
Berawal dari pandangan atau aliran filsfat beliau yang mengacu kepada
filsafat religius-ortodok, akhirnya beliau menambatkan bahtera
penelusuran dan pencarian Tuhannya pada aliran tasawuf yang ternyata
membuatnya lebih puas dan bias menerima keberadaan, ke-eksistensian dan
kemahakuaasaan Tuhan.
Namun tidak hanya itu saja, ternyata
disamping perpindahan arah, beliau juga mengkritik para filolsof yang
tidak henti-hentinya dan tak lelah mencari Tuhan –menurut mereka- yang
sebenarnya Tuhan selalu berada dimana mereka berada dan kapan pun mereka
ada[4], melalui kitab karangan beliau “Tahafutu al-Falasifah” yang
kemudian dikritik balik oleh Imam Ibnu Rusd dengan kitabnya “Tahafutu
at-Tahafut” yang disebabkan perbedaan pandangan beliau berdua mengenai
filsafat.
Lebih dari itu, beliau juga menentang adanya filsafat
karena itu semua mengecilkan peran Tuhan dan dianggap merendahkan
supremsi al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan islam tertinggi.
Tidak
bisa kita pungkiri kehebatan dan kedudukan beliau. Itu terbukti dari
pengikut dan pengagum beliau baik dari kalangan pengagum filsafat hingga
para penganut tasawuf atau mutashowif. Bahkan nilai beliau setara
dengan seorang Aristoteles.
Dalam ranah filsafat, dari dulu
hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai
filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu
atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi
seorang filosof lagi. Sedangkan para filosof-filosof yang lain kurang
kita ketahui jika tidak kita cari dengan inisiatif kita sendiri.
Jika kita renungkan kita sangat beruntung kalau saja seorantg Imam
Ghazali tetap berkecimpung dalam dunia filsafat. Karena sosok seperti
beliaulah yang kita butuhkan sebagai anutan dalam filasaft agar kita
tidak sampai terjerembap ke jalan yang tidak seharusnya kita lalui,
jalan yang seringkali dijadikan titik akhir pencarian seorang filosof
yang sudah menemukan jalan buntu, yaitu jalan kesesatan dan semakin jauh
dari Tuhan.
Sedangkan dalam dunia tasawuf beliau juga sangat
dikagumi. Karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab Ihya’
Ulumiddin, sebuah kitab tasawuf yang sangat terkenal dan tidak kalah
dikagumi disbanding pengarangnya. Hingga Imam Abdurrahman ats-Tsaqafiy
mengatakan :
من لم يقراء الإحياء ليس له حياء
“Barang siapa yang tidak pernah membaca(megaji) kitab ihya; maka dia adalah orang yang tidak punya malu”.
Dan Imam Nawawi juga mengatakan :
كاد الإحياء أن يكون قرآنا
“Ihya’ hampir menyamai al-Qur’an”.
Dikatakan demikian karena pesan-pesan, wejangan dan juga
pelajaran-pelajaran tentang bagaimana kita harus bersikap, berakhlaq dan
berperilaku, baik terhadap sesama manusia, terhadap Allah dan juga
terhadap semua yang ada di dunia ini, yang terlihat dan yang ghoib, yang
hidup dan yang mati, yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin memiliki
nilai keluhuran yang sangat tinggi, sehingga berbagai pujian
dilontarkan kepada kitab Ihya’ Ulumiddin dan juga pengarangnya.
Setelah peralihan beliau menuju seorang mutashowif beliau juga memiliki
pelajaran yang sagat berharga, diantaranya tentang enam pertanyaan yang
beliau berikan kepada murid-muridnya.
Pertanyaan yang pertama, “Apa
yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya
menjawab “orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya”. Imam Ghozali
menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan
kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap
yang bernyawa pasti akan mati. (Ali-Imran:185).
Lalu Imam
Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari
diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “negara Cina, bulan,
matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua
jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar
adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat
kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan
hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran
Agama.
Kemudian Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang
ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawah
“gunung, bumi dan matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali.
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU”
(Al-A’Raf:179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan
sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat, “Apa
yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab “besi dan gajah”.
Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat
adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al-Ahzab:72). Tumbuh-tumbuhan, binatang,
gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka
untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan
sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari
manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Yang kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab
“kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali,
tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Shalat.
Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan shalat, gara-gara aktivitas kita
meninggalkan shalat.
Dan pertanyaan keenam, “Apakah yang paling
tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”.
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA”.
Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai
perasaan saudaranya sendiri.
Dari pesan-pesan beliau yang
tergambarkan dalam pertanyaan-pertanyan diatas merupakan pelajaran yang
sangat berharga bagi kita dan perlu kita renungkan dan juga diamalkan.
Karena itu semua merupakan kunci dan pegangan untuk hidup bahagia,
tentram dan tenang di dunia dan akhirat.
Imam Al-Ghazali seorang mutashowwif filosofis.
Sedikit ulasan di atas bisa menjadi bukti bagi kita bahwa seorang Imam
Al-Ghazali bukanlah orang yang hanya sekedar dalam ke-tashowwufan. Namun
terlepas dari itu, karena beliau pada awalnya adalah seorang filosof
yang juga sangat andal, pemikiran beliau tentang perkara-perkara
ilahiyah[5] dalam ilmu tasawuf juga masih sedikit berbau rasio.
Hal ini terbukti dalam salah satu bab pada kitab beliau Ihya’ Ulumiddin
yang membahas tentang ruh. Beliau menjelaskannya dengan panjang lebar.
Mulai bagaimana hakikat ruh, seperti apa ruh dan bagaimana eksistensi
ruh dalam jisim atau tubuh seorang hamba. Beliau mengumpamakan ruh
seperti sebuah lampu yang terdiri dari sumbu dan minyak. Jika sumbu atau
minyak itu ada yang kurang, maka nyala apinya juga akan berkurang,
bahkan mati. Seperti itu juga ruh. Ruh terdiri dari beberapa unsur, jika
salah satu dari unsur itu berkurang, maka berkurang juga lah daya ruh,
bahkan ruh itu bisa mati.
Beliau menjelaskan seperti ini, padahal dalam firman allah sudah jelas-jelas dikatakan bahwa:
ويسألونك عن الروح صل قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قيلا. الإسراء : 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar