalan yang hak dan
terhindar dari kesesatan.
Perumpamaan bukti yang dipancarkan keseluruh alam ini ibarat cahaya dari
sebuah lampu pelita yang terletak di dalam sebuah lubang dinding, atau
pembuluh seperti lampu suluh.
Dan pelita atau lampu itu sifatnya seperti berikut :
Pelita yang bercahaya itu berada di dalam sebuah kaca atau gelas yang terang
dan bersinar.
Kaca yang menutupi pelita itu seolah-olahnya seperti sebuah bintang yang amat
besar daripada jenis bintang-bintang di langit seperti bintang timur (zuhrah)
ataupun bintang musytari.
Pelita itu menyala dengan perantaraan minyak zaitun yang membasahi
sumbunya, dari sebatang pohon yang menghasilkan buah zaitun, dan pohon itu
dinamakan Syajarah Al-Mubarakah (pohon yang berkat) kerana buah zaitun
itu minyaknya mempunyai kegunaan atau faedah yang sangat banyak. Pohon
zaitun itu pula tumbuhnya di lereng-lereng gunung atau di padang-padang
pasir yang luas, terdedah di bawah sinaran matahari, tidak terlindung oleh
sesuatu apa pun selama terbit matahari itu hingga terbenam. Dan minyak zaitun
itu pula sangat jernih.
Lafaz La Syarqiyyah Wala Gharbiyyah (tidak di timur dan di barat)
maksudnya, pohon zaitun itu kebanyakannya tumbuh di negeri-negeri daerah
timur tengah seperti Syam (sekarang Syria) dan dia bukanlah negeri timur atau
negeri barat.
Oleh kerana minyak zaitun itu terlalu jernih, kelihatanlah dari jauh seolah-olah
dia yang menyinarkan cahaya, dan kalau disentuh oleh api, maka akan
bertambah-tambah lagi terang cahayanya. Maka inilah yang dinyatakan oleh
Allah swt dengan firmannya Nur ‘Ala Nur (Cahaya Atas Cahaya).

Dimaksudkan di sini Cahaya Allah itu diumpamakan sebagai petunjuk daripada
Al-Quran, dan ia adalah seperti pelita yang terang benderang menerangi umat
manusia yang hidupnya di dalam gelap gelita, yakni kejahilan. Cahaya Al-Quran
itulah laksana cahaya lampu, dan lampu itu berada di dalam sebuah kaca atau
gelas yang sangat jernih, sedang cahayanya pula seperti cahaya bintang yang
berkilau-kilauan di atas langit. Lampu itu dinyalakan oleh minyak zaitun, yang
tumbuh pohonnya kebanyakan di negeri yang bukan barat dan bukan timur.
Sedang minyaknya sangat jernih pula, sehingga kerana kejernihannya seolaholahnya
bercahaya dengan sendiri maskipun ia tidak disentuh oleh api – ibarat
lampu elektrik zaman ini.
Wujudnya tenaga elektrik itu tidaklah ditentukan datangnya dari barat ataupun
dari timur. Maka dari elektrik, lampu nyala dengan sendirinya tanpa
menggunakan api. Begitulah dibaratkan hati seorang manusia mukmin itu dapat
menerima petunjuk sebelum di didatangi ilmu pengetahuan. Apabila dia
didatangi ilmu pengetahuan, semakain mendapat petunjuk pula dan inilah yang
diakatakan Cahaya Atas Cahaya.
Bahagian-bahagian pelita itu antara satu sama lain mempunyai hubungan yang
erat dapat mengeluarkan cahaya yang kuat seperti lampu suluh yang terdiri
daripada bahagian-bahagiannya iaitu :

1. Lubang (Misykah) tempat dipasangkan lampu
2. Lampu (Misbah) iaitu balbnya yang akan menyala
3. Kaca atau gelas (Zujajah) yang bersinar-sinar menudungi lampu tersebut
4. Minyaknya (Zaitunah) atau kuasa elektrik yang menerbitkan cahaya,
sehingga lampu suluh itu menyala.

Maka keempat-empat bahagian itu kalau sudah bersatu dan menjadi lampu
suluh , kuatlah pancaran lampu tersebut. Sudah tentu lampu itu kalau tidak
dilekatkan di sebuah lubang bahkan diletakkan di tempat yang terbuka, nescaya
lampu itu tidak dapat memberi cahaya yang kuat sebagaimana kalau lampu
yang berada di lubang seperti lampu suluh. Lampu yang berada di dalam
lubang (Misykah) itu ibarat menyuluh filem yang ditayangkan di sebuah layar
dan kelihatanlah di situ cahayanya yang terang dapat disaksikan oleh orang
yang sedang berada dalam kegelapan.
Maka orang yang hidup dalam kegelapan itu dapatlah berubah menjadi terang,
yakni berilmu pengetahuan.
Allah swt memberikan taufik dan petunjukNya kepada orang-orang yang
disukaiNya daripada hamba-hambaNya untuk mendapatkan perkara-perkara
yang hak dengan jalan memperhatikan sesuatu perkara itu dan memikirkannya,

sehingga sampailah kepada matlamat yang ditujunya. Dan barangsiapa yang
tidak mengambil pengajaran atau iktibar, samalah seperti orang yang buta. Dia
tidak akan dapat berjalan dengan betul di tengah terang apatah lagi di malam
yang gelap. Berkata Sayyidina Ali ra : Allah sebagai cahaya yang menerangi
langit dan bumi. Dan di sana disebarkanNya kebenaran dan dipancarkan
sinaran cahayaNya.
Allah swt membawakan banyak perumpamaan dalam Al-Quran, untuk menjadi
pengajaran dan pimpinan kepada manusia, agar mereka terima dengan perasaan
puas dan senang hati.
Allah swt lebih mengetahui untuk mengurniakan petunjukNya kepada sesiapa
yang layak menerimanya disebabkan mempunyai jiwa yang bersih, dan ada
persediaannya untuk mempelajari hukum-hukum agama serta adab-adabnya
yang baik.

Ayat ini mengandungi kegembiraan bagi orang-orang yang mahu mengambil
teladan, dan mengandungi ancaman bagi yang tidak mahu memikir dan
memperhatikannya.
Berkata Ibnu Abbas : Inilah perumpamaan cahaya Allah dan dipertunjukkanNya
dalam hati orang-orang mukmin laksana minyak yang jernih, hampir sahaja dia
memberi penerangan sebelum lagi di disentuh oleh api. Sekiranya sudah
disentuh api, maka akan bertambahlah sinaran cahayanya. Begitulah hati orangorang
yang beriman.

Tafsiran Ayat Dari Tafsir As-Silmi (Haqaiq At-Tafsir)
(Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi)

Berkata Ibn Athaillah : Sesungguhnya Allah swt menerangi langit dengan 12
kukusan bintang iaitu kambing biri-biri, lembu, bintang kembar dua, bintang
ketam, bintang singa, bintang gadis, bintang neraca, bintang kala, bintang panah,
bintang kambing, bintang timba, dan bintang ikan.
Begitu juga Allah swt menghiasi hati orang-orang yang mengetahui (Al-Arifin)
dengan 12 perkara iaitu : minda, perhatian, kelapangan, makrifat, keyakinan,
kefahaman, pandangan, pemberian hati, pengharapan, keaiban dan kecintaan.
Sekiranya sifat-sifat yang tersebut di atas diterapkan dalam jiwa seseorang
muslim dan orang-orang yang mengetahui (Al-Arifin), maka ia akan
memperolehi kemanisan ibadah dan berada di bawah cahaya Allah swt.

Al-Misykah dimaksudkan dengan rongga Nabi Muhammad saw. Az-Zujajah :
hatinya, Al-Misbah : cahaya yang dijadikan Allah swt dalam hatinya. As-
Syajarah : Nabi Ibrahim as. Yakni cahaya yang dijadikan Allah wt dalam hatinya
sebagaimana yang dijadikan kepada Nabi Muhammad saw.
Berkata Ibn Mas’ud: Perumpamaan cahaya seorang mukmin adalah seperti
Misykah. Al-Misykah dimaksudkan dada seorang mukmin. Al-Misbah ialah
cahaya hati seorang mukmin. Az-Zujajah ialah rahsia seorang mukmin.
Al-Wasithi berkata bahawa sesungguhnya menciptakan jiwa yang beriman dan
menamakannya Syajarah Mubarakah (Pokok yang diberkati).
Sahl berpendapat bahawa Nur bermaksud Nur Nabi Muhammad saw. Sufyan
Ath-Thauri berkata Nur itu ialah cahaya Al-Quran. Hassan Al-Basri
berpendapat pula Nur iaitu ialah hati seorang mukmin dan cahaya tauhid. Ini
disebabkan hati para nabi itu lebih bercahaya dari cahaya yang disifatkan ini.
Imam Al-Junied berpendapat ayat (Allah pemberi cahaya kepada langit dan
bumi) bermaksud Allah swt yang menerangi hati para malaikat sehingga mereka
bertasbih dan menyucikanNya. Dan juga menerangi hati-hati para rasul dan juga
orang-orang yang beriman hingga mereka mengenali Allah swt dengan sebenarbenar
pengenalan dan menyembahNya dengan sebenar-benar penyembahan.

Allah swt mengatakan kepada orang-orang yang beriman : Sesungguhnya Aku
menerangi hati-hati kamu dengan petunjuk dan makrifat.
Sebahagian ulama mengatakan sesungguhnya Allah swt menerangi hati dengan
cahaya keimanan. Dan hati itu ibarat Misykat (lubang) dan perkara-perkara
yang mengotori jiwa itu ibarat Zujajah (kaca) yang tidak akan dimasuki
kejahilan dan kesesatan di hati orang-orang yang beriman.
Abu Ali Al-Jurjani pula mengatakan bahawa Allah swt menerangi hati para
mukmin dengan cahaya keterangan. Allah swt adalah pemberi cahaya kepada
langit dan cahaya itu ibarat keyakinan yang bersinar di hati seorang mukmin.
Hati seorang mukmin itu penuh dengan cahaya keimanan, maka cahaya Allah
itu dipancarkan dengan penjelasan yang nyata.
Maka seseorang yang beriman itu akan melihat sekelian alam ini dengan cahaya
tuhanNya. Maka dengan cahaya itu, ia melihat segala keindahan ciptaan
tuhanNya. Ia akan melihat kekuasan Allah swt dan segala kerajaanNya dengan
cahaya makrifat. Lalu, Allah swt pula akan membuka baginya cahaya ilmu yang
berada di langit yang tujuh dan bumi.

Imam Jaafar Bin Muhammad berpendapat bahawa cahaya itu terbahagi kepada
beberapa bahagian. Antara lain cahaya penjagaan hati, cahaya ketakutan, cahaya
pengharapan, cahaya kecintaan, cahaya tafakkur, cahaya keyakinan, cahaya
peringatan, cahaya ilmu, cahaya perasaan malu, cahaya kemanisan iman, cahaya
Islam, cahaya Ihsan, cahaya kenikmatan, cahaya pemberian, cahaya nikmat,
cahaya kemurahan hati, cahaya kelembutan, cahaya ketenangan, cahaya
kemuliaan, cahaya kekuasaan, cahaya keadilan, cahaya kehaibahan, cahaya yang
kekal, cahaya tersendiri, cahaya kesempurnaan dan cahaya azali.
Kesemua cahaya-cahaya ini mempunyai keadaan dan tempatnya masingmasing.
Kesemua cahaya ini juga merupakan cahaya Allah swt yang terdapat
pada ayat (Allah Pemberi cahaya bagi langit dan bumi).
(Allah Cahaya Bagi Langit dan bumi) bererti bagi setiap hamba itu cahaya dari
cahaya-cahaya yang disebut di atas. Nasibnya bertambah baik jika ia
memperolehi dua daripadanya atau tiga. Orang yang mendapat kesemua
cahaya-cahaya ini ialah Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya baginda bersama
Allah swt dengan hakikat pengabdian yang sebenarnya.

Sebahagian ulama berpendapat bahawa cahaya langit itu adalah para malaikat,
manakala cahaya bumi pula adalah para wali-wali Allah. Ada juga yang
mengatakan bahawa cahaya di langit adalah menzahirkan haibah dan di bumi
pula adalah menzahirkan kekuatan / kemampuan.
Sebahagian para ulama lain pula berpendapat bahawa perumpamaan cahaya
Allah itu di hati orang beriman yang ikhlas.
Imam Hussain berkata bahawa cahaya wahyu terdapat di atas kepala , cahaya
munajat terdapat di antara dua mata, cahaya keyakinan di telinga, cahaya
keterangan di lidah, cahaya keimanan di hati dan cahaya tasbih di anggotaanggota
yang lain.

Imam Al-Jurjani berkata bahawa sekelian langit dan bumi itu diterangi dengan
cahaya Allah swt dan keterangannya. KeteranganNya itu ialah cahaya keyakinan
yang bersinar dalam hati seorang yang beriman.
Sebahagian ulama pula mengatakan bahawa orang yang beriman memiliki lapan
cahaya iaitu cahaya ruh, cahaya rahsia, cahaya atas cahaya iaitu cahaya petunjuk
cahaya ilmu, cahaya taufiq, cahaya pemeliharaan, cahaya sumpah dan cahaya
kehidupan.
Ayat (Cahaya Allah itu ibarat Misykat) bermaksud cahaya Allah swt di hati
orang yang beriman dan ikhlas seperti Misykat (lubang) iaitu lubuk hatinya.
Dan Misbah (lampu) itu cahaya yang dipancarkan dalam hatinya. Zujajah (kaca)

itu ibarat Taufiq dan Taufiq itu diperolehi dengan makrifat yang sebenarnya.
Kaca itu ibarat bintang yang begemerlapan seperti cahaya. Makrifat itu bersinar
dalam hati orang-orang Arif dengan cahaya Taufiq. Cahaya makrifat itu juga
bersinar di hati orang yang beriman dari sebatang pokok yang diberkati dan
menyinari seseorang yang diberkati pula sehingga jelas nampak cahaya batin
dalam perilakunya yang suci.

Ayat (Hampir-hampir minyaknya itu menerangi walupun tidak disentuh
cahaya) bererti hampir-hampir cahaya itu menerangi dari hati orang yang
beriman kepda lidahnya sekiranya ia berzikir kepada Allah swt.
Imam Jaafar Bin Muhammad As-Saadiq berpendapat sesungguhnya Allah swt
menerangi langit dengan cahaya bintang-bintang, matahari dan bulan. Dan
menerangi bumi dengan cahaya tumbuh-tumbhan yang merah, kuning, putih
dan sebagainya. Dan menerangi hati orang-orang mukmin dengan cahaya
keimanan, keislaman, dan menerangi jalan kepada Allah swt dengan cahaya
Abu Bakar, Umar, Uthman dan Ali. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Para sahabatku adalah ibarat bintang-bintang di langit. Maka
apabila kamu mencontohi mereka, maka kamu akan mendapat
petunjuk”
Ibn Athaillah berpendapat bahawa lafaz La Syarqiyyah Wal Gharbiyyah (tidak
di timur dan tidak dibarat) bermaksud tidak dekat dan tidak jauh. Yakni Allah
swt dari dekat dirasakan jauh, dan sebaliknya dari jauh dirasakan dekat. Imam
Jaafar pula berpendapat maksudnya tiada perasaan takut dan tiada pula
perasaan pengharapan. Al-Wasithi pula berkata tiada di dunia dan tiada pula di
akhirat.
Imam Al-Jurjani pada mentafsirkan ayat Nur ‘Ala Nur Nur (cahaya atas cahaya),
beliau mengatakan bahawa Ar-Raja’ (pengharapan) itu ibarat cahaya dan Al-
Khauf (ketakutan) itu juga ibarat cahaya. Mahabbah (cinta) itu juga ibarat
cahaya. Apabila kesemua sifat-sifat ini bersatu dalam hati orang yang beriman,
maka berlaku di sana cahaya atas cahaya. Allah swt akan memberi petunjuk
dengan cahayaNya kepada sesiapa sahaja yang Dia kehendaki dan yang telah
berjaya mencapai cahaya-cahaya ini dari cahaya Allah swt di Azali. Cahayacahaya
ini hanya boleh diperolehi dengan melaksanakan suruhan Allah swt,
meninggalkan segala laranganNya, dengan membuat kebajikan dan ibadaibadah
yang sunnah hingga jadilah seseorang itu dipenuhi cahaya dari sisi Allah
swt.

PEMBAHASAN NUR (CAHAYA) OLEH IMAM HUJJATUL ISLAM
AL-GHAZZALI (SEBAHAGIAN TERJEMAHAN DARI KITAB MISYKATUL ANWAR)

Pembahasan tentang cahaya ini rasanya tidak akan memadai tanpa kita merujuk
kepada apa yang telah diterangkan oleh Imam Al-Ghazzali dalam kitabnya
Misykatul Anwar. Imam Al-Ghazzali adalah seorang pemikir Islam dan juga
pemikir yang banyak memikirkan tentang maslahat umat manusia secara zahir
dan bathin.
Kitab Misykatul Anwar adalah contoh yang menunjukkan perjalanan hidup
Imam Al-Ghazzali dalam mencari hakikat dan tujuan kehidupan yang
sebenarnya.
Antara lain yang dijelaskan dalam kitab beliau ialah :
Penjelasan tentang rahsia-rahsia cahaya Ilahi ( Bab ini diterangkan setelah
beliau mencapai tahap pemikiran yang tertentu dan ingin
memastikannya)
Menjelaskan tentang rahsia-rahsia cahaya tersebut dengan kaitan ayat
Nur dan hadis Hijab dan membahagikan pembahasan ini dalam tiga bab
utama.

Dalam bab pertama, beliau menerangkan makna cahaya, antara lain
menjelaskan hakikat cahaya yang sebenarnya iaitu Allah swt dan cahaya
itu bukanlah cahaya yang ditakrifkan dan difahami oleh manusia dan
dapat diertikan oleh akal pemikiran manusia yang terbatas.
Dalam bab kedua, beliau menjelaskan pula rahsia-rahsia perumpamaan
ayat7 Allah swt tentang cahayaNya iaitu perhatian kepada pengertian
kalimat Misykat, Misbah, Zujajah, Syajarah, Zait dan Naar. Kemudian
menjelaskan tentang tingkatan ruh-ruh manusia dan penerangannya.
Dalam bab ketiga, Imam Al-Ghazzali, menjelaskan pula tentang hadis
Hijab dengan tumpuan kepada maksud hijab dan pembahagiannya.

BAHAGIAN PERTAMA

Ayat Tentang Cahaya

"Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya itu laksana
sebuah Misykaat; di dalamnya ada lampu. Lampu itu di dalam sebuah
kaca. Kaca itu laksana bintang yang gemerlapan. Dipasang dari sebatang
kayu yang beroleh berkat, iaitu (minyak) pohon zaitun, tidak timur, dan
tidak barat. Hampir sahaja minyak itu bernyala-nyala walaupun ia belum
disentuh oleh api. Cahaya Atas Cahaya".8

Ayat Tentang Kegelapan

"Tetapi bagi orang-orang kafir, perbuatan mereka itu adalah ibarat kegelapan yang
bertimbun-timbun di laut yang sangat dalam yang berombak dan dilapisi lagi dengan
ombak di atas awan gelap, Gelap di atas Gelap, sehingga jika seseorang menghulurkan
tangannya, tidaklah kelihatan tangan itu. Sesungguhnya barangsiapa yang Allah tidak
beri cahaya, maka tidaklah ada cahaya baginya". 9

Hadis Tentang Cahaya Allah

"Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tabir) cahaya dan
gelap. Sekiranya Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti
akan menghancurkan sesiapa yang mengenalinya dengan
pandangan".10

Hakikat Cahaya

Cahaya hakiki yang sebenarnya ialah Allah swt. Penggunaan kalimat cahaya
selain daripada Allah adalah perumpamaan sahaja dan tidak membawa maksud
yang sebenarnya.
Penggunaan kalimat cahaya digunakan pada 3 pengertian :
Pengertian pada orang awam
Pengertian pada orang khusus
Pengertian pada orang yang lebih khusus

Pengertian pada orang awam

Cahaya bererti sesuatu yang zahir dan kelihatan. Yang dimaksudkan di sini ialah
sesuatu itu kelihatan kepada sesuatu yang lain daripadanya, atau tidak kelihatan
(tersembunyi) daripada sesuatu yang lain daripadanya. Maka sesuatu dapat
dilihat ialah kerana wujudnya penglihatan. Sesuatu benda dari segi penglihatan
itu terbahagi kepada tiga :
1. Sesuatu yang dengan sendirinya tidak boleh kelihatan seperti sesuatu
yang gelap.

2. Sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan, tetapi tidak boleh
membuat benda lain kelihatan seperti bintang-bintang dan api yang
belum menyala.
3. Sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan dan juga boleh membuat
benda lain kelihatan seperti bulan, matahari, lampu dan api yang
menyala.
Kesimpulannya, cahaya pada pengertian umum ialah kalimat yang digunakan
untuk sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan dan boleh membuat
benda yang lain kelihatan.

Pengertian pada orang khusus

Hakikat cahaya ialah sesuatu yang kelihatan dan menyebabkan sesuatu yang
lain itu kelihatan.
Cahaya yang zahir ini menyerupai ruh yang disifatkan sebagai satu penglihatan
juga. Ruh itu memainkan peranan penting dalam penglihatan, bahkan ia lebih
penting kerana ruh orang yang melihat itulah yang mengerti sesuatu. Melalui
ruh, seseorang itu dapat memahami dan mengerti sesuatu yang dilihat.
Sebenarnya, perkataan cahaya itu ialah sesuatu yang melihat. Yang melihat itu
adalah mata. Cahayalah yang membolehkan mata itu melihat. Tanpa cahaya,
mata tidak dapat berfungsi dan tidak dapat menghasilkan penglihatan. Oleh
kerana itu, manusia menggunakan istilah cahaya mata.
Sebagai contoh :
Orang yang kabur matanya, dikatakan cahaya penglihatannya kabur.
Orang yang lemah penglihatannya, dikatakan cahaya pandanganmatanya lemah.
Orang yang buta, dikatakan cahayanya gelap.

Pengertian pada orang yang lebih khusus

Cahaya penglihatan biasa itu ada kekurangan dan kecacatannya. Antara lain
kecacatannya :
Ia dapat melihat benda lain tetapi tidak melihat dirinya sendiri.
Ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang sangat jauh atau yang sangat
dekat.
Ia tidak dapat melihat sesuatu yang di belakang dinding.
Ia melihat yang diluar sahaja dan tidak dapat melihat yang di dalam.
Ia melihat sebahagaian sahaja bukan keseluruhan.

Ia melihat perkara yang terbatas atau terhad dan tidak melihat perkara
yang tidak terbatas.
Dalam melihat itu pula, ia banyak membuat kesalahan, kerana apa yang
sebenarnya besar, pada pandangannya kelihatan kecil, apa yang jauh
kelihatan dekat, apa yang diam kelihatan bergerak, apa yang bergerak
kelihatan diam.
Sesungguhnya pada hati manusia itu ada mata yang bebas dari segala
kekurangan yang ada pada mata biasa yang ada pada manusia iaitu Aqal, Ruh
dan Jiwa.
Dari penjelasan di atas berkenaan cahaya, maka disini wajarlah Aqal itu digelar
cahaya dan bukannya mata. Memang benar dikatakan bahawa antara keduanya
itu ada perbezaan yang besar nilainya, sehingga kita boleh mengatakan bahawa
AQAL itulah yang sebenarnya dipanggil CAHAYA.

Kaitan cahaya dengan Allah swt

Maksud ‘Allah itu cahaya langit dan bumi”
Kiasannya, cahaya itu membolehkan kita melihat warna. Contohnya, pada siang
hari apabila kita melihat tumbuh-tumbuhan, maka kita akan mengatakan
bahawa kita tidak melihat sesuatu yang lain kecuali warna hijau. Mungkin di
sini diperbahaskan oleh sebahagian orang bahawa cahaya itu tidak wujud, yang
kelihatan hanya warna hijau sahaja.
Dengan demikian, mereka menafikan wujudnya cahaya meskipun cahaya itulah
yang paling terang dan menyebabkan warna itu kelihatan. Dengan adanya
cahayalah, maka benda-benda itu kelihatan kerana cahaya itu boleh kelihatan
dan membuat benda-benda yang lain kelihatan.
Tetapi apabila datangnya malam, maka barulah mereka sedar bahawa adanya
perbezaan antara bayangan atau gelap dengan cahaya. Maka barulah mereka
meyakini bahawa cahaya itu memang ada disebalik setiap warna dan dilihat
bersama warna.
Maka di sini, boleh dikatakan oleh kerana kesatuan cahaya dengan warna itu,
hinggakan cahaya itu tidak disedari ada di situ, mungkin kerana terlampau
terang sehingga menyebabkan cahaya tidak kelihatan. Ini disebabkan kerana
sesuatu yang melampaui dari sempadan hadnya akan masuk ke wilayah yang
berlawanan dengannya.
Dengan penjelasan ini, dikatakan bahawa kita boleh melihat Allah swt
disamping seuatu benda itu. Umpamanya, ada yang berkata :

‘Tidak saya lihat sesuatu pun melainkan saya lihat Allah swt”11
Al-Quran ada menerangkan :
“Tidakkah cukup bahawa Tuhanmu melihat semuanya”12
Dalam ayat yang lain Allah mengatakan :
“Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dalam
seluruh alam dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahawa Al-Quran itu adalah benar”13
Dalam bicara melihat Allah ini, harus kita ketahui bahawa ada yang melihat
Allah secara terus menerus iaitu golongan para aulia Allah. Ada pula yang
melihat Allah swt melalui perbuatan-perbuatannya iaitu golongan orang-orang
Arif yang telah yakin dalam ilmunya. Selain dari kedua-dua golongan ini, maka
tidak lain hanya orang-orang yang lalai kerana wujudnya hijab pada diri
mereka.
Sesungguhnya wujudnya cahaya itu membolehkan mata kasar melihat dan
nampak dan Allah swt itu membolehkan mata bathin manusia melihat dan
nampak kerana Allah itu ada bersama segala sesuatu setiap ketika dan Dialah
yang menampakkan segala-galanya. Melihat Allah swt di sini bukan dalam
pengertian berbentuk dan Allah swt itu tidak menyerupai dengan sesuatu. Ini
dijelaskan dalam firmanNya :
“Tidak ada sesuatu yang serupa denganNya dan Dialah yang Maha Mendengar
Lagi Melihat”14


BAHAGIAN KEDUA
PENJELASAN TENTANG PERUMPAMAAN MISYKAT, LAMPU, KACA,
POKOK, MINYAK DAN API PADA AYAT NUR

Dalam penjelasan mengenai perkara ini, harus diketahui dua perkara iaitu :
1. Penerangan tentang rahsia perumpamaan-perumpamaan pada ayat
tersebut dan kaitan ruh dengan perumpamaan tersebut.
2. Peringkat-peringkat ruh.
Rahsia di sebalik perumpamaan
Alam ini terbahagi kepada dua :
1. Alam Ruhani 2. Alam Jasmani
Boleh juga digelar :
1. Alam Kebendaan 2. Alam Aqal
Atau
1. Alam Tinggi 2. Alam Rendah
Alam Ruhani (Alam Tinggi) itu tidak kelihatan oleh kebanyakan orang.
Sebaliknya, Alam Jasmani (Alam Rendah) itu kelihatan oleh semua orang,
kerana ia adalah alam pancaindera atau alam nyata.
Perjalanan menuju ke Alam Ruhani itu akan terhalang jika tidak ada
perhubungan antara kedua alam ini. Jika perjalanan ke alam tersebut itu dapat
dilalui, maka tidak mungkin kita sampai ke Hadirat Ilahi Rabbi.
Alam nyata (Jasmani) ini adalah tempat bertolaknya ke Alam Ruhani (Tinggi).
Firman Allah swt :

“Maka apakah orang yang berjalan tersungkur di atas
mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah
orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”15
Yang dimaksudkan perjalanan yang lurus pada ayat ini adalah menuju Alam
Ruhani. Ini boleh juga dikatakan keimanan atau tempat mendapat bimbingan
yang sebenarnya. Jika tiada perhubungan antara kedua-dua alam, maka
tidaklah mungkin seseorang itu naik ke alam yang lebih tinggi. Allah swt
memberikan rahmatNya kepada Alam Jasmani seperti juga diberiNya kepada
Alam Rohani.
Dari itu, tidak ada suatu pun di Alam Jasmani ini yang tidak menjadi simbol
atau perumpamaan kepada perkara-perkara di Alam Ruhani.
Sekiranya alam Ruhani mempunyai cahaya yang digelar Malaikat, dan cahaya
itu pula dipancarkan kepada ruh-ruh, maka oleh kerana itu malaikat-malaikat
itu boleh digelarkan tuan, dan tuan bagi segala tuan-tuan itu ialah Allah swt.
Tuan-tuan ini mempunyai peringkat-peringkat sinaran yang berbeza-beza. Maka
simbol semua itu di Alam Jasmani ialah matahari, bulan dan bintang.
Perhatikan kisah Nabi Ibrahim yang sedang perjalanan menuju Allah swt, naik
ke satu peringkat seumpama sebuah bintang. Sinaran cahaya bintang itu
nampak kepadanya. Maka disedarilah bahawa dunia di bawah sana
mengagungkan pengaruh dan sinaran cahaya bintang itu dan seterusnya………
Firman Allah swt menceritakan kisah ini :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapanya Aazar
Adakah kamu menjadi berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan
yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan bumi,
dan Kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orangorang
yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat
sebuah bintang lalu berkata “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam, dia berkata “Saya tidak suka kepada yang
tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata
: “Inilah Tuhanku”. Tetapi bulan itu terbenam, dia berkata :
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku tergolong dari orang-orang yang sesat”. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku,
ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia
berkata : “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah tergolong
dari orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.16
Kalimat “Yang” dalam ayat ini dimaksudkan ialah Allah swt. Ini disebabkan
tidak ada perbandingan dan tidak ada persamaan Ini menunjukkan Allah itu
Maha Agung dan tidak termasuk dalam bidang perbandingan dan persamaan.

PENJELASAN MENGENAI MARTABAT RUH MANUSIA

Pertama : Ruh Hissi (Pancaindera)

Ruh Hissi menerima maklumat yang dibawa oleh pancaindera yang lima iaitu
rasa, bau, dengar, lihat dan sentuh. Ini merupakan asal ruh yang dinamakan
Ar-Ruh Al-Hayawani (yakni sesuatu yang mempunyai hayat). Ruh ini juga
wujud pada bayi yang masih kecil.

Kedua : Ruh Khayali

Ruh ini merakamkan segala yang dibawa oleh pancaindera. Maklumat ini
disimpan dan disediakan untuk dipersembahkan kepada jiwa atau Ruh Akal di
peringkat yang tinggi apabila maklumat itu dikehendaki.
Ruh ini tidak wujud pada seorang bayi. Inilah sebabnya apabila seseorang bayi
itu hendak memegang sesuatu yang dilihatnya, ia akan lupa pada benda itu
apabila ianya hilang daripada pandangannya. Tidak akan timbul kehendak
dalam jiwa atau ruhnya kepada sesuatu yang tidak dilihatnya sehinggalah ia
meningkat umur dewasa. Maka di kala itu, ia mula menangis kerana
menghendaki sesuatu benda yang tersimpan dalam khayalannya. Inilah yang
dinamakan Ruh Khayali.

Ketiga : Ruh Akal

Ruh atau jiwa ini mengetahui perkara-perkara yang di luar sempadan
pancaindera dan khayalan. Kebolehan ini hanya khusus wujud pada manusia
dan tidak ada pada binatang dan anak-anak. Perkara-perkara yang diketahui
oleh ruh ini adalah kebenaran yang digunakan dengan menyeluruh.

Keempat : Ruh Yang Memikir dan

Membuat Kesimpulan

Ruh atau jiwa ini mengambil butir-butir yang dibicarakan oleh akal atau
pendapat dan mengumpul dan menyusunkannya sebagai pokok pemikiran dan
dari situlah diambilnya sesuatu maklumat. Kemudian diambil pula antara dua
kesimpulan dan disertakan lagi dan diambil kesimpulan yang baru dan
begitulah seterusnya tanpa had batasan.

Kelima : Ruh Kenabian Yang Suci

Ruh ini wujud pada para nabi dan aulia Allah. Dengan ruh ini, perkara-perkara
di alam ghaib atau alam ruhani dapat mereka lihat bersama dengan beberapa

pengetahuan langit dan bumi serta ilmu ketuhanan yang tidak dapat dicapai
oleh Ruh Akal dan jiwa yang membuat kesimpulan. Inilah yang dimaksudkan
oleh firman Allah swt :
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Quran)
dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,
tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu cahaya, yang Kami
tunjukkan dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”17

Kesimpulan
Maka, dari itu, ketahuilah bahawa tiada peringkat atau martabat yang lebih
tinggi dari peringkat akal yang dapat melihat apa yang terlihat di dalam bidang
akal. Sebagaimana juga akal itu lebih tinggi dari pancaindera yang lain dan ianya
dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh pancaindera.

KEGUNAAN AYAT NUR DAN HADIS HIJAB

Penerangan Tentang Perumpamaan Ayat Nur

Maksud dan pengertian perumpamaan atau simbolik disebalik ayat yang
terdapat pada Surah An-Nur ayat 35..
Penerangannya akan meliputi :

Pasangan antara lima peringkat ruh dan
Lima perumpamaan iaitu Misykat (lubang) , Zujajah (kaca) , Misbah
(lampu), Syajarah (pokok) dan Zaitun (minyak).
1 Ruh Hissi
Cahayanya datang melalui bebrapa saluran iaitu mata, telinga, hidung dan lainlain.
Simbol yang paling wajar untuk ini ialah “MISYKAT”(Lubang)
2 Ruh Khayali
Ia mempunyai 3 sifat.
1. Ianya adalah daripada perkara yang terdiri daripada alam rendah yang
kasar ini, kerana sifat-sifatnya mempunyai saiz, bentuk, ukuran yang
tertentu dan terhad. Selanjutnya salah satu sifatnya ialah ia tidak
bercahaya oleh sinaran kepada cahaya akal. Akal akan melampaui arah,
bilangan dan jarak.
2. Jika sesuatu itu terang, jelas dan terkawal, maka ia akan mencapai
persamaan dengan pendapat akal dan akan tertembus oleh cahaya
daripada mereka itu.
3. Khayalan ini pada mulanya sangatlah perlu agar dapat dikawal oleh
pengetahuan akal dan dengan ini pengetahuan tersebut tidaklah
terganggu, terumbang-ambing dan lari dari kawalan.
Banyangan yang dibekalkan oleh khayalan itu menguasai pengetahun yang
dibekal oleh akal. Dalam dunia harian yang nyata ini, kita akan dapati bahawa
benda atau objek yang mempunyai ketiga-tiga sifat ini jika dihubungkan dengan
cahaya biasa ialah “KACA” (Zujajah). Ini disebabkan kaca pada mulanya itu
kotor, tetapi setelah dibersih dan dihalusi hingga menjadi bersinar (tembus oleh
cahaya) maka ia akan tembus kepada cahaya lampu. Kaca ini pula melindungi
lampu itu daripada padam oleh hembusan angin atau goncangan yang kuat.
Maka kaca inilah simbolik yang paling sesuai bagi khayalan.

3 Ruh Aqli

Ini memberi kita kefahaman tentang perkara-perkara ketuhanan. Tentang
perumpamaan ini, telah jelas kepada kita bahawa para nabi itu adalah Misbah
(Lampu yang memberi cahaya).

4 Ruh yang Memikir dan Membuat Kesimpulan

Keadaannya bermula dengan satu pendapat, kemudian bercabang dua, setelah
itu bercabang empat, dan begitulah seterusnya hingga dengan proses
pemecahan secara logik ini, ia menjadi beratus-ratus dan beribu-ribu
banyaknya. Akhirnya membawa kepada satu kesimpulan dan kesimpulankesimpulan
ini pula mengeluarkan lagi banyak kesimpulan, dan begitulah
seterusnya. Oleh yang demikian, ruh ini disimbolkan sebagai

"POKOK" (Syajarah) kerana keadaan ini seumpama pokok di alam nyata ini.
Selanjutnya kita perhatikan bahawa hasil atau buah (jiwa) jenis ini
mengeluarkan banyak ilmu dan menetapkannya. Maka sewajarnyalah ia tidak
disimbolkan dengan pokok epal atau delima atau lain-lain pokok kecuali pokok
zaiton.
Buah zaiton itu ada mengeluarkan minyak yang digunakan untuk minyak
lampu dan minyak ini berbeza dengan lain-lain minyak. Minyak zaiton ini
menambah sinaran lampu. Jika diberi kata sifat adjektif "berkat" kepada pokok
tersebut, maka sudah tentu hasil yang didapati dari pokok itu diberi kata sifat
adjektif berkat juga. Akhirnya jika cabang-cabang atau pendapat akal bersih itu
tidak tertakluk kepada arah dan jarak, maka wajarlah digelar simbol pokok ini
sebagai "tidak timur dan tidak barat". (La Syarqiyyatun Wa La Gharbiyyah)

5 Ruh Kenabian Yang Suci

Ruh atau jiwa yang terang benderang ini ada pada nabi dan wali Allah. Jiwa
fikiran manusia terbahagi kepada dua jenis.
Satu daripadanya perlu dan wajar dinasihati dan dibekali dari luar untuk
mendapat ilmu terus menerus.
Yang satu lagi tidak perlu bekalan ilmu dari luar; cukup dari dalam,
seolah-olah bercahaya dengan sendiri.
Kebolehan tabie yang kuat dan terang ini dikatakan sebagai "minyak itu
bernyala-nyala walaupun ia belum disentuh oleh api". (Ya kaadu zaituha
yudhi- u walau lam tamsashu naar)
Ada wali Allah yang mempunyai cahaya yang sangat terang hingga
"hampir" tidak memerlukan lagi apa yang dibekalkan oleh para nabi.
Ada pula yang mempunyai cahaya yang "hampir-hampir" tidak
memerlukan lagi apa yang dibekali oleh para malaikat.
Inilah perumpamaan yang sewajarnya bagi perkara ini.

Cahaya ruh manusia itu berperingkat-peringkat.
Maka peringkat pancaindera itu adalah peringkat awal dan persediaan
untuk khayalan (kerana khayalan boleh dianggap sebagai mengikuti
pancaindera).
Selepas itu diikuti pula oleh akal.
Kemudian dituruti pula oleh jiwa yang memikir dan membuat
kesimpulan.
Semua itu menerangkan;
Kenapa kaca itu dikatakan tempat letak lampu;

Dan misykat itu tempat letak kaca.
Ini bererti lampu itu di dalam kaca dan kaca itu dalam misykat (lubang).
Akhirnya, sebagaimana yang kita lihat adanya cahaya yang berperingkatperingkat
itu mentafsirkan kepada kita ayat yang bermaksud "Cahaya
Atas Cahaya" itu. (Nur ‘ala Nur)

KESIMPULAN AYAT BERKENAAN GELAP

Perumpamaan atas simbolik cahaya hanya untuk hati atau jiwa orang-orang
yang beriman, atau Nabi-nabi dan wali-wali Allah sahaja. Bukan untuk hati
orang-orang ingkar kerana istilah "Cahaya" ini khusus untuk orang-orang yang
dipimpin di jalan yang lurus.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang menyeleweng dari jalan yang benar dan
lurus, maka ia adalah palsu dan gelap. Bahkan lebih gelap daripada yang gelap.
Kegelapan itu tidak membimbing seseorang itu ke mana-mana. Fikiran orangorang
INGKAR itu dan seluruh pandangan mereka adalah sesat dan
menyeleweng dan fikiran mereka itu saling sokong menyokong antara satu
dengan lain untuk menipu dan menyesatkan tuan yang empunya. Mereka itu
ibarat orang yang berada
“Di laut yang sangat dalam yang berombak dan dilapisi
lagi dengan ombak. Di atasnya awan gelap; gelap di atas
gelap".18
"Laut yang sangat dalam" (Bahrun Lujjiyun) itu bermaksud dunia-dunia ini
yang penuh dengan mara bahaya, kejahatan, dosa dan noda.
"Ombak" (Mauj) yang pertama itu ialah ombak hawa nafsu yang dirinya jiwa
itu mendapat sifat-sifat kebinatangan, dan dikuasai oleh keseronokan hawa
nafsu, dan memuaskan cita-cita keduniaan sahaja; lalu

"Mereka makan dan berpoya-poya seperti lembu kerbau.
Nerakalah tempat kediaman mereka". 19
Ombak itu diibaratkan sebagai kegelapan. Oleh itu cinta kepada makhluk
menjadikan jiwa itu buta dan pekak.
"Ombak" (Mauj) yang dilapisan kedua itu bermaksud sifat-sifat ganas yang
mendorong jiwa itu bersikap
Marah,
Hasad dengki,
Benci,
Menentang diri sendiri,
Sombong,
Megah dan
Bangga.
Maka, tepatlah simbolik gelap ini kerana marah itu adalah iblis akal manusia.
Dan sesuai juga simbolik ombak yang di atas itu kerana marah itu kebanyakan
lebih kuat daripada nafsu syahwat; marah yang mendidih menyelewengkan
jiwa dari nafsu angkara dan membuatnya lalai dengan keseronokan. Hawa
nafsu tidak dapat menentang marah yang bersangatan.
"Awan gelap" (Sahaabun Zulumaatun) itu adalah kepercayaan yang bukanbukan,
bid’ah yang menyesatkan dan pemikiran yang rosak yang menjadi
lapisan-lapisan hijab yang mendinding orang-orang kafir daripada mendapat
iman, ilmu yang hakiki dan sinaran dari cahaya Al-Quran dan akal yang bersih.
Telah menjadi lumrah, awan itu melindungi sinaran cahaya matahari. Oleh
kerana semua perkara tersebut adalah menggelapkan, maka sesuai benarlah
ayat ini "Gelap di atas gelap" (Zulumaatun Ba’dhuha Fauqa Ba’dhin) . Ini
adalah kerana perkara-perkara tersebut menutup jiwa daripada mendapat ilmu
tentang perkara-perkara yang dekat; apatah lagi yang jauh. Ianya mendinding
orang-orang kafir daripada mengetahui apa yang dibawa oleh Nabi, meskipun
mereka sangat hampir dan boleh dipandang. Sesuai benarlah dikatakan
"Jika seseorang menghulurkan tangannya, tidaklah
kelihatan tangan itu"20

Kesimpulannya, semua cahaya-cahaya ini berpunca dan berasal dari Yang Maha
Esa, maka sewajarnyalah tiap-tiap orang yang mengakui dan beriman dengan
kalimah tauhid mempercayai bahawa,
"Sesungguhnya barangsiapa yang Allah tidak berikan
cahaya, maka tidaklah ada cahaya baginya".21

BAHAGIAN KETIGA

PENERANGAN TENTANG PERUMPAMAAN HADIS 70,000 HIJAB

"Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tabir) cahaya dan
gelap. Sekiranya Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti
akan menghancurkan sesiapa yang mengenalinya dengan
pandangan".22
Sesungguhnya Allah itu tidak tidur dan tidak sepatutnya Ia
tidur. Dialah yang meringan dan memberatkan timbangan.

Dia mengangkatkan kepadaNya amalan pada waktu
malam sebelum amalan siang, dan amalan pada waktu
siang sebelum malam. HijabNya itu cahaya dan sekiranya
Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti akan
menghancurkan sesiapa yang mengenaliNya dengan
pandangan daripada sekelian ciptaanNya.23
Ada tiga jenis hijab yang ada pada manusia iaitu :
1. Gelap keseluruhannya
2. Campuran gelap dengan cahaya
3. Cahaya keseluruhannya

1 Gelap Keseluruhannya

Bahagian pertama ialah mereka yang terhijab atau terdinding oleh gelap yang
sebenarnya. Mereka ini ialah orang yang tidak percaya dengan Allah dan hari
kemudian. Inilah orang "yang kasih kepada kehidupan dunia ini lebih daripada
kehidupan akhirat" kerana mereka tidak percaya dengan apa yang akan datang
kemudian.

Mereka ini pula terbahagi kepada beberapa pecahan.
1 Mereka yang hendak mencari sebab terhadap kehidupan di dunia ini dan
mereka jadikan alam nyata ini sebagai sebab. Tetapi alam nyata ini ialah satu
sifat yang ada pada benda-benda. Ianya pula adalah gelap kerana ia;

Tidak ada ilmu pengetahuan,
Tidak ada pandangan,
Tidak ada kesedaran terhadap diri sendiri,
Tidak ada kesedaran terhadap yang lain,
Tidak ada cahaya pandangan melalui perantaraan mata.

2 Mereka yang dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri dan tidak mahu
mengetahui tujuan hidup ini. Mereka hidup seperti kehidupan binatang. Hijab
ini ialah diri mereka sendiri (self-centered ego) dan hawa nafsu gelap mereka
itu. Tidak ada gelap yang lebih gelap daripada penghambaan kepada dorongan
diri sendiri dan cinta diri sendiri. Firman Allah :

"Tidakkah engkau perhatikan orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya?" 24
Sabda Nabi Muhammmad saw :
"Mempertuhankan hawa nafsu adalah penyembahan yang
paling dibenci oleh Allah". 25

Bahagian yang kedua ini terbahagi lagi kepada beberapa pecahan iaitu :

1 Manusia yang menganggap dan berkeyakinan bahawa matlamat atau
tujuan akhir hidup di dunia ini ialah untuk memuaskan hawa nafsu
kebinatangan mereka sahaja, sama ada berkenaan dengan jantina, atau
makan-minum atau pun pakaian. Inilah hamba nafsu. Hawa nafsu itulah
Tuhan mereka. Mereka percaya bahawa dengan memuaskan nafsu itu,
mereka akan mendapat kebahagiaan. Inilah manusia yang merendahkan
martabat mereka lebih rendah daripada martabat binatang. Adakah sesuatu
yang lebih gelap daripada ini????. Inilah orang yang dihijab sebenarnya.

2 Manusia yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah menakluk dan
menguasai, seperti membunuh dan merampas. Mereka itu ialah orangorang
yang jahil. Hijab pada mereka ialah sifat-sifat ganas dan garang. Sifatsifat
ini menguasai mereka. Mereka berasa senang hati dengan sifat-sifat
mereka itu. Inilah orang-orang yang bersifat binatang. Mereka merendahkan
martabat kemanusian mereka itu lebih rendah lagi daripada binatang.

3 Manusia ialah yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah
kekayaan harta benda kerana kekayaan ini adalah alat untuk memuaskan
tiap-tiap nafsu syahwat mereka. Mereka menghabiskan masa muda dan
tenaga mereka dengan memperbanyakkan dan mengumpul harta kekayaan
,wang ringgit, emas dan perak, tanah dan rumah yang indah, gedunggedung
besar dan lain-lain lagi. Mereka mengumpul dan menyimpan wang

ringgit sebanyak-banyaknya. Mereka bertungkus lumus siang dan malam di
mana sahaja untuk memperbanyakkan harta dengan sepuas-puasnya. Apa
yang ada itu nampak sedikit dan mereka terus mencari lagi tanpa berhenti
dan berpuas hati. Inilah orang-orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah
saw :
"Orang malang, hamba orang!!!, orang malang, hamba
emas!!".
Adakah gelap yang lebih gelap daripada ini?" Mereka telah dibutakan oleh
emas dan perak. Mereka tidak sedar bahawa emas dan perak itu adalah jenis
logam yang tidak berguna jika semata-mata untuknya sahaja. Logam yang
tidak lebih daripada batu-batu atau logam lainnya. Emas dan perak hanya
bernilai jika ia dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berfaedah
dan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang berguna.

4 Manusia yang menganggap bahawa kebahagiaan itu ialah dengan
mencapai kemasyhuran diri, mencari "nama" dan memperluaskan pengaruh
sehingga ramai orang yang menjadi pengikutnya serta menyanjungnya.
Mereka sentiasa berlagak dan melihat bayangan dirinya dalam cermin. Ada
yang mencurahkan wang ringgitnya membeli pakaiannya yang indah-indah
sampai baik dipandang orang dan disaksikan kecantikannya itu, meskipun
ia menderita kekurangan dan dapur tidak berasap di rumahnya.
Allah swt berfirman :
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka
ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan”26

2 Campuran Gelap Dengan Cahaya

Mereka ini terbahagi kepada tiga jenis iaitu;
1. Terhijab Oleh Pancaindera
2. Gelapnya Berpunca Dari Khayalan
3. Gelapnya Berpunca Dari Logik Akal Yang Palsu.

1 Terhijab Oleh Pancaindera

Mereka ini ialah orang-orang yang telah melangkah sempadan
mempertuhankan diri sendiri, yang mana itu adalah sifat orang-orang yang
dalam golongan pertama yang telah tersebut dahulu kerana mereka
mempertuhankan kepada sesuatu yang di luar diri mereka, dan ada sedikit
keinginan untuk mengetahui Tuhan.
Peringkat pertama terdiri daripada mereka yang menyembah berhala.
Peringkat akhir terdiri daripada mereka yang menduakan Tuhan.
Antara kedua-kedua peringkat tersebut, ada peringkat-peringkat lain
lagi.

2 Gelapnya Berpunca Dari Khayalan

Mereka ini melangkah dari sempadan pancaindera kerana mereka sedar adanya
sesuatu di sebalik objek-objek pancaindera. Tetapi golongan ini tidak dapat
melangkah lebih dari sempadan khayalan. Oleh itu, mereka sembah sesuatu
yang benar-benar duduk di atas kursi singgahsana.

3 Gelapnya Berpunca Daripada Logik Akal Yang Palsu

Mereka ini menyembah tuhan "yang mendengar, melihat, dan berilmu,
berkuasa, berkehendak dan hidup", dan melampaui semua arah termasuk arah
ke atas. Tetapi konsep mereka tentang sifat-sifat ini diserupakan dengan sifatsifat
mereka sendiri, hingga ada mereka berpendapat bahawa perkataan
(KALAM) Tuhan itu ialah berhuruf dan berbunyi, seperti manusia juga.
Sementara yang lain pula lebih maju lagi ke depan. Kata mereka; "Sebenarnya
seperti kalam fikiran kita, iaitu tidak berbunyi dan tidak berhuruf".

Oleh itu,
apabila mereka dicabar untuk menunjukkan bahawa Allah itu benar-benar
"mendengar, melihat, hidup dan lain-lain", maka penjelasan mereka seolaholah
menyifatkan tuhan itu sebagai manusia, meskipun mereka menafikannya.
Ini adalah kerana mereka tidak dapat memahami apakah sebenarnya maksud
pendapat tentang Sifat Allah itu. Mereka berkata bahawa berkenaan dengan
Iradat atau Kehendak Allah itu, adalah ianya bergantung atau berkaitan,
seperti kehendak atau iradat manusia juga, berkehendak kepada sesuatu dan
bertujuan. Semua pendapat-pendapat ini sudah terkenal dan termasyhur dan
kita tidak perlu bicara tentang perkara ini dengan panjang lebar. Mereka ini
terhijab oleh beberapa cahaya Ketuhanan dan bercampur dengan kegelapan
logik akal palsu. Semua yang tersebut itu adalah golongan bagi bahagian kedua
yang terdiri daripada hijab gelap bercampur cahaya.

Golongan yang terakhir yang disebutkan oleh Imam Ghazali di atas banyak
terdapat dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Walaupun mereka bertuhankan
Allah dan mengakui kerasulan Nabi, namun mereka jahil dengan pendapatpendapat
yang berkaitan sifat-sifat Ketuhanan Yang Maha suci lagi Maha
Sempurna. Biasanya golongan yang tersasar ini adalah dari golongan mereka
yang
Hanya berpandukan kepada Al-Quran dan Hadis semata-mata dengan
menolak mazhab-mazhab atau pendangan ulama-ulama yang
Muktabar,
Hanya berpandukan kepada Al-Quran semata-mata,
Menafikan Kefarduan Mempelajari Ilmu Usuluddin atau Ilmu Tauhid,
Hanya bertaklid kepada warisan keluarga semata-mata.

PEMBAHAGIAN NUR

Menurut pembahagian, nur itu terbagi kepada dua iaitu:

Nur Hissi (Zahir)

Iaitu cahaya yang kita melihat sesuatu dengan mata kepala kita seperti cahaya
sinaran matahari yang memberi kita cahaya terang diwaktu siang.

Nur Ma’nawi (Bathin)

Iaitu cahaya yang kita melihat dengan mata hati terhadap sesuatu yang ghaib
atau memahami sesuatu hakikat atau pengertian.
Nur Batin ini terbagi pula kepada 8 jenis, iaitu:

Nur Al-Iman


Cahaya keimanan iaitu cahaya sejati yang dapat menembusi segala kegelapan
dimana akan ternyata keagungan dan keesaan Allah s.w.t menyinari hati insan.

Nur Al-Qalb


Cahaya hati iaitu cahaya yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh
sinaran cahaya daripada nur Al-Iman.

Nur Ar-Ruh

Cahaya Ruh (jiwa) iaitu cahaya yang diperoleh dengan sebab kepatuhan yang
sungguh-sungguh kepada Allah dan menyucikan peribadi dari perlakuan liar
dan adat resam yang merugikan sehingga ruhnya dapat berhubung dengan alam
malaikat.

Nur An-Nafs

Cahaya peribadi yang wujud dengan sempurna berikutan dengan memperoleh
sinaran dari pada Nur Ar-Ruh.

Nur As-Sirr

Cahaya rahsia yang diperoleh dengan mengenal Allah dengan sebenar-benar
pengenalan yang diikuti dengan hubungan kepada Maha Pencipta tanpa
selainNya sehingga dapat menyaksikan keajaiban kebesaran Ilahi di Alam
Malakut dan Alam Mulk dan Syahada.

Nur Al-Aql

Cahaya akal yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya
daripada Nur As-Sirr.
Nur Al-Qur’an

Cahaya Qur’an yang merupakan Nur Allah s.w.t. yang berhubung rapat dengan
DzatNya Yang Maha Tinggi. Hakikat Nur ini adalah diserahkan kepada Allah.
Hanya diketahui bahwa nur inilah yang menimbulkan Nur As-Sirr dan nur yang
lain.

Nur Al-Kasyaf

Cahaya singkapan iaitu Nur Al-Qur’an yang merupakan nur yang paling tinggi
dan mamberi kesan yang istimewa. Nur ini dapat menggilapkan cermin hati
para insan dengan membaca ayat-ayat suci,dzikrullah
(takbir,tahmid,tasbih,taqdis dan lain-lain); juga dengan memakan makanan yang
halal, berlaku ikhlas, berpuasa meninggalkan sesuatu yang memesongkan,
sentiasa membersihkan diri dan peribadi dengan mengekalkan wudhu’ dan
menjaga segala waktu untuk ketaatan dan berbakti kepada Allah s.w.t.
Firman Allah swt :
Wahai manusia se,sungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari tuhanmu (nabi Muhammad dan mujizatnya); dan
kami telah menurunkan kepadamu satu cahaya (Al-Qur’an) yang
terang benderang.27

Menurut golongan Sufi bahwa nur ini memungkinkan mengangkat pandangan
basirah kepada ‘Arasy dan Kursi dan menyaksikan segala nur-nur yang indah
hingga terbuka segala rahsia-rahsia alam dan bermacam-macam rupa alam
ghaib.
Nur inilah yang menyelubungi peribadi Nabi Muhammad s.a.w sehingga beliau
dapat memandang atau mengetahui sesuatu dengan izin Allah. Dikala beliau
pulang dari pengembaraan Isra’ dan Mi’raj, orang-orang kafir mengerumuni
beliau bagi menguji kebenaran pelajarannya. Mereka menanyakan sifat-sifat
masjid Al-Aqsa dengan terang, tetapi pertanyaan itu dapat dijawab oleh nabi
dengan tepat sehingga segolongan manusia merasa hairan dan kagum lalu
mempercayai kebenaran Nabi s.a.w.
Nur inilah yang membukakan pandangan kepada Khalifah Umar b.Al-Khattaab
yang berada di kota Madinah dapat melihat daerah Nahawand dan melihat
panglima dan tentara-tentara Islam yang sedang berjuang menyerang tenteratentera
Parsi dibawah raja Yazdajird III dimana beliau mengeluarkan perintah
menggempur musuh dengan hebat. Suara Umar didengar pula oleh panglima
Hudzaifah Al-Yaman sehingga beliau berjaya menumpaskan mereka.
Pada suatu masa ditanyakan Rasulullah s.a.w. dengan pertanyaan: "Apakah Nur
itu?"

Beliau menjawab: "Apabila nur itu memasuki hati maka lega dan lapanglah hati
itu." Kemudian ditanyakan lagi: "Bagaimanakah tandanya?" Sabdanya: "Hati itu
tidak lupakan perkembaliannya ke Darul Khuld (negeri Akhirat) Dia tidaklah
bermasyghul (berleka-leka) dengan keduniaan kerana dunia ini adalah tempat
perayaan (dan Percubaan).Hati itu selalu mengingati kematian sebelum tibanya
kematian itu."
Abdullah b. Mas’ud pernah berkata:
Ilmu itu diperoleh bukanlah kerana semata-mata banyak riwayat
(sumber biasa), tetapi dia hanya diperoleh dengan nur yang
dicampakkan Allah ke dalam hati seseorang.

MAKRIFATULLAH

Allah berfirman tentang ibadat:
“Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
mengabdikan diri kepadaKu”.28
Dalam lain perkataan, ‘mereka diciptakan supaya mengenali Daku’. Jika
seseorang tidak mengenaliNya bagaimana dia boleh memujiNya dengan
sebenar-benarnya, meminta pertolonganNya dan berkhidmat kepadaNya?
Makrifat yang diperlukan bagi mengenaliNya boleh dicapai dengan menyingkap
tabir hitam yang menutupi cermin hati seseorang, menyucikannya sehingga
bersih dan menggilapkannya sehingga bercahaya. Kemudian perbendaharaan
keindahan yang tersembunyi akan memancar pada rahsia cermin hati.
Allah Yang Maha Tinggi telah berfirman melalui rasulNya:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin
dikenali, lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali”. 29
Tujuan suci diciptakan manusia ialah supaya mereka mengenali Allah,
memperolehi makrifat.

Ada dua peringkat makrifat yang suci.

Seseorang itu perlu mengenali sifat-sifat
Allah dan dalil-dalil yang menjadi kenyataan atau penzahiran bagi sifat-sifat
tersebut. Satu lagi ialah mengenali Zat Allah. Di dalam mengenali sifat-sifat
Allah manusia secara zahirnya dapat menikmati kedua-duanya iaitu dunia dan
akhirat. Makrifat yang memimpin kepada Zat Allah tidak diperolehi dengan diri
zahir manusia. Ia terjadi di dalam jiwa atau ruh suci manusia yang berada di
dalam dirinya yang zahir ini.
“Dan Kami telah perkuatkan dia (Isa) dengan ruh kudus”.30
Orang yang mengenali Zat Allah menemui kuasa ini melalui ruh kudus (suci)
yang dikurniakan kepada mereka.

Kedua-dua makrifat tersebut diperolehi dengan hikmah kebijaksanaan yang
mempunyai dua aspek; hikmah kebijaksanaan kerohanian yang di dalam dan
pengetahuan zahir tentang benda-benda nyata. Kedua-duanya diperlukan untuk
mendapatkaan kebaikan. Nabi s.a.w bersabda, “Pengetahuan ada dua bahagian.
Satu pada lidah yang menjadi dalil tentang kewujudan Allah, satu lagi di dalam
hati manusia. Inilah yang diperlukan bagi melaksanakan harapan kita”.
Allah berfirman:
“Barangsiapa berharap menemui Tuhannya, hendaklah dia
mengerjakan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan
sesuatu dengan Allah dalam ibadatnya kepada Tuhannya”.31

Apa yang dihuraikan sebagai daerah makrifat itu adalah tahap penghabisan bagi
daerah kejadian yang pertama. Ia adalah permulaan dan merupakan rumah
yang setiap orang kembali ke sana. Di samalah ruh suci dijadikan. Apa yang
dimaksudkan dengan ruh suci adalah ruh insan. Ia dijadikan dalam bentuk yang
paling baik.

Kebenaran atau hakikat tersebut telah ditanam di tengah-tengah hati sebagai
amanah Allah, diamanahkan kepada manusia agar disimpan dengan selamat. Ia
bangkit dan menyata melalui taubat yang sungguh-sungguh dan usaha sebenar
mempelajari agama. Keindahannya akan memancar ke permukaan apabila
seseorang itu mengingati Allah terus menerus, mengulangi kalimah “La Ilaha
Illallah”. Pada mulanya kalimah ini diucapkan dengan lidah. Bila hati sudah
hidup ia diucapkan di dalam, dengan hati.

PERTEMUAN DENGAN ALLAH SWT DI AKHIRAT

Melihat Allah ada dua jenis: Pertama melihat sifat keindahan Allah yang
sempurna secara langsung di akhirat’ dan satu lagi melihat sifat-sifat ketuhanan
yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih kepunyaan hati yang tulen di
dalam kehidupan ini. Dalam hal tersebut penyaksian kelihatan sebagai
penzahiran cahaya keluar daripada keindahan Allah yang sempurna dan dilihat
oleh mata hati yang hakiki.
“Hati tidak menafikan apa yang dia lihat”.32
Mengenai melihat kenyataan Allah melalui perantaraan, Nabi s.a.w bersabda,
“Yang beriman adalah cermin kepada yang beriman”. Yang beriman yang pertama,
cermin dalam ayat ini, adalah hati yang beriman yang suci murni, sementara
yang beriman kedua adalah Yang Melihat bayanganNya di dalam cermin itu,
Allah Yang Maha Tinggi. Sesiapa yang sampai kepada makam melihat
kenyataan sifat Allah di dalam dunia ini akan melihat Zat Allah di akhirat, tanpa
rupa tanpa bentuk.

Kenyataan ini disahkan oleh Saidina Umar r.a dengan katanya,
“Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”.
Saidina Ali r.a berkata,
“Aku tidak menyembah Allah kecuali aku melihatNya”.
Mereka berdua tentu telah melihat sifat-sifat Allah dalam kenyataan. Jika
seseorang melihat cahaya matahari masuk melalui jendela dan dia berkata, “Aku
melihat matahari”, dia bercakap benar.

Allah swt boleh dikenali di dalam dunia ini melalui sifat-sifatNya. Tetapi untuk
melihat dan mengenali ZatNya sendiri hanyalah boleh terjadi di akhirat. Di sana
melihat Allah adalah secara langsung sebagaimana yang Dia kehendaki dan
yang melihatnya adalah mata bagi hati.
“Beberapa muka pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan
Baca Selengkapnya; Seratan selajengipun »»