Sabtu, 26 November 2011

Imam Al-Ghazali, seorang mutashowwif.


Imam Al-Ghazali, seorang mutashowwif.
 

Berawal dari pandangan atau aliran filsfat beliau yang mengacu kepada filsafat religius-ortodok, akhirnya beliau menambatkan bahtera penelusuran dan pencarian Tuhannya pada aliran tasawuf yang ternyata membuatnya lebih puas dan bias menerima keberadaan, ke-eksistensian dan kemahakuaasaan Tuhan.

Namun tidak hanya itu saja, ternyata disamping perpindahan arah, beliau juga mengkritik para filolsof yang tidak henti-hentinya dan tak lelah mencari Tuhan –menurut mereka- yang sebenarnya Tuhan selalu berada dimana mereka berada dan kapan pun mereka ada[4], melalui kitab karangan beliau “Tahafutu al-Falasifah” yang kemudian dikritik balik oleh Imam Ibnu Rusd dengan kitabnya “Tahafutu at-Tahafut” yang disebabkan perbedaan pandangan beliau berdua mengenai filsafat.

Lebih dari itu, beliau juga menentang adanya filsafat karena itu semua mengecilkan peran Tuhan dan dianggap merendahkan supremsi al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan islam tertinggi.
Tidak bisa kita pungkiri kehebatan dan kedudukan beliau. Itu terbukti dari pengikut dan pengagum beliau baik dari kalangan pengagum filsafat hingga para penganut tasawuf atau mutashowif. Bahkan nilai beliau setara dengan seorang Aristoteles.

Dalam ranah filsafat, dari dulu hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi. Sedangkan para filosof-filosof yang lain kurang kita ketahui jika tidak kita cari dengan inisiatif kita sendiri.

Jika kita renungkan kita sangat beruntung kalau saja seorantg Imam Ghazali tetap berkecimpung dalam dunia filsafat. Karena sosok seperti beliaulah yang kita butuhkan sebagai anutan dalam filasaft agar kita tidak sampai terjerembap ke jalan yang tidak seharusnya kita lalui, jalan yang seringkali dijadikan titik akhir pencarian seorang filosof yang sudah menemukan jalan buntu, yaitu jalan kesesatan dan semakin jauh dari Tuhan.

Sedangkan dalam dunia tasawuf beliau juga sangat dikagumi. Karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab Ihya’ Ulumiddin, sebuah kitab tasawuf yang sangat terkenal dan tidak kalah dikagumi disbanding pengarangnya. Hingga Imam Abdurrahman ats-Tsaqafiy mengatakan :
من لم يقراء الإحياء ليس له حياء

“Barang siapa yang tidak pernah membaca(megaji) kitab ihya; maka dia adalah orang yang tidak punya malu”.

Dan Imam Nawawi juga mengatakan :
كاد الإحياء أن يكون قرآنا
“Ihya’ hampir menyamai al-Qur’an”.

Dikatakan demikian karena pesan-pesan, wejangan dan juga pelajaran-pelajaran tentang bagaimana kita harus bersikap, berakhlaq dan berperilaku, baik terhadap sesama manusia, terhadap Allah dan juga terhadap semua yang ada di dunia ini, yang terlihat dan yang ghoib, yang hidup dan yang mati, yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin memiliki nilai keluhuran yang sangat tinggi, sehingga berbagai pujian dilontarkan kepada kitab Ihya’ Ulumiddin dan juga pengarangnya.

Setelah peralihan beliau menuju seorang mutashowif beliau juga memiliki pelajaran yang sagat berharga, diantaranya tentang enam pertanyaan yang beliau berikan kepada murid-muridnya.
Pertanyaan yang pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali-Imran:185).

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Kemudian Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al-A’Raf:179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al-Ahzab:72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Yang kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Shalat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan shalat, gara-gara aktivitas kita meninggalkan shalat.
Dan pertanyaan keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA”. Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Dari pesan-pesan beliau yang tergambarkan dalam pertanyaan-pertanyan diatas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita dan perlu kita renungkan dan juga diamalkan. Karena itu semua merupakan kunci dan pegangan untuk hidup bahagia, tentram dan tenang di dunia dan akhirat.

Imam Al-Ghazali seorang mutashowwif filosofis.

Sedikit ulasan di atas bisa menjadi bukti bagi kita bahwa seorang Imam Al-Ghazali bukanlah orang yang hanya sekedar dalam ke-tashowwufan. Namun terlepas dari itu, karena beliau pada awalnya adalah seorang filosof yang juga sangat andal, pemikiran beliau tentang perkara-perkara ilahiyah[5] dalam ilmu tasawuf juga masih sedikit berbau rasio.

Hal ini terbukti dalam salah satu bab pada kitab beliau Ihya’ Ulumiddin yang membahas tentang ruh. Beliau menjelaskannya dengan panjang lebar. Mulai bagaimana hakikat ruh, seperti apa ruh dan bagaimana eksistensi ruh dalam jisim atau tubuh seorang hamba. Beliau mengumpamakan ruh seperti sebuah lampu yang terdiri dari sumbu dan minyak. Jika sumbu atau minyak itu ada yang kurang, maka nyala apinya juga akan berkurang, bahkan mati. Seperti itu juga ruh. Ruh terdiri dari beberapa unsur, jika salah satu dari unsur itu berkurang, maka berkurang juga lah daya ruh, bahkan ruh itu bisa mati.

Beliau menjelaskan seperti ini, padahal dalam firman allah sudah jelas-jelas dikatakan bahwa:
ويسألونك عن الروح صل قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قيلا. الإسراء : 85

Katakanlah (wahai Muhammad): “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Al-Isro’:85)

Dari ayat ini sudah jelas bahwasannya yang berhak untuk menjelaskan bagaimana ruh itu dan sebagainya hanyalah Allah semata. Tapi kenapa Imam Al-Ghazali berani menjelaskanya dengan sedemikian?.

Beliau pun menjawabnya dengan lugas dan sangat sesuai. Yang beliau jelaskan adalah ruh dalam ranah batas pengetahuan seorang dokter, tidak lebih dari itu. Yang mana seorang dokter mengetahui apa saja yang tidak baik dan berbahaya bagi tubuh manusia yang juga berakibat terhadap ruh. Dan dasar yang dipakai adalah tubuh, bukan ruh itu sendiri. Sehingga jika yang bermasalah adalah ruh-nya, maka seorang dikter angkat tangan, itu bukan lagi kemampuannya, tapi Allah lah yang berhak dalam masalah itu.

Penjelasan ini sangat rasional sekali. Dan jika renungkan memang benar. Yang beliau jelaskan masih dalam batas ilmu kesehatan. Sedangkan dalam hal lain, seperti apa yang dipastikan oleh Allah terhadap ruh pada zaman azali, apa yang terjadi pada ruh itu kelak pada hari akhir dan lain-lain, beliau tidak menjelaskannya, karena itu adalah hak Allah semata.

Mulai dari Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof, Imam Al-Ghazali sebagai seorang mutashowwif dan Imam Al-Ghazali sebagai seorang mutashowwif yang filosofis, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pencapaian suatu tingkatan yang memang benar-benar tinggi atau mulia di sisi Allah bukanlah suatu perkara yang mudah, itu semua harus melalui proses yang sangat panjang dan tidak setiap orang bisa nelakukannya. Hanya orang-orang tertentu dan terpilihlah yang bisa mendapatkan kesempatan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar