PROSPEK SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA
Pendahuluan
Sedikitnya ada dua sistem pendidikan yang berkembang dan populer
hingga saat ini di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Bumiputera dan
sistem pendidikan
a la Belanda. Sistem pendidikan Bumiputera dikenal dengan pesantren dan madrasah sedang sistem pendidikan
a la Belanda disebut dengan sekolah.
Kontak Islam dengan penduduk Nusantara sejak awal abad pertama
hijriyah dan keberhasilannya melakukan Islamisasi nyaris di seluruh
kepulauan Nusantara menjadikan madrasah sebagai sistem pendidikan asli
penduduk negeri ini. Berbeda dengan sistem pendidikan sekolah yang hadir
belakangan, karena pendiriannya ditenggarai untuk menciptakan agen-agen
penjajah. Hal itu dilakukan pemerintah penjajah Belanda berangkat dari
kekhawatiran akan kehilangan tanah jajahannya,
dimana perlawanan terhadap pemerintah penjajah Belanda semakin menguat
dilakukan oleh penduduk-penduduk Nusantara di berbagai daerah. Sehingga
sekolah, pada awalnya, hanya diperuntukkan bagi sebagian kecil penduduk
pribumi yang memiliki akses terhadap pemerintah penjajah Belanda.
Kemudian berkembang untuk menciptakan tenaga-tenaga rendahan, seperti
mandor dan juru tulis guna memenuhi kebutuhan kapitalisme penjajah.
Mendiskusikan madrasah tentu tidak dapat dilepaskan dengan konsep
pendidikan Islam, sejarah madrasah, dan pasang surut politik Islam di
Indonesia. Karena madrasah orisinil lahir dari peradaban Islam yang
sangat berbeda dengan peradaban-peradaban lain di berbagai belahan
dunia. Adapun politik merupakan salah satu isu yang penting yang melanda
umat muslim Indonesia hingga saat ini, dimana sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk berpolitik,dan Islam tidak malu-malu untuk menegaskan bahwa ia tidak mengenal dikotomi antara dunia dan akhirat, agama dan negara, dan ilmu agama dengan ilmu umum.
Ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam Komprehensif
Berbicara konsep pendidikan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai konsep manusia dalam Islam,
worldview (pandangan hidup) Islam dan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer (
Islamization of contemporary khowledge).
Ketika manusia memahami kehadirannya di muka bumi bukan karena kehendak
ilahi alias oleh karena faktor kebetulan semata, berarti ia telah
menafikan kekhalifahan manusia di muka bumi, maka konsekwensi logis dari
itu adalah pandangan akan kehampaan dunia dari
causality.
Begitu pula ketika pandangan hidup Islam dilepaskan dalam kajian
pendidikan Islam maka konsep itu akan menjadi hambar dan tak terarah.
Selanjutnya, pembicaraan mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer merupakan keniscayaan mengingat ia merupakan bahan kajian
dalam dunia pendidikan yang terus berkembang dan meniscayakan
kontaminasi dengan pandangan hidup magis, sekuler, atau pemahaman Barat (
western interpretation) yang bertentangan dengan Islam.
Ada tiga konsep pendidikan Islam yang populer yaitu Ta’lim, Tarbiyah
dan Ta’dib. Adalah Tarbiyah yang merupakan konsep pendidikan Islam yang
paling populer. Ahmad Syalabi dalam menulis buku tentang sejarah
pendidikan Islam ia menggunakan
al Tarbiyah al Islamiyah (lengkapnya:
Tarikh al Tarbiyah al Islamiyah) sebagai pendidikan Islam. Asma Hasan Fahmi juga tidak berbeda dalam mengungkapkan pendidikan Islam dengan
al Tarbiyah al Islamiyah
ketika ia menjelaskan dasar-dasar pendidikan Islam. Abdurrahman al
Nahlawi juga tidak berbeda dalam menjelaskan prinsip-prinsip dan metode
pendidikan Islam, ia menggunakan istilah al Tarbiyah al Islamiyah
sebagai pendidikan Islam. Begitu juga Mushthofa Amin menggunakan Tarbiyah sebagai konsep
pendidikan dalam menjelaskan sejarah pendidikan mulai Mesir kuno,
Yunani, Islam dan Barat.
Ta’lim juga lebih akrab di telinga kebanyakan orang sebagai
pendidikan Islam setelah tarbiyah. Di Indonesia, misalnya, banyak
berdiri lembaga pendidikan seperti Madrasah Mu’allimin Wusta dan Ulya
(NU, 1356/1938), Madrasah Mu’allimin/Mu’allimat Muhammadiyah (1932),
Darul Muta’allimin (Bandung, 1920) dan Kulliyat al Muallimin al
Islamiyyah (Gontor, 1936).
yang diperuntukkan lulusannya sebagai pendidik-pendidik muslim. Juga
banyak berdiri Majlis Ta’lim sebagai sarana pendidikan Islam.
Adalah Ta’dib yang muncul atau populer pada masa belakangan atau
kontemporer sebagai gagasan pendidikan Islam, dimana secara praktek
sudah dilakukan pada masa zaman dinasti Umayyah dan Usmaniyah ketika
memberikan pendidikan Islam untuk anak-anak raja, sultan, menteri,
pemimpin militer, kaum terpelajar dan juga keluarga yang kaya. Dan
terminologi ta’dib sebagai pendidikan juga sudah dipakai oleh
tokoh-tokoh sufi yang secara tipikal menonjol dalam pengembangan pribadi
Islam melalui pengembangan indera, akal dan moral.
Syed Naquib al Attas, penggagas ta’dib sebagai konsep pendidikan
Islam di era kontemporer, menolak peristilahan Ta’lim atau Tarbiyah atau
keduanya sebagai pendidikan Islam. Menurutnya, ta’dib sudah mencakup
unsur-unsur ilmu, instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik
(tarbiyah). Sehingga menurutnya ta’dib merupakan gagasan pendidikan yang tepat dan
komprehensif dalam Islam. Meskipun kata ta’dib tidak terdapat dalam al
Qur’an namun kata itu dapat ditemukan dalam hadits Nabi yang berbunyi:
Tuhan telah mendidikku(addabani) maka sangat baiklah mutu pendidikanku.
Argumen ta’dib sebagai tipikal pendidikan Islam yang pas, tepat dan
komprehensif juga didukung oleh karena tarbiyah hanya berkaitan dengan
pengembangan fisikal dan emosional dari pada manusia. Sedang ta’lim
hanya terbatas pengajaran dan pendidikan kognitif. Sedang pendidikan
Islam yang terkandung dalam konteks ta’dib adalah ”pengenalan dan
pengakuan-yang ditanam secara progresif dalam diri manusia- tentang
tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam susunan penciptaan,
yang membimbing seseorang kepada pengenalan dan pengakuan terhadap
keberadaan Tuhan dalam susun being dan eksistensi”.Dengan demikian ta’dib berbeda dengan keduanya meskipun telah mencakup keduanya.
Jadi jelaslah bahwa pendidikan Islam adalah bukan pelatihan,
pengajaran atau pendidikan yang menitik beratkan pada pelatihan pelajar
untuk berbagai profesi bukan untuk pendidikan mereka. Dan juga bukan
menilai manusia dengan melihat fungsinya saja akan tetapi menilai
manusia secara seutuhnya. Oleh karena itu para ulama berpemikiran bahwa
”manusia yang baik”, ”manusia yang sejati”, ”manusia yang paripurna”, ”berkepribadian muslim”, ”manusia berakhlak sempurna”,
”mengingatkan kembali kepada setiap manusia akan ikrarnya kepada Tuhan,
di setiap shalatnya agar ia memenuhi janji hingga ia dipanggil Tuhan”, ”insan yang baik”, dan ”pribadi muslim yang sejati” sebagai tujuan dari pendidikan Islam.
Kepentingan menggulirkan konsep mana yang tepat dalam pendidikan
Islam, menurut penulis, tidak lain oleh karena pandangan bahwa ”bahasa,
pemikiran, dan rasionalitas amat berkaitan dan saling bergantung dalam
membayangkan
worldview atau visi hakikat (
reality)
kepada manusia” dan itu telah dibuktikan oleh al Qur’an ketika
diturunkan kepada orang Arab dimana yang pertama dilakukannya adalah
melakukan islamisasi bahasa, yakni bahasa Arab.
Sekilas tentang Sejarah Perkembangan Madrasah
Kehadiran lembaga pendidikan Islam di Nusantara tidak lama berselang
setelah masuk dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi diperkuat
oleh lembaga pendidikan sebagai medianya.
Madrasah tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian dari pembaruan
pendidikan sistem pendidikan sebelumnya, seperti maktab,
kuttâb, istana, kedai buku,
shuffah,
halaqah, masjid,
khân,
ribâth, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di Indonesia madrasah ia merupakan bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan masjid, pesantren, meunasah, rangkang, dayah, dayah teuku cik dan surau.
Baik masjid, pesantren, surau, dayah, rangkang dan meunasah tidak
memiliki perbedaan yang berarti sebagai sebuah sistem pendidikan.
Perbedaannya adalah keragaman, kekayaan dan elastisitas pendidikan
Islam. Islam nyaris menjadikan pranata-pranata di Nusantara yang telah
berlaku di komunitas setempat sebagai basis penyiaran Islam, agar dapat
dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat, yang kemudian
diislamisasikan.
Mahmud Yunus mencatat bahwa kemunculan madrasah di Indonesia pertama
kali di Sumatera pada tahun 1909. Maka kemunculan madrasah di awal abad
20 disebut sebagai awal pembaruan sistem pendidikan Islam. Dimana
pendidikan pra madrasah tidak mengenal sistem klasikal dengan meja,
bangku dan papan tulis sebagai sarana pembelajaran. Abdul Hafizh Dasuki
membedakan madrasah dengan pesantren, menurutnya madrasah lebih maju
dalam pendidikannya disamping mengajarkan ilmu-ilmu umum.Kesimpulan Abdul Hafizh Dasuki tersebut amat simplistik, sebab pesantren memiliki varian yang beragam.Meskipun demikian, pesantren dan madrasah memiliki kesamaan yang mendasar, yaitu sama-sama mengajarkan ilmu-ilmu Islamdan kehadiran madrasah merupakan akibat penyesuaian dengan pesantren.
Adalah Adabiah School yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada
tahun 1909 sebagai madrasah pertama. Adabiah School sebagai madrasah
betahan hingga tahun 1914, kemudian berubah menjadi H.I.S Adabiah pada
tahun 1915 dimana pelajaran agama hanya sebagai pelengkap dalam
pembelajaran di H.I.S. Dengan demikian H.I.S Adabiah merupakan H.I.S
pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran agama Islam bagi para
peserta didiknya.
Pada tahun yang sama, Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madras School di
Batusangkar, namun madrasah ini tidak bertahan lama. Tepat pada tahun
1913 Madras School ditutup karena alasan keterbatasan tempat, akan
tetapi Mahmud Yunus membangun kembali Madrasah ini pada tahun 1923
dengan nama Diniah School dan diganti kembali namanya dengan Al Jami’ah
Islamiah pada tahun 1931. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1915
Zainuddin Labai al Junusi mendirikan Diniah School di Padangpanjang,
dimana madrasah ini mendapat sambutan yang hangat di kalangan masyarakat
Minangkabau dan Indonesia.
Tidak ketinggalan, pulau Jawa pun mengikuti pembaharuan lembaga
pendidikan Islam yang telah dilakukan di tanah Minang. KH Hasyim
Asy’ari, misalnya, pada tahun 1916 mendirikan Madrasah Salafiah dalam
pesantren salafiah yang ia dirikan juga di Tebuireng dengan sistem
klasikal.
Akan tetapi madrasah di Jakarta merupakan madrasah pertama di pulau
Jawa yang didirikan oleh Al Jami’at al Khairiyah, sebuah organisasi yang
sangat memperhatikan bidang pendidikan mulai dari pendiriannya pada
tahun 1905. Madrasah yang didirikan organisasi ini tidak hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama saja melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti
berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Meskipun mayoritas anggota organisasi
ini keturunan Arab, bahasa Melayu tetap menjadi bahasa pengantar dalam
kegiatan belajar mengajarnya. Karena madrasah ini tidak hanya
diperuntukkan untuk anak-anak keturunan Arab melainkan juga anak-anak
asli pribumi.
Para pengajarnya pun didatangkan dari daerah-daerah Indonesia
disamping dari Arab. Haji Muhammad Mansur merupakan pengajar yang
didatangkan dari Padang pada tahun 1907 karena keahliannya dalam
ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Melayu. Mulai tahun 1911 organisasi ini
mendatangkan pengajar-pengajar dari negeri-negeri Arab, seperti Al
Hasyimi dari Tunis, Syekh Ahmad Surkati dari Sudan, Syekh Taib dari
Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah.
Dua tahun berikutnya, yakni tahun 1913 organisasi ini mendatangkan lagi
guru-guru lulusan Al Azhar, antara lain Abdul Fadal Ansari, Muhammad
Noor al Ansari, Hasan Hamid al Antasari dan Ahmad al Awif.
Pada tahun 1915 berdiri pula madrasah di Jakarta atas prakarsa Al
Irsyad, dimana para pengajar awalnya mengajar di madrasah yang didirikan
oleh Jami’at Khair. Tidak ketinggalan, pada tahun 1916 Perserikatan
Ulama mendirikan madrasah di Tanah Sunda dengan nama Jam’iyat I’anat al
Muta’allimin dengan KH Halim sebagai pendirinya sekaligus sebagai
direkturnya.
Tidak ketinggalan Muhammadiyah, organisasi yang berdiri pada tahun
1912, sangat meperhatikan lembaga pendidikan dalam pergerakkannya. Sejak
berdirinya, organisasi ini telah mendirikan madrasah-madrasah baik di
kota dimana organisasi ini dicetuskan dan diresmikan maupun di seluruh
kepulauan Indonesia. Tidak mengherankan jika terdapat madrasah-madrasah
Muhammadiyah yang historis dan memiliki kontribusi dalam perjalanan
bangsa Indonesia, madrasah tersebut antara lain: Kweekschool
Muhammadiyah, Mu’allimin Muhammadiyah, Muallimat Muhammadiyah, Zu’ama’
dan Za’imat, Kulliyah Muballighin dan Muballighat, Tablighschool dan
H.I.K Muhammadiyah.
Sampai tahun 2008 jumlah madrasah (MI, MTs dan MA) di seluruh
Indonesia mencapai 39.469 dengan jumlah siswa 6.073.578 yang terdiri
dari siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Adapun jumlah madrasah diniyah tahun 2007-2008 sebanyak 37.102 dan
pesantren berjumlah 21.521. Berdasarkan tipe pesantren, terdapat
sejumlah 8.001 pesantren Salafiyah, 3.881 pesantren modern dan 9.639
pesantren kombinasi. Sedang lokasi madrasah diniyah 8.485 berada di
dalam pesantren dan 28.617 bertempat di luar pesantren. Mengenai jumlah
santri pondok pesantren, lebih dari setengah jumlah siswa madrasah,
yakni 3.818.469 yang terdiri 2.063.954 santri laki-laki dan 1.754.515
santri perempuan. Sedangkan jumlah siswa madrasah diniyah adalah
3.557.713 yang terdiri dari 3.237.037 siswa madrasah diniyah tingkat
Ula, 253.435 siswa diniyah tingkat Wustha dan 67.241 siswa madrasah
diniyah tingkat Ulya.
Bertolak dari pembahasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa
madrasah merupakan hasil perjalanan keilmuan dan pendidikan yang amat
panjang di Nusantara bahkan di berbagai belahan dunia yang didiami oleh
kaum muslimin. Meski demikian, peran masjid ataupun lembaga pendidikan
Islam tradisional tetap berjalan dan berkembang meski tidak menjadi
trend ataupun
mainstream sistem pendidikan.
Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia
Tidak dapat dinafikan bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan maktab,
kuttâb, istana, kedai buku,
shuffah,
halaqah, masjid,
khân,
ribâth,
toko buku, perpustakaan sampai dengan madrasah dalam mengokohkan
kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain
sisi, ketergantungan kepada bantuan para penguasa secara ekonomis,
membuat lembaga-lembaga tersebut mesti sejalan dengan nuansa politik
yang berlaku. Dalam sejarah Islam Asia Tenggara, pendidikan pernah menjadi legitimasi kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Begitu pula sebelum kedatangan Islam pendidikan dan politik memainkan
perananan penting dalam melanggengkan kekuasaan Majapahit sebagai
representasi kekuatan politik Hindu dan Sriwijaya sebagai representasi
kekuasaan politik Budha. Bahkan, tanpa otoritas politik, syariat Islam
mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan merupakan sarana untuk memperkuat
dakwah Islam, sedang pendidikan cara untuk menyadarkan umat untuk
menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan.
Ada korelasi penting antara keduanya, jika politik berfungsi mengayomi
dari atas maka pendidikan melakukan perbaikan lewat arus bawah.
Michael Foucault dalam
Power and Knowledge menegaskan bahwa
pesoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak hanya
terdapat dalam ruang kelas dan lingkungan pagar sekolah, melainkan juga
di pusat-pusat kekuasaan, seperti gedung palemen dan birokrasi. Dalam buku yang lain ia juga membenarkan akan pengaruh politik dalam
pembentukkan kurikulum sebagai justifikasi ilmiah guna melanggengkan
setiap kekuasaan. Ia berpandangan bahwa kekuasaan politik selalu
terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.
Penyelenggara kekuasaan, menurutnya, selalu memproduksi pengetahuan
sebagai basis dari kekuasaannya. Pendek kata, politik dan pendidikan selalu berkelindan.
a Politik Etis Belanda
Pada awal abad ke-17 Belanda sudah menguasai jajahan Potugis di
Nusantara secara bertahap, kemudian mereka makin memperluas pengaruhnya.
Sekolah yang pertama kali dibangun di daerah jajahannya diperuntukkan
bagi kalangan misionaris dan merupakan pendidikan formal yang sangat
eksklusif, yakni hanya terbatas pada kaum elit Kristiani saja.
Suhu perpolitikan yang terus berubah menjadikan pemerintah penjajah
Belanda mesti sedikit arif dalam menentukkan kebijakan di bumi
jajahannya demi keberlangsungan kekuasaan agar tidak lenyap dari
genggamannya. Semakin menguatnya perlawanan masyarakat pribumi lewat
jalur kultural serta jaringan keislaman Nusantara yang meluas ke
berbagai negeri muslim membuat Belanda harus merubah citra dan gaya
kepenjajahannya di negeri ini meski masih dapat ditemukan kebijakan
ektremis seperti dalam upaya teror dalam peraturan haji bagi umat muslim Nusantara dan ordonasi guru agama Islam.
Juga dipengaruhi oleh perubahan sistem politik di negeri Belanda
menjadi parlementer dan pengambil alihan jajahan dari VOC kepada
Pemerintah Kerajaan Belanda.
Tujuan dan ungkapan yang terkesan akan ada upaya penghargaan terhadap
penduduk pribumi ternyata tidak seindah yang diucapkan. Tetap saja
diskriminasi pendidikan terjadi di sekolah-sekolah Belanda, malah
pemerintah penjajah Belanda semakin khawatir akan kehilangan tanah
jajahannya.
Memang benar jika sejak perubahan ketatanegaraan di negeri belanda,
dengan terbentuknya parlemen mulai berdiri sekolah-sekolah dimana mereka
anggap sebagai kompensasi atas penjajahan yang terjadi di negeri
kepulauan ini oleh mereka.
Namun, tetap saja wajah asli penjajah makin nampak dalam pelaksanaan
kebijakan ini. Bukan pencerdasan yang terjadi di sekolah-sekolah mereka
dirikan alih-alih hanya ditujukan untuk pemenuhan pegawai rendahan di
berbagai sektor pemerintahan penjajah Belanda demi keberlangsungannya di
Nusantara. Perhatian penjajah Belanda akan pengajaran dan pendidikan
untuk rakyat bumiputera dengan semakin bertambahnya pendirian
sekolah-sekolah dilatarbelakangi oleh karena semakin luas
perusahaan-perusahaan mereka yang membutuhkan tenaga-tenaga rendahan,
seperti mandor dan juru tulis.
Langkah awal peningkatan pendidikan di daerah jajahan mulai
ditetapkan pada bulan September 1848. Sebesar 2.5000 golden dianggarkan
untuk dialokasikan pada pembangunan sekolah-sekolah di Nusantara dengan
tujuan pemenuhan tenaga admistrasi dalam pemerintahan penjajah Belanda.
Maka setelah tahun 1850 banyak sekolah-sekolah didirikan di pulau Jawa.
Latarbelakang pemerintah penjajah Belanda mendirikan sekolah-sekolah
itu bukanlah untuk memenuhi kebutuhan rakyat di pulau Jawa akan
pendidikan, melainkan untuk melatih beberapa orang bagi dinas pemerintah
penjajah Belanda. Seperti sekolah kelas I dengan masa belajar mencapai 5
tahun yang dipruntukkan bagi anak-anak pegawai pamongpraja. Adapun mata
pelajaran yang diberikan adalah: membaca, menulis, berhitung,
menggambar, menyanyi, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, ilmu
alam, dan bahasa Jawa dan Melayu. Sekolah-sekolah kelas I mempunyai
sifat sebagai pendidikan calon pegawai. Ini terbukti adanya mata
pelajaran yang tidak pernah ada di sekolah rendah, yaitu mengukur tanah.
Mata pelajaran ini diberikan karena kebutuhan pemerintah penjajah untuk
melaksanakan tanaman paksa, yaitu pada waktu pembagian sawah.
Pengajaran ini terbatas dan hanya mengenai luas segi tetapi padanya
diadakan praktek juga di lapangan. Mengenai menggambar diajarkan
menggambar peta tanah. Mengenai pelajran berhitung harus diberikan
perhitungan tentang pajak tanah, dan perhitungan tentang admistrasi
kopi. Pernah ada pengajaran pertanian namun tidak untuk mempertinggi
pertanian rakyat, jadi bukan untuk kemakmuran melainkan untuk memiliki
pengetahuan yang diperlukan oleh pegawai pemerintah, jadi terbatas hanya
pengetahuan dari buku dan tidak ada praktek.
Berdasarkan kenyataan itu maka dapat disimpulkan, bahwa tujuan
pendidikan dan pengajaran pada waktu itu hanya diarahkan untuk
pendidikan pegawai dan tragisnya pegawai rendahan. Pendidikan dan
pengajaran diselenggarakan tidak untuk kecerdasan dan kemajuan rakyat,
tetapi hanya untuk memenuhi kepentingan penjajah akan pegawai rendahan.
Perhatian pemerintah Belanda terhadap pendidikan dan pengajaran bagi
anak-anak pribumi yang makin bertambah oleh karena perluasan
perusahaan-perusahaan, yang memerlukan juga tenaga-tenaga rendahan, yang
dapat membaca dan menulis seperti mador dan juru tulis. Pada akhir abad
ke 19 didirikan sekolah kelas 2 yang lamanya 4 tahun dan ditempatkan di
kota-kota kabupaten, jadi kota-kota kecil. Mudah dimengerti bahwa
pengajaran di sekolah ini lebih sederhana dan lebih rendah dari pada
sekolah kelas I. Pelajaran berputar sekitar membaca, menulis dan
berhitung, dan sedikit bahasa daerah dan bahasa melayu. Bahasa pengantar
adalah bahasa daerah. Sekolah macam ini disajikan bagi rakyat umum,
jadi tidak dibatasi dengan ukuran kepegawaian.
Selain itu, sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda antara lain:
- Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), berdiri tahun 1851 di Bandung.
- Sekolah Guru, berdiri tahun 1856 di Surakarta dan Bukit Tinggi.
- Sekolah Kepemimpinan (Chiefs School), berdiri tahun 1878 di Bandung,
Magelang dan Probolinggo. Kemudian mengalami perubahan nama menjadi
OSVIA (Opleidings-School voor Inlandsche Ambternaren) pada tahun 1893.
- HIK (Holansch-Inlandsche Kweekschool), berdiri tahun 1912
- HCK (Holansch-Chineesche Kweekschool), berdiri tahun 1915
- MULO (Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs) dan AMS (Algemene Middelbare School), berdiri tahun 1914.
- Sekolah Teknologi, berdiri tahun 1920 di Bandung.
- Sekolah Hukum, berdiri tahun 1924 di Batavia.
Susunan pendidikan yang didirikan Belanda bertujuan memecah belah
generasi muda Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia lapisan atas dididik
dan diberi pengajaran secara Barat dan didekatkan dengan jiwa Barat dari
umur 5 tahun hingga 25 tahun.
Maka wajar saja ketika terjadi “kekosongan” pemerintahan pada waktu
Indonesia baru merdeka, pemuda yang dahulu dididik dengan sistem Belanda
mengisi kekosongan tersebut lalu menerapkan pengalamannya untuk menjadi
pijakan sistem pendidikan nasional Indonesia.
Sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah Belanda
di Indonesia berangkat dari pengalaman dan kepentingan Belanda sendiri
dan bukan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia. Maka wajar jika Belanda
begitu cepat dilumpuhkan oleh tentara Jepang akibat sistem penjajahan
Belanda lebih dititik beratkan pada ekonomi politik, tidak terkecuali
dalam sistem pendidikan, yang merupakan suatu pemerasan, penghisapan dan
penindasan terhadap rakyat. Kesemuanya itu menimbulkan antipati rakyat
Indonesia dan tidak acuh terhadap Belanda ketika menghadapi invasi
tentara Jepang. Akibatnya, keruntuhan Hindia Belanda di Indonesia
terjadi secara singkat tidak dapat terelakkan.
Keberhasilan penjajah Belanda dalam memperkenalkan dan menerapkan
sistem pendidikan sekularistik dan diskriminatif di Indonesia memang
sulit untuk dinafikan. Setidaknya, kedua paradigma tersebut, meski
penjajah sudah hengkang dari NKRI, masih dianut oleh pemerintah RI tidak
kurang dari 8 windu, sehingga menimbulkan polemik yang cukup lama di
antara para praktisi pendidikan dan penentu kebijakan.
b Masa Penjajahan Jepang
Tepat pada bulan Februari 1942 tentara Jepang menguasai Selatan dan
dalam beberapa bulan berikutnya mereka dapat menduduki pulau Jawa.
Dengan direbutnya dua wilayah tersebut makin mempersempit daerah jajahan
Belanda di Nusantara. Akhirnya Belanda pun menyerah. Sikap anti
penjajah Belanda yang semakin menguat di Indonesia pada awal abad 20
menjadi kesempatan baik bagi Jepang untuk merajut kerjasama dengan pihak
pribumi, sehingga angkatan perang Belanda dengan begitu cepat dapat
ditaklukkan oleh tentara Jepang.
Kerjasama kedua belah pihak dalam urusan peperangan dimulai pada April
1942 dan pada bulan dan tahun yang sama Putera Tenaga Rakyat pun
dibentuk, dimana dipimpin oleh 4 orang tokoh, antara lain: Soekarno,
Mohd Hatta, Ki Hadjar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansur. Kepemimpinan
mereka diakui sebagai kepemimpinan yang representatif karena terdapat
tokoh dari golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Ki Hadjar
Dewantoro merupakan tokoh pendiri Taman Siswa dan tokoh pendidikan
nasional kemudian diangkat menjabat Administrasi Militer sebagai
Penasehat divisi Pendidikan.
Bagaimanapun Jepang tetap memperlakukan pribumi sebagai rakyat
jajahannya dan mereka sangat berhati-hati dalam menentukkan kebijakan,
seperti dalam hal pendidikan. Kewaspadaan itu bertolak dari pengalaman
Jepang dari dua wilayah yang pernah ia jajah, yaitu Manchuria dan Cina
bagian Utara. Oleh sebab itu, pendidikan di masa penjajahan Jepang
berada dalam pengawasan Administrasi Militer dengan memasukkan
kebudayaan dan pendidikan Indonesia di bawah naungannya sebagai
penasehat.
Jepang terus melakukan kebijakan yang bertolak belakang dengan
Belanda untuk mengambil simpati dan hati rakyat Indonesia. Pelajaran
agama yang tidak diadakan pada masa penjajahan Belanda mulai menjadi
pelajaran di sekolah-sekolah.
Sedang sekolah-sekolah yang pernah ditutup dan tidak diizinkan
beroperasi oleh Belanda dibuka kembali dan diizinkan untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan pada masa ini. Walaupun demikian, masih saja
penjajahan budaya dan kepentingan dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia
dengan memasukkan pelajaran bahasa Jepang dan keterampilan militer.
Untuk bahasa Belanda dihapuskan, sedang bahasa asing yang diperbolehkan
adalah bahasa Inggris dan Jerman.
Taman Siswa adalah salah satu sekolah yang ditutup pada masa
penjajahan Belanda. Meski tidak mendapat perhatian yang spesial dari
penjajah Jepang, setidaknya ia dapat dibuka kembali dan berkembang
dengan mendirikan sekolah tingkat lanjutannya. Di sini pula pelajaran
bahasa Jepang dan keterampilan militer tidak terelakkan. Bahasa Jepang
diajarkan agar para rakyat dapat memahami kehendak penjajah dan
keterampilan militer agar dapat memenuhi perintah itu. Sejarah mencatat,
di tahun-tahun ini merupakan masa paling produktif Jepang dalam
melakukan pertempuran. Sehingga wajar ia dapat pula memporak-porandakan
Pearl Harbour dan menguasai perairan Pasifik.
Tidak hanya sekolah saja yang dibuka dan diizinkan untuk melakukan
kegiatan pendidikan, pesantren dan madrasah juga diberikan keluasan
untuk bergerak dalam bidang ini secara penuh. Tidak ada interfensi
Jepang dalam hal pengajaran agama di kedua lembaga ini. Para guru agama
diorganisasikan di bawah organisasi Persatuan Guru Islam Indonesia di
bawah naungan Kantor Urusan Agama. Untuk mendapat dukungan dari kalangan
umat muslim, penjajah Jepang lewat Administrasi Militer tidak
segan-segan mengundang para Kyai dan Ulama sepulau Jawa di Jakarta untuk
diberikan pelatihan. Satu tahun sebelum Indonesia merdeka, yakni tahun
1944, Kantor Urusan Agama sempat mengadakan pelatihan dan rancangan
kurikulum dan metode pembelajaran bagi para pimpinan pesantren sepulau
Jawa di Jakarta. Untuk kesekian kalinya Jepang berusaha mengambil
simpati dari rakyat Indonesia terutama umat muslim dengan memuji
pertemuan tersebut dan mengupayakan akan diikutsertakannya para guru
pesantren dalam setiap pelatihan-pelatihan selanjutnya.
Nampak jelas kehadiran Jepang memiliki dampak berbeda sekaligus sama
dengan penjajah sebelumnya. Berbeda, karena ia menghapuskan diskriminasi
pendidikan yang sudah ditanam oleh Belanda. Sedang kesamaannya terletak
pada pemenuhan kebutuhan perang yang semakin mendesak bukan untuk
membantu memerdekaan bangsa Indonesia.
c Orde Lama
Ketika Indonesia baru merdeka terjadi keterkejutan dalam segala
dimensi kehidupan rakyat dan pemerintahan Indonesia, termasuk pendidikan
di Indonesia. Pendidikan Indonesia mengalami masa transisi di tahun
1945-1950 pra diterbitkannya Undang-undang tentang Pendidikan Nasional.
Belum dapat dipastikan sistem pendidikan mana yang akan menjadi sistem
pendidikan Nasional kala itu. Bahkan UUD 45 dibuat dalam keadaan serba terjepit sehingga menyisakan kontroversi dan penyimpangan pada masa Orde Baru.
Terjadi perdebatan alot diantara kaum cendikia, pelaku dan pemerhati
pendidikan serta penentu kebijakan di saat itu. Sebagian mereka ada yang
ingin melanjutkan sistem pendidikan yang telah diperkenalkan dan
diberlakukan oleh penjajah Belanda, namun ada juga yang ingin menjadikan
sistem pendidikan Bumiputera menjadi cikal bakal pendidikan Indonesia
ke depan.
Arus yang kuat akan menjadikan sistem sekolah menjadi sistem
pendidikan nasional meminggirkan sistem pendidikan bumiputra. Pengesahan
undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1950 merupakan kekalahan
telak dan terlembaga para nasionalis Islam dalam memperjuangkan sistem
pendidikan bumiputera. Alasan klasik selalu dijadikan alasan untuk tidak
menerima madrasah dan pesantren sebagai sistem pendidikan Nasional,
seperti metode pembelajaran, kurikulum, buku rujukan, sarana belajar,
manajemen yang
amburadul sampai dengan huruf yang digunakan.
Tidak hanya keabsenan kata madrasah dan pesantren dalam Undang-undang
tersebut melainkan juga pelajaran agama di sekolah cenderung
disepelekan. Hal itu juga pernah terjadi di zaman pemerintah penjajah
Belanda yang diakuinya sebagai sikap netral. Padahal pada kenyataannya
sikap netral Belanda tidak pernah terjadi. Justifikasi sikap netralnya
tidak lain hanya
akal bulus mereka untuk menjauhkan Islam dari
penganutnya, dimana Islam memang selalu menjadi batu ganjalan dalam
setiap derap kebijakan mereka dan memang sifat dasar Islam yang sangat
anti penjajahan.
Ketiadaan kata madrasah dalam UU sisdiknas tahun 1950 merupakan
diskriminasi pendidikan babak baru pasca kemerdekaan Indonesia. Padahal
telah menjadi kewajiban negera untuk memberikan pendidikan bagi
rakyatnya dan adalah hak rakyat untuk mendapatkannya. Namun lagi-lagi
dalam UUD 45 termaktub kata-kata ”
diatur dengan undang-undang”
yang menunjukkan kepada UU Sidiknas 1950. Akibatnya, madrasah tidak
memiliki payung hukum sebagai perlindungan baginya dan untuk pertama
kalinya ia berdiri tanpa bantuan pemerintah Indonesia yang merdeka.
Padahal di awal kemerdekaan, yakni pada tanggal 22 Desember 1945,
pemerintah begitu lewat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BPKNIP) menganjurkan dalam maklumatnya untuk
”…. memajukan
pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangya diusahakan agar pengajaran
di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan”.
Beberapa hari kemudian, yakni tertanggal 27 Desember 1945, BPKNIP
menyarankan agar madrasah dan pesantren mendapatkan perhatian dan
bantuan materil dari pemerintah, karena madrasah dan pesantren merupakan
sistem pendidikan bumiputera yang pro tehadap pencerdasan rakyat
jelata.
Perhatian itu kemudian bertambah ketika kementerian agama berdiri pada
tanggal 3 Januari 1946. Dimana di dalamnya terdapat bagian yang
mengurusi masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan umum
di madrasah dan pesantren. Maka ketika KH. Wahid Hasyim ketika menjabat
Menteri Agama tahun 1949-1952 mengupayakan integrasi dualisme sistem
pendidikan di Indonesia dengan memasukan tujuh mata pelajaran umum di
lingkungan madrasah, yakni pelajaran baca-tulis Latin, berhitung, bahasa
Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olahraga. Menanggapi usaha integrasi ilmu di madrasah dan pesantren yang
dilakukan KH. Wahid Hasyim, Karel A. Steenbrink menduga bahwa
langkah-langkah tersebut terinspirasi oleh upaya ayahnya, KH. Hasyim
Asy’ari, ketika melakukan pembaruan pendidikan di madrasah Salafiyah.
Keunikan, untuk menyebutnya sebagai sebuah keanehan, yang terjadi
adalah bagaimana perhatian yang begitu menggeliat di awal kemerdekaan
hilang begitu saja dengan disahkannya Undang-undang pendidikan nasional
tahun 1950 yang merupakan UU pendidikan nasional pertama. Pasang surut
Islam di Indonesia memang kerap terjadi. Menurut Deliar Noer, Islam
pasang pada permulaan fase-fase baru dalam sejarah politik Indonesia,
seperti masa penjajahan Belanda di awal abad 20, zaman Jepang, zaman
demokrasi parlementer dan Orde Baru, ia pasang untuk kemudian surut.
Kecuali pada era revolusi politik Islam terlihat konstan.
Implikasi dari UU pendidikan tersebut menjadikan madrasah bukan
sebagai sistem pendidikan nasional melainkan lembaga pendidikan di bawah
Menteri Agama. Selalu saja alasan klasik dimunculkan untuk meminggirkan
madrasah, yaitu dominasi pelajaran agama, menggunakan kurikulum yang
belum standar, struktur yang tidak seragam dan manajemen yang amburadul.
Madrasah yang dipandang bukan sebagai sistem melainkan sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang berada di bawah Menteri Agama, maka Menteri
Agama membuat Peraturan tahun 1960 tentang bantuan kepada perguruan
agama Islam. Meski bantuan yang diberikan tidak sebanding dengan bantuan
yang diberikan pemerintah untuk sekolah, oleh sebab bantuan untuk
madrasah sekedar hadiah, sokongan dan atau tunjangan.
Setidaknya, peraturan tersebut merupakan bagian dari perjuangan umat
muslim muslim untuk mengembalikan cita-cita sistem pendidikan Islam yang
sempat menggema di awal kemerdekaan Republik Indonesia, yakni madrasah
dan pesantren sebagai cikal bakal sistem pendidikan Nasional.
d Orde Baru
Awal pemerintahan Orde Baru tidak jauh berbeda dengan berdirinya
pemerintahan Orde Lama. Keduanya berangkat dari sebuah tragedi
kemanusian.
Orde Lama berhasil mengambil hati rakyat Indonesia dengan mengeluarkan
mereka dari kesengsaraan akibat penjajah bergilir. Sedang Orde Baru
sukses mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dengan memunculkan musuh
baru rakyat Indonesia, yaitu komunisme yang dimotori oleh Partai Komunis
Indonesia. Kemudian PKI dipropagandakan sebagai momok bagi umat muslim
Indonesia karena mereka atheis dan membunuh para kyai sehingga para umat
Islam pun geram kepada ulah mereka. Uniknya, reaksi keras untuk melawan
PKI baru dimulai setelah para petinggi militer diculik dan dibunuh
setelah terlebih dahulu dianiaya. Tidak ada respon pemerintah yang
signifikan ketika terjadi ”pembersihan” para kyai yang dilakukan PKI
sebelum tragedi 30 September 1965. Dimana cikal bakal pemerintahan Orde Baru menggunakan strategi agama (baca: Islam) untuk melawan PKI yang berideologi atheis.
Resistensi umat Islam semakin kentara ketika Presiden Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, kemudian diperkuat
dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974, yang isinya melemahkan dan
mengalienasi madrasah dari pendidikan nasional. Kehadiran Kepres dan
Inpres tersebut merupakan manuver untuk mengasingkan peran dan
kontribusi madrasah sejak zaman penjajahan. Umat muslim tidak tinggal
diam. Reaksi keras umat muslim disadari oleh pemerintahan Orde Baru.
Yang kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional
terhadap madrasah, yakni melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.
Upaya ini kemudian melahirkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri pada
tanggal 24 Maret 1975 yang disepakati oleh Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. SKB tiga menteri
tahun 1975 menepis kecemasan umat Islam akan terhapusnya madrasah
sebagai sebuah sistem pendidikan.
Kemunculan SKB tiga menteri bukan tanpa masalah. Meski diakui
memiliki kesetaraan antara jenjang pendidikan madrasah dengan sekolah,
tetap saja mesti ada
cost yang harus dibayar oleh madrasah
untuk menebus kesetaraan itu. Komposisi kurikulum madrasah harus sama
dengan sekolah. Wal hasil, mata pelajaran agama terdistorsi porsinya
menjadi 30% dan materi pelajaran umum mendominasi dengan prosentase 70%.
Zakiah Darajat melaporkan SKB tiga Menteri merupakan hasil perjuangan
para kyai dan pendidik muslim dalam melawan ketidakadilan Keputusan
Presiden No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974
yang ingin menyamakan kurikulum madarasah dan pesantren dengan
kurikulum sekolah dan pembinaannya. Tantangan yang keras dari umat
muslim akan Keppres dan Inpres tersebut karena akan mensekularisasi
sistem pendidikan madrasah dan pesantren. Pendek kata, keberadaan
madrasah dan pesantren berubah menjadi lembaga pendidikan umum.
Cita-cita awal pendidikan seratus persen umum dan seratus persen
agama untuk madrasah belum terpenuhi, malah yang terjadi adalah distorsi
ilmu-ilmu agama dalam kurikulumnya. Memang pembaharuan di beberapa negara terkadang mengakibatkan penindasan terhadap pendidikan agama. Karena agama selalu digambarkan sebagai bentuk primitif, fanatisme, terorisme dan radikalisme manusia.
Walhal, pendidikan agama hanya dianggap akan menghambat laju
pembaharuan. Padahal agama merupakan faktor terpenting yang menentukkan
karakterisrik dan kemajuan suatu peradaban. Samuel P. Huntington
mencatat
”Religion is a Central defining characteristic of civilizations”. Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan
“Christian Civilization”. Marvin Perry berujar bahwa Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka.
Syed Naquib Al Attas menegaskan bahwa dalam perjalanan sejarah
peradaban Melayu, kedatangan Islam Islam di wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah Nusantara.
Jadi, merupakan keniscayaan menjadikan pendidikan Islam sebagai
landasan sistem pendidikan nasional untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Sikap anti Orde Baru, dengan Golkar sebagai mesin politiknya, akan
agama (baca: Islam) sangat gencar dilakukan di tahun-tahun 1970 an,
sehingga menjadikan para ulama, cendekiawan dan mahasiswa muslim tidak
tinggal diam untuk melakukan aksi protes terhadap kebijakan-kebijakan
yang menyudutkan umat Islam. Pendidikan Agama sempat akan dihilangkan dari sekolah-sekolah jika
tidak ada protes keras dari anggota sidang pleno di departemen
Pertahanan dan Keamanan. Penolakan keras dua anggota sidang pleno akan
RUU tersebut karena hal itu merupakan perilaku dan sikap yang sangat
naif dan konyol. Padahal pendidikan Agama pada masa PKI masih berkuasa
tetap dipertahankan secara fakultatif di sekolah-sekolah.
Tidak hanya masalah madrasah, pesantren dan pendidikan agama saja yang
akan disekulerkan di masa Orde Baru. Pelarangan jilbab bagi pelajar
muslimah, Undang-undang Perkawinan, Kerukunan Umat Beragama dan Aliran
Kepercayaan juga menjadi sorotan dan target strategis untuk menjauhkan
umat Islam dari agamanya.
Politik Islam di Indonesia selalu mengalami pasang surut. Perubahan
politik pemerintah Orde Baru terhadap Islam baru terjadi pada akhir
tahun 1980 an. Sikap akomodatif pemerintah Orde Baru terhadap aspirasi
umat Islam mulai diberlakukan. Lahirnya undang-undang pendidikan
Nasional no 2 tahun 1989 menjadikan madrasah tidak lagi dianak tirikan
dan menghilangkan perlakuan diskriminasi terhadap madrasah yang sudah 49
tahun menderanya. Madrasah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan
nasional, yaitu bagian dari sistem pendidikan nasional yang
pengelolaannya tetap dilimpahkan kepada Departemen Agama.
Di awal tahun 1990 an orientasi pemerintah Orde Baru ke umat muslim makin menguat dengan susunan anggota MPR yang
ijo royo-royo, pendirian BAZIS, ICMI, Bank Muamalat Indonesia
sampai-sampai pada pencopotan Panglima LB Moerdani sebagai Panglima
ABRI, yang beragama Katolik, dan pengangkatan Faesal Tanjung, seorang
jenderal muslim.
Pada bulan juli tahun 1991, Presiden Suharto beserta Ibu Presiden Siti
Fatimah dan keluarganya melakukan ibadah haji untuk pertama kalinya.
Keberangkatan beliau ke Masjidil Haram merupakan bukti semakin ingin
mendekatnya pemerintah Orde Baru terhadap aspirasi umat Islam Indonesia.
Perubahan orientasi politik dan makin akomodatifnya pemerintah Orde
Baru terhadap aspirasi umat muslim di akhir 1980 an dan awal 1990 an
telah membuat perubahan yang cukup signifikan terhadap perjalanan
politik pendidikan selanjutnya. Kalau boleh berandai-andai, jika badai
reformasi yang secara mendadak melanda Indonesia tidak terjadi, sebuah
keniscayaan aspirasi umat Islam akan semakin menguat dalam pemerintahan
Orde Baru. Namun ironisnya rezim Orde Baru harus ”tutup usia”.
e Era Reformasi
Perjuangan politik Islam dalam bidang pendidikan di Indonesia tidak
berakhir dengan lengsernya pemerintahan Orde Baru. Agenda gerakan
reformasi tahun 1998 menempatkan bidang pendidikan sebagai sasaran
utamanya. Forum rektor yang didirikan 7 November 1998 di Bandung juga
mendeklarasikan mestinya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan.
Walhal, tuntutan tersebut dipenuhi oleh pemerintah dengan disahkan
Undang-undang sisdiknas tanggal 11 juni 2003.
Sistem pendidikan nasional versi UU no. 2 tahun 1989 belum
menempatkan madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Umat Islam masih
merasa tidak puas karena masih saja perasaan memojokan madrasah
ditemukan pada pemerintahan. Terutama madrasah dan pesantren yang
semata-mata mengajarkan pelajaran agama belum terakomodasi dalam
pendidikan nasional dan ini memposisikan keduanya dalam pendidikan non
formal. Wajar saja hal ini masih dirasakan sebagai bentuk diskriminasi
dalam pendidikan. Padahal umat menghendaki pluralitas sistem pendidikan
dan kesetaraan kesempatan (
equal opportunity) bagi madrasah, baik madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam ataupun madrasah dan pesantren yang
pure mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan
an sich.
Undang-undang sistem pendidikan no. 20 tahun 2003 menjawab harapan
umat Islam yang sudah lama didambakan umat Islam. UU yang disahkan pada
tanggal 8 Juli 2003 oleh Presiden RI disertai perdebatan panjang dan
alot. Partai yang mengusung demokrasi bagi Indonesia, yakni Partai
Demokrasi Indonesia, melakukan
walk out akibat penerimaan
kebanyakan anggota sidang di DPR pada saat itu akan Undang-undang ini.
Kemunculan Undang-undang no. 20 tahun 2003 diakui sebagai kemenangan
umat Islam yang spektakuler dalam sejarah perpolitikan pendidikan
Indonesia.
Pendidikan keagamaan dahulu dicemohkan dan dipinggirkan kini
mendapatkan tempat yang layak dalam pasal 30 Undang-undang no. 20 tahun
2003, yaitu pendidikan keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan
Indonesia. Dimana penghargaan ini belum pernah didapatkan sepanjang sejarah
politik pendidikan Indonesia sejak pemberlakuan politik etis sampai
dengan pasca kemerdekaan kecuali sejak disahkannya UU sisdiknas tahun
2003. Maka kesempatan ini mesti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh
lembaga pendidikan keagamaan dalam menata pendidikan untuk masuk ke
dalam bagian pendidikan formal, nonformal dan atau informal. Demikian
juga diberikan keleluasaan untuk menata jenjang dasar sampai ke
pendidikan tinggi, dan atau tidak perlu berjenjang.
Oleh karena itu diperlukan kreatifitas dan imaginasi yang tinggi bagi
para pelaku pendidikan maupun stake holdernya dalam memahami dan
menerapkan Undang-undang no. 20 tahun 2003, agar tidak terjerembab dalam
pemahaman yang sempit, dangkal dan picik, sehingga aplikasi akan
undang-undang tersebut dapat maksimal. Karena sejatinya, kehadiran UU
no. 20 tahun 2003 merupakan revolusi pendidikan nasional yang merubah
sistem dan nilai-nilai pendidikan di tanah air. Demokratisasi,
desentralisasi, peran serta masyarakat, kesetaraan, keseimbangan,
perubahan jalur pendidikan menjadi jalur formal, nonformal dan informal
serta penghargaan terhadap peserta didik dan kuam lemah merupakan bagian
dari substansi paradigma pendidikan nasional.
Amat disayangkan jika ”kebebasan” di era reformasi ini tidak
dimanfaatkan dengan maksimal oleh para praktisi pendidikan dan stake
holder. Husni Rahim tidak jarang mengatakan dalam bukunya maupun di
dalam perkuliahannya pada materi
Perkembangan Kontemporer Pesantren dan Madrasah
di SPs UIN Syarif Hidayatullah untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas pasca disahkannya UUSPN no 20 tahun 2003. Antara lain dengan
melakukan reposisi ke identitas madrasah dan menerapkan fleksibilitas
kurikulum.
Pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi menuju
desentralisasi dan perubahan kurikulum pendidikan menjadi KTSP juga
memiliki dampak positif untuk menjadikan madrasah dan pesantren dapat
beraktualisasi secara maksimal. Dimana pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran sepenuhnya diserahkan kepada para pendidik dan stakeholder
institusi pendidikan. Sedang pemerintah pusat hanya menentukkan standar
minimal dalam setiap tingkatannya.
Paradigma desentralistis dalam bidang pendidikan lebih dahulu
diterapkan di dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Rusia. Adapun
paradigma sentralistis sampai saat masih dianut oleh negara Inggris dan
Jepang. Ide desentralisasi pun akhirnya menggema di Indonesia yang sudah
lama berparadigma sentralistik sejak diberlakukannya politik etis (
etische politiek) di masa penjajahan Belanda. Pergeseran paradigma (
shifting paradigm)
tersebut berangkat dari evalusi pendidikan di Indonesia yang cenderung
menghasilkan nada sumbang dari berbagai pihak. Selain itu, pengaruh
sistem pendidikan Barat (baca: Amerika) juga tidak dapat dipungkiri.
Argumentasinya, paradigma sentralistik dalam bidang pendidikan tidak
akan menghasilkan proses pendidikan yang maksimal, karena pendidikan
merupakan suatu proses yang melibatkan interkasi antara berbagai input
yang ada dan interaksi antara input dan lingkungan. Dengan kata lain,
pendidikan yang bersifat desentralistik dapat mengoptimalkan pendidikan
yang bermutu. Dimana keadaan ini akan memicu kreativitas, improvisasi
dan imaginasi dalam melaksanakan pendidikan.
Upaya pemberlakukan desentralisasi pendidikan tidak steril dari
kritik. Ada yang menyangsikan akan keberhasilan paradigma tersebut jika
diberlakukan, sebab negara kita sudah lama terkungkung dengan instruksi,
juklak dan juknis. Maka proses pelaksanaan desentralisasi pendidikan
membutuhkan waktu yang tidak singkat. Apalagi dalam pelaksanaannya
dibutuhkan orang-orang yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif dan
berjiwa mandiri. Dengan kata lain, paradigma sentralistik yang sudah mengakar di tanah
air tidak menghasilkan orang-orang yang berjiwa kreatif dan imaginatif
yang dapat menjalankan paradigma baru tersebut.
Sejatinya, kesangsian akan paradigma desentralistik dalam pendidikan
akan berjalan mulus tidak perlu ada. Pluralitas sistem pendidikan di
Indonesia yang sudah mengakar perlu menjadi pertimbangan untuk menerima
paradigma tersebut. Sistem pendidikan bumiputra, terutama pesantren
merupakan sistem pendidikan yang mandiri yang tidak mengenal paradigma
sentralistik, sehingga hampir sulit untuk mendeskripsikan pesantren
secara komprehensif dan holistik.
Bahkan karena kemandiriannya, pesantren dan madrasah meski tidak
diuntungkan dalam politik pendidikan Indonesia, kecuali pasca UUSPN
tahun 2003, masih dapat eksis dan berkembang hingga saat ini.
Bertolak dari pembahasan di atas, dunia pendidikan di Indonesia
selalu terpolarisasi oleh nuansa politik. Hal itu jelas dengan peran
lembaga eksekutif dan legislatif menggunakan kekuasaan politik untuk
membuat kebijakan dan menetapkan anggaran pembiayaan pendidikan
nasional.
Arah politik pendidikan di Indonesia sampai dengan tahun 1989 pun tidak
memiliki perbedaan signifikan yang tersurat dalam Undang-undang
pendidikan nasional. Eksklusifisme politik pendidikan Indonesia sedikit
terkurangi setelah disahkan undang-undang sistem pendidikan tahun 1989
yang menyebut sekolah Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Kemapanan sistem pendidikan Islam semakin menguat dengan
diakuinya madrasah sebagai sistem pendidikan nasional dalam
undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003. Meski demikian,
usaha untuk memajukan sistem pendidikan Islam di Indonesia belumlah
usai. Masih banyak identitas dan tradisi keilmuan Islam di Indonesia
yang perlu digali kembali setelah sekian lama sempat terkubur atau
memang sengaja dikubur. Terlalu dini dan naif jika umat muslim merasa
puas dengan status baru yang disandang madrasah saat ini, karena itu
semua diberikan tidak secara cuma-cuma. Pemangkasan ilmu-ilmu keagamaan
dan pengajaran ilmu-ilmu umum yang berlebihan merupakan
cost harus dibayar oleh madrasah untuk mendapatkan status barunya, apalagi masih ada
image
buruk yang beredar di masyarakat awam maupun institusi pemerintah bahwa
madrasah lembaga pendidikan yang tidak prospektif secara duniawi.
Bukti pemangkasan ilmu-ilmu keagamaan dan penghargaan
setinggi-tingginya ilmu-ilmu umum dapat dilihat dari pergerakan
kurikulum madrasah dan pesantren di Indonesia di bawah ini:
Periode
|
Pesantren
dan Madrasah Diniyah
|
Madrasah
|
Sampai 1906 |
Kurikulum tradisional 100% Agama. |
-
|
1906-1945 |
Kurikulum tradisional mandiri 100%. |
Kurikulum mandiri, agama dan umum |
1945-1975 |
Kurikulum mandiri 100% Agama. |
Kurikulum mandiri, 70% agama dan 30% umum. |
1975-1989 |
Kurikulum mandiri 100% agama. |
Kurikulum Depag 70% umum dan 30% agama. |
1989-2003 |
Kurikulum mandiri dan agama masih mendominasi. |
Kurikulum Depag memadukan antara kurikulum umum dan agama. |
2003-sekarang |
Kurikulum mandiri dan mengikutsertakan
pelajaran umum (Matemática, IPA, Bahasa Indonesia, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Seni Budaya). |
Kurikulum Depag 100% umum dan 5 bidang mata pelajaran PAI. |
Nampak jelas sistem pendidikan di Indonesia masih terbelenggu oleh
ilmu-ilmu penjajah dan ideologi sekularistik. Penghargaan yang profan
terhadap ilmu-ilmu keagamaan (
al ’ulum ad diniyyah)
dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap ilmu-ilmu umum (
al ’ulum al kauniyyah) makin menjadi-jadi. Tentu saja yang demikian itu bertolak belakang dengan tradisi keilmuan Islam. Al Ghazali dan ibnu Khaldun berpendapat bahwa kedua ilmu tersebut hukumnya wajib untuk dipelajari. Pertama,
al ’ulum ad diniyyah atau
asy syar’iyyah bersifat
fardhu ’ain sedang kedua,
al ’ulum al kauniyyah bersifat
fardhu kifayah.
Apa yang dilakukan oleh al Ghazali dan Ibnu Khaldun tidak lain adalah
upaya penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan akan validitas
disiplin ilmu yang satu terhadap yang lain, dan keduanya merupakan
disiplin ilmu yang sah. Penjenisan yang mereka lakukan karena mereka
bertolak dari konsep ilmu yang integral dan mereka menemukan landasan
yang menyatukan keduanya. Sebab, Islam tidak mengenal dan menghendaki dikotomi ilmu karena ajarannya bersifat integratif dan tauhidi.
Tidak mengherankan jika Islam di awal kemunculannya hingga beberapa
abad berikutnya atau pada masa klasik dikenal dengan masa keemasan, jauh
meninggalkan Kristen di belakang. Padahal ia lebih dahulu lahir
ketimbang Islam. Islam telah menunjukkan kehebatannya dalam pencapaian
ilmu, baik
al ulum syar’iyyah dan
al ulum al kauniyyah.
Maka wajar jika ilmuan muslim abad pertengahan seperti Mas’udi
mengkritik Kristen sebagaimana wajarnya Marqquis of Dufferin mengakui
akan keberhutangan Eropa terhadap ilmuan-ilmuan muslim atas kebangkitan
dari kegelapan Abad Pertengahan.
Melihat keadaan dunia pendidikan Islam yang makin menjauh dari
khithahnya, Al Attas jauh-jauh hari menegur umat muslim agar tidak silau
dan ikut-ikutan dengan sistem pendidikan Barat yang cenderung
sekularistik dan dikotomistik, teguran itu tertuang dalam sebuah syair
yang berbunyi:
Muslim tergenggam kafir,
Akhirat luput, dunia tercicir,
Budaya jahil luas membanjir,
Banyak yang karam tiada tertaksir,
Barus dan Singkel, Pasai dan Ranir
Silam ditelan masa nan mungkir;
Lupa jawaban dihapal mahir
Bagi menyangkal Munkar dan Nakir.
Penutup
Secara undang-undang, madrasah saat ini sudah berada pada
maqam
(derajat) yang sama dengan sekolah umum. Alumni madrasah dapat
berkompetisi secara luas dengan alumni sekolah, baik dalam dunia kerja
maupun dunia akademik. Perhatian pemerintah dalam hal pendanaan terhadap
madrasah pun sudah mulai membaik, dibandingkan pada masa-masa madrasah
belum menjadi sistem pendidikan nasional, meski tidak sebaik perhatian
pemerintah terhadap sekolah. Namun siapa sangka di balik pencapaian yang
diraih madrasah harus ada
cost yang mesti dilunasi. Madrasah
harus rela memangkas ilmu-ilmu keagamaan demi mendapatkan pengakuan yang
sejajar dengan sekolah. Nampak jelas, madrasah semakin tersekolahkan
baik secara isi maupun tujuan pendidikannya, sebagaimana yang
“diramalkan” oleh Karel A. Steenbrink di awal tahun 1980 an. Maka sangat
naif sekali dan terlalu dini jika ada yang beranggapan bahwa
probematika pendidikan di madrasah sudah usai. Maka untuk menyelesaikan
problem tersebut dapat dilakukan secara kultural maupun politik, dimana
politik tidak melulu dipahami sebagai regimentasi, melainkan ia juga
dapat dilakukan secara gradual, karena permasalahan dualisme dan
dikotomis sistem pendidikan telah puluhan tahun lamanya “meracuni”
negeri ini. Yakinlah, bahwa buih akan hilang bagai sesuatu yang tidak
berguna, dan adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia akan
tetap tinggal di bumi.
Sumber artikel :
http://pradicool.wordpress.com/2011/09/30/prospek-sistem-pendidikan-madrasah-di-indonesia/