Bagaimana mereka memperlakukan ulama pengikut pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Oleh Zon Jonggol di Hello, EFKATRIC! ·
Mereka menyembelih Syaikh Abdullah Al-Zawawi, guru para ulama
madzhab Al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal
usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh Al-Zawawi yang juga
sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk
diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan
ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi
dari Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh
Abdullah Al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal
hafal Sirah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan dari pihak
Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta
mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks
Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah SWT.
Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara
literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan
majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz
dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada Ibn Taimiyah dan Ibn
Al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah Al-Syanqithi berkata kepada si tuna
netra itu :
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam Al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar).” (QS. Al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap
orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi
lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam
Al-Qur’an tidak ada majaz ?”
Mendengar sanggahan Syaikh Al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna
netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan
memerintahkan anak buahnya agar Syaikh Al-Syanqithi dikeluarkan dari
majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud
agar mendeportasi Al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi
ke Mesir.
Sumber : Kitab Al-Ju'nat Al-Aththar (autobiografi perjalanan hidup) karya Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin Al-Shiddiq Al-Ghumari Al-Hasani
Link sumber tulisan ada pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/11/puritan-radikalisme/
Tulisan lain tentang perlakuan mereka dapat diketahui pada
Dari tulisan di atas dapat kita ketahui bahwa mereka sampai
membunuh ulama dikarenakan perbedaan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat
tentang sifat Allah.
Mereka berlandaskan perkataan ulama-ulama dahulu namun mereka memaknai dengan menterjemahkan secara dzahir (harfiah). Contohnya
Berkata Ibnu Khuzaimah rahimahullah : “Siapa yang tidak
mengatakan bahwa Allah itu berada di atas langit-langit-Nya tinggi dan
menetap di atas Arsy-Nya berpisah dari makhluk-Nya maka wajib dimintai
tobat apabila dia bertobat maka diterima kalau tidak maka dipenggal
lehernya kemudian dilemparkan ke tempat sampah agar manusia tidak
terganggu dengan baunya”. (Disebutkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatil ‘Ulumul Hadits hal. 152 dan Mukhtashor ‘Uluw hal. 225).
Padahal Ibnu Khuzaimah rahimahullah mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa”
Tidak lebih lebih dari itu. Namun mereka memaknainya dengan
menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat/berada di
atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Kami, kaum muslim tentulah mengimani bahwa “ar Rahmaanu ‘alaa al’arsyi istawaa”
karena memang itu disebutkan dalam Al Qur’an pada surat Thaahaa [20]
ayat : 5 , namun kami mengingkari bahwa maknanya adalah Allah ta'ala
bertempat di atas 'Arsy atau Allah ta'ala berbatas atau dibatasi oleh
'Arsy. Maha Suci Allah dari "di mana" dan "bagaimana".
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi,
Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “di mana
Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu
menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan
dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha
Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang
mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Mereka mengingkari makna majazi dalam Al Qur'an dan As Sunnah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/17/2011/06/23/makna-majaz/
Kami menyampaikan tulisan ini bukanlah untuk mengajak membenci
saudara-saudara kita kaum Wahhabi (pengikut ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab). Pada hakikatnya apa pun yang sudah terjadi adalah merupakan
kehendak Allah Azza wa Jalla dan kita harus menerimanya namun kita dapat
mengambil pelajaran (hikmah) dari kejadian tersebut dan bersikap
dengan sikap yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar