Minggu, 27 November 2011

Tidak makan, kalau belum makan nasi.

Islamedia 
- “Tidak makan, kalau belum makan nasi.” Hampir setiap orang di Indonesia mengatakan hal yang serupa dengan kalimat tersebut. Kita tahu bahwa nasi merupakan makanan pokok di Indonesia, sehingga wajar saja apabila konsumsi beras di Indonesia merupakan tertinggi di dunia, bahkan melebihi batas rata-rata konsumsi dunia yang membatasi 60 kg/orang/tahun. Menurut Menteri Pertanian Siswono, Penduduk Indonesia mengkonsumsi beras rata-rata 139 kg/orang/tahun. Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara terdekat kita, yaitu Malaysia yang hanya mengkonsumi beras 80 kg/orang/tahun, Thailand 90 kg/orang/tahun dan Jepang 60 kg/orang/tahun. Belum lagi jumlah tersebut diakumulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 Juta Jiwa lebih.



Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juli 2011, mencatat nilai impor beras Indonesia pada tahun ini telah mencapai USD 829 juta atau sekitar Rp 7,04 triliun rupiah. Uang sebanyak ini digelontorkan pemerintah untuk mendatangkan sebanyak 1,57 juta ton beras dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu ton). Data ini dirilis BPS pada Selasa (06/09/2011). Pertanyannya, apakah suplai beras di Indonesia tidak cukup?



Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG)─Angka Ramalan II (ARAM II). Jika dikonversi ke beras, ini artinya, pada tahun ini, produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Dan jika memperhitungkan adanya loses (kehilangan) sebesar 15 persen, maka produksi beras mencapai 37 juta ton.



Dengan asumsi bahwa konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta orang, konsumsi beras nasional tahun ini berarti mencapai 34 juta ton−ini diperoleh dengan mengalikan konsumsi beras per kapita dan jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dengan demikian, merujuk pada hasil hitung-hitungan tersebut, tahun ini Indonesia sebenarnya surplus beras sebesar 3-4 juta ton. Tetapi kenapa harus impor, padahal surplus? Ke mana larinya 3-4 juta ton beras itu?



Belum selesai sampai disitu, beras yang diterima dimasyarakat saat ini, apakah kondisi dan mutunya baik? Lalu, kemanakah beras-beras petani yang dihasilkan dalam kondisi dan mutu yang baik? Ada permainan apa dengan beras kita ini? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin hanya pertanyaan sepintas saja, karena tadi, melihat kebiasaan masyarakat Indonesia harus mengkonsumsi nasi, maka dari itu jenis beras dalam kondisi dan mutu apapun dapat diterima oleh masyarakat, “yang penting hari ini bisa makan.”



Melihat kondisi tersebut, apakah kita tidak miris dengan konsumsi beras di Indonesia yang semakin tinggi dengan semakin bertambahnya penduduk. Permasalahan selanjutnya adalah saat ini banyak investor-investor yang hanya mementingkan kepentingan perusahaannya tanpa mementingkan lingkungannya, yaitu sudah banyak lahan-lahan pertanian yang dia alih fungsikan. Berarti semakin ciutlah itu lahan pertanian yang juga berdampak terhadap produksi beras kita, lantas darimana stok beras yang kita dapatkan selain dari impor. Sedangkan kualitas impor beras saat ini tidak begitu diperhatikan, asal murah, asal masyarakat bisa beli beras, asal masyarakat bisa makan.



Kebiasaan mengkonsumsi beras di Indonesia, bagaikan mengkonsumsi obat tiga kali sehari. Padahal terlalu banyak makan nasi juga tidak sehat. Apalagi, kebanyakan dari kita saat mengkonsumsi nasi tidak diimbangi dengan gizi lain yang mencukupi. Seperti diketahui beras itu mengandung karbohidrat yang kelewat jahat jika tidak dikontrol. Bayangkan, dalam 100 g nasi, karbohidrat mendominasinya sampai 79 g. Selebihnya gula (0,12 g); serat pangan (1,3 g); lemak (0,66 g); protein (7,13 g); dan air (11,62 g). dan masih banyak lagi kandungan lainnya yang kecil-kecil. Makanya para penderita diabetes untuk mengurangi konsumsi nasi.



Faktor iklim di Indonesia yang sudah mulai tidak menentu juga mengakibatkan produksi beras menurun, sedangkan tanaman padi membutuhkan asupan air yang cukup selama masa pertumbuhan.



Sebagai generasi muda, khususnya yang bergerak dalam bidang pangan, sudah sepatutnya kita mengabdi untuk mecarikan solusi-solusi dari permasalahan yang ada seperti ini. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang petani, “Pemuda sekarang mah males turun ke sawah, sukanya maen handphone terus book bookan aja.” Mungkin maksudnya facebook kali ya, maklum orang tua. Tapi itu kenyataan hari ini, yang banyak di lakukan oleh kaum muda kita, mungkin kita belum merasakan apa yang dialami oleh orang tua kita.



Mengusung program gubernur Jabar Ahmad Heryawan, bahwa kita setidaknya dapat mengkonsumi pangan selain daripada beras, misalnya singkong. Kandungan gizi didalamnya juga tidak kalah dengan yang dikandung beras, begitupun penanamannya tidak membutuhkan air yang banyak dan lahan yang dibutuhkan tidak harus luas apalagi kalau kita menyediakan lahan di dekat rumah khusus untuk menanam singkong. Jadi nanti pengemis ngga lagi bilang, “Pak sedekahnya, belum makan nasi hari ini.” Tetapi bilang “Pak sedekahnya, belum makan singkong hari ini.” (Anekdote).



Ada kisah dari seorang warga yang tinggal di desa dalam kota di salah satu kota di Jawa Barat. Seorang ibu yang tergolong ekonomi bawah, setiap hari mengkonsumsi singkong dengan alasan harganya yang murah dan ketika ditanya, “Kenapa bu makannya dengan singkong?”. “Ya harganya murah dan ngga perlu repot-repot masaknya, cukup makan singkong rebus dengan kuah kencur ditambah cabai dan air panas sudah enak dimakan.”. Tukas Ibu itu.



Isu saat ini mengenai singkong di Indonesia adalah Indonesia impor singkong dari luar, dari China. Kenapa sampai terjadi seperti ini? Padahal produksi singkong Indonesia berdasarkan data BPS 2011 mencapai 24,08 juta ton. Mungkin kaget kan mendengar Indonesia impor singkong. Tapi itulah faktanya, berdasarkan data BPS, sepanjang periode Januari hingga Juni 2011, Indonesia telah mengimpor sebanyak 4,73 ton singkong dengan nilai sebesar 21,9 ribu dolar AS. Singkong impor tersebut berasal dari Italia dan Cina. Dari Italia, Indonesia mengimpor 1,78 ton singkong atau senilai 20,64 ribu dolar AS, sedangkan dari Cina Indonesia mengimpor sebanyak 2,96 ton dengan nilai mencapai 1.273 dolar AS.



Permasalahan dari kondisi tersebut adalah bahwa sebagian besar produksi singkong digunakan untuk industri, bukan untuk konsumsi rumah tangga. Faktor lain yang menyebabkan impor adalah kurangnya konektivitas petani dengan industri, sehingga para petani tidak tahu harus menyalurkan singkong kemana.



Sekarang mungkin Indonesia sedang di uji oleh Allah ta’ala. Melihat iklim Indonesia yang tak menentu, membuat produksi beras menurun. Mungkin solusinya adalah bahwa Allah menganjurkan kita untuk menanam singkong, jagung atau umbi-umbian yang lain untuk alternatif konsumsi utama selain beras.



Jika kebiasaan makan nasi orang Indonesia dapat dirubah, maka akan berdampak besar pada penurunan konsumsi beras. Dengan demikian, kebutuhan beras dalam negeri dapat ditekan. Karena itu, program diversifikasi pangan harus digalakkan agar masyarakat tidak terlalu bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.



Mulai dari diri kita, keluarga kita, tetangga kita, se RT, terus se RW. Atau bikin perlombaan bagi RTnya yang kompak mengkonsumsi singkong sehari dalam seminggu diberikan penghargaan atau dibuatkan jalan yang bagus, dan lain-lain. Jadi penggalangan ide pemerintah tidak akan berjalan jika tidak diimbangi dengan kemauan dalam diri sendiri. Kita jangan melihat kondisi saat ini, kondisi perut kita saat ini, tetapi melihatnya ke depan. Warisan untuk anak, cucu, cicit kita nanti, biasakanlah mereka untuk mengkonsumsi selain beras sehari dalam seminggu untuk memutus rantai ketergantungan terhadap beras, sehingga kondisi pangan di Indonesia semakin baik dan stabil.

HARIS DIANTO DARWINDRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar