Rasulullah
saw bersabda: Ketika Adam mengakui kesalahannya, dia berkata: ‘Wahai Tuhanku,
jika aku memohonmu atas nama Muhammad, Engkau pasti akan mengampuniku’. Lalu
Allah bertanya: ‘Wahai Adam, bagaimana kau tahu tentang Muhammad sedang Aku
belum menciptakannya?’
Adam menjawab:’Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau
menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat di kaki ‘Arsy tertulis
“Laa ilaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah”, dan aku tahu, bahwa Engkau tidak
akan pernah menyambungkan nama-Mu kecuali dengan ciptaan yang sangat Engkau
cintai’.
Allah berfirman: ‘Kau benar wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang
paling aku cintai, dan ketika kau memohon kepadaku atas namanya, maka Aku telah
mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”. Dalam
riwayat Imam Thabrani ditambahkan:”….dia adalah Nabi terakhir dari
keturunanmu”.
Bertawassul kepada Rasulullah saw sebagaimana do’a Nabi Adam as tersebut di atas adalah sebuah bukti bahwa berdo’a dan meminta permohonan kepada Allah melalui perantara (wasilah) bukanlah hal yang baru atau aneh, apalagi dianggap bid’ah.
Wasilah adalah segala hal yang dapat mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Bentuk jama’ dari wasilah adalah wusul atau wasa’il. Sedangkan bentuk tunggalnya adalah tausil dan tawassul. Contohnya, “Si A bertawassul dengan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”. Maka, dia mendekatkan diri kepada Tuhannya dengn sebuah wasilah. Maksudnya, dia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara amal baikya.
Allah swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya……(QS. Al-Maidh [5]:35)
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang(harus) diatkuti.(QS Al-Isra’ [17]:57)
Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dibolehkannya bertawassul kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Baik ketika mereka masih hidup maupun sepeninggal mereka. Kdeua, boleh juga bertawassul dengan amal baik masing-masing. Allah sendiri memerintahkan kepada kita untuk bertawassul sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat Fatimah binti Asad (ibu Ali bin Abi Thalib) wafat. Rasulullah Saw bersabda:
Bertawassul kepada Rasulullah saw sebagaimana do’a Nabi Adam as tersebut di atas adalah sebuah bukti bahwa berdo’a dan meminta permohonan kepada Allah melalui perantara (wasilah) bukanlah hal yang baru atau aneh, apalagi dianggap bid’ah.
Wasilah adalah segala hal yang dapat mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Bentuk jama’ dari wasilah adalah wusul atau wasa’il. Sedangkan bentuk tunggalnya adalah tausil dan tawassul. Contohnya, “Si A bertawassul dengan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”. Maka, dia mendekatkan diri kepada Tuhannya dengn sebuah wasilah. Maksudnya, dia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara amal baikya.
Allah swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya……(QS. Al-Maidh [5]:35)
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang(harus) diatkuti.(QS Al-Isra’ [17]:57)
Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dibolehkannya bertawassul kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Baik ketika mereka masih hidup maupun sepeninggal mereka. Kdeua, boleh juga bertawassul dengan amal baik masing-masing. Allah sendiri memerintahkan kepada kita untuk bertawassul sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat Fatimah binti Asad (ibu Ali bin Abi Thalib) wafat. Rasulullah Saw bersabda:
اَللهُ الَّذِى يحُىْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ
لأِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ
خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ
اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ
وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ
“Allah yang
menghidupkan dan yang mematikan dan Dialah yang hidup tidak mati; Ampunilah!
Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban
ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran
Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha
Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur
ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR
Thabrani).
Dalam hadits di atas, Rasulullah bertawassul kepada Allah
dengan dirinya sebagai orang yang paling mulia, juga bertawassul dengan nama
para Nabi sebelumnya yang berhak mendapat shalawat dan salam.
Dalam kitab
Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW mengizinkan
Umar bertawassul dengannya, dan menyertakan Rasulullah saw dalam segala do’anya
di Mekkah ketika umrah.
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ
اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ
فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً
مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا
يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى
“Dari shahabat
Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk
melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW
bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata:
suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia.
Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada
sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama
di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi
beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.
Rujukan lain untuk
tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina
Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim
paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ
كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ:
الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا
وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ:
فَيُسْقَوْنَ.
رواه البخارى
“Dari sahabat Anas; bahwasannya
Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon
hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina
Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah
paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar
kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)
Bertawassul kepada orang-orang
yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti
meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar
permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah,
seperti disebutkan berikut ini:
لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ
مَنَعْتَ
“Tiada yang bisa mencegah kalau Allah mau memberi, dan
tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ
الصَّمَدُ
“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat
meminta.”
Sesungguhnya bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan
wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada
Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Bertawassul bukan
berarti meminta kepada orang yang dijadikan wasilah, melainkan memohon agar
yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para
pemohonnya.
Jadi, tidak ada
unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang
yang dekat kepada Allah Swt, seperti para Nabi, Para Rasul, para sholihin pada
hakekatnya tidak bertawassul degan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal
perbuatan mereka yang sholeh.
Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul
dengan orangorang yang ahli maksiat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah
Swt, dan kita juga tidak bertawassul dengan pohon, baru, guung, kuburan kramat
dsb.
Oleh karena itu wajar saja jika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Rahimahullah, dalam risalahnya merasa perlu bertabayyun atau klarifikasi atas
tuduhan beberapa orang yang ngatakan bahwa ia mengharamkan tawassul. Ia
menuliskan “Sesungguhnya Sulaiman bin Suhaim telah berdusta terhadapku tentang
banyak hal yang tidak pernah aku katakan, bahkan tidak pernah terlintas
dibenakku.
Di antaranya aku dianggap mengkafirkan orang-orang yang bertawassul
melalui orang shaleh, aku juga dituduh mengkafirkan al-Bushiri karena mengatakan
‘wahai makhluk yang paling mulia’, aku juga difitnah membakar kitab dalailul
khairat. semua itu hanya bisa aku jawab Maha Suci Engkau Ya Allah semua ini
adalah dusta Besar.”
Malahan dalam al-Fatwa al-Kubra, Syaikh Abdul Wahab menjawab ketika ditanya tentang tawassul, beliau dengan tegas menjawab “ Tidak mengapa bertawassul dengan orang-orang Shaleh ... asalkan mereka yang berdoa dengan jelas memohon seperti “aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu” atau “Dengan nama Rasul-Mu aku memohon agar...” atau “aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan hamba-hamba-Mu yang sholeh, semoga...” bahkan ketika mereka berdoa’a di atas kuburpun tidak ada masalah”
Wal hasil, tawassul dalam Islam dibolehkan, dan dianjurkan. Asalkan mereka yang bertawassul ini mengerti dan faham arti, serta cara-cara bertawassul. Dan sadar benar bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Allah swt.
Bertawassullah dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a. Dan tidak ada yang lebih disayangi di jagad raya ini kecuali Rasulullah saw. karena itu dalam setiap doa selalu ada sholawat dan salam kepadanya.
(Ngabdurrahman al-Jawi)
Malahan dalam al-Fatwa al-Kubra, Syaikh Abdul Wahab menjawab ketika ditanya tentang tawassul, beliau dengan tegas menjawab “ Tidak mengapa bertawassul dengan orang-orang Shaleh ... asalkan mereka yang berdoa dengan jelas memohon seperti “aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu” atau “Dengan nama Rasul-Mu aku memohon agar...” atau “aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan hamba-hamba-Mu yang sholeh, semoga...” bahkan ketika mereka berdoa’a di atas kuburpun tidak ada masalah”
Wal hasil, tawassul dalam Islam dibolehkan, dan dianjurkan. Asalkan mereka yang bertawassul ini mengerti dan faham arti, serta cara-cara bertawassul. Dan sadar benar bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Allah swt.
Bertawassullah dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a. Dan tidak ada yang lebih disayangi di jagad raya ini kecuali Rasulullah saw. karena itu dalam setiap doa selalu ada sholawat dan salam kepadanya.
(Ngabdurrahman al-Jawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar