Mereka yang tidak patut diikuti pemahamannya
Oleh Zon Jonggol di Hello, EFKATRIC! ·
Dalam nasehat Imam Malik ra ada 3 kriteria yang tidak boleh diambil ilmu atau pendapat atau pemahamannya yakni
1. Ahli bid'ah
2. Ulama tidak bersanad ilmu (sanad guru) atau ulama tidak bermazhab
3. Mereka yang mendustakan perkataan ulama
Ahli bid'ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau
mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan
berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan
berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang
(dikerjakan berdosa) atau sebaliknya. Selengkapnya telah diuraikan
dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/03/ahli-bidah-sebenarnya/
Sebaiknya hindari ulama tidak bersanad ilmu (sanad guru) atau ulama
tidak bermazhab. Dengan bermazhab artinya mempertahankan rantai sanad
ilmu (sanad guru) dari Imam Mazhab.
Dalam beberapa tulisan berturut-turut, kami telah menghimbau untuk
menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman
pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari
para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil
yaitu Al Quran dan as Sunnah. Janganlah memahaminya dengan akal
pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Hal ini telah kami uraikan
dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/31/gigitlah-as-sunnah/ .
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/02/dari-mulut-ulama/
Kita sebaiknya menghindari kitab ulama yang belajar sendiri dan
tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/03/kitab-tidak-bermazhab/
Sanad ilmu (sanad guru) sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits mempertanyakan atau menganalisa dari mana matan/redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertanyakan atau menganalisa
dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai
kepada lisannya Rasulullah
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam
dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah terjaga
dari distorsi ataupun serangan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilakukan kaum kafir dan munafik atau tercampurnya dengan hawa nafsu.
Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Hindari mereka yang mendustakan perkataan ulama, apalagi mereka yang mengingkari hadits
sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/22/tidak-cukup/ atau uraian pengingkaran terhadap hadits lainnya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/inilahahlussunnahwaljamaah.pdf
Selain bermunculannya ahli bid’ah, kita juga sudah menyaksikan apa yang disampaikan oleh Imam Malik ra di atas, “mendustakan perkataan manusia , meskipun dia tidak mendustakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam” dengan adanya fitnah terhadap perkataan ulama.
Syeikh Al Azhar yang masih mempertahankan Sanad Ilmu, DR. Ahmad At
Thayyib memperingatkan adanya upaya negatif terhadap buku para ulama
dengan adanya permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan
mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang
merusak isi dan menghilangkan tujuannya. Link: http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/ atau sebagaimana contoh yang disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/pemutarbalikan-perkataan-ulama/
Begitu juga contoh mereka memutar balikan perkatan al-Imam Abu Hanifah seperti
al-Imam Abu Hanifah ditanya makna “Istawa”, beliau menjawab:
“Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit
atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan
semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan
barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang
musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam
Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam
Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz
ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni
dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad
ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..
Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat
kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa
dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan
kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya,
Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:
“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn
Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun
lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah…
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, …
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di
atas arsy, –di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap
getaran hati manusia–,…
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya.
Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang
(maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar
(karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki
banyak penjelasannya”.
Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di
atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia
yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan
bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy.
Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah
al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya
bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari
keserupaan dengan makhluk-Nya.
Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu
Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya.
Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia
tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk
Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia
akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya,
termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka.
Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan
berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah
berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka
adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari
segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan
benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki
batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak
memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak
ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari
makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang
menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla
‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Kami (penulis) sampaikan bahwa Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana
sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit,
sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan
sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang
berubah dan berpindah adalah ciptaanNya. Setiap yang berpindah ,
mempunyai bentuk (batas) dan hal itulah yang diingkari oleh al-Imam Abu
Hanifah sebagai "Dia tidak memiliki batasan"
Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل
خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف
السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian
Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali
sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya
berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi,
Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah
mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam
Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل
جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه
الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة
التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من
الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال
مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من
أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله
من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah
meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga
sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah
wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang
diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa
penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi)
dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang
menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang
mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa
beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka
perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap
beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu
kepada beliau atau yang menuduh beliau
Perkataan ulama lain yang sering diputarbalikan maknya contohnya
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat,
dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn
Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam
Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-,
berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba
seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah,
ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah
ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang
tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan
mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab
perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia
mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana,
karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah
seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini
dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis
al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang
yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”,
hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan
kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna
ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh
diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan
tidak mengusirnya.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan
riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik)
yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul
(al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi
Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair
Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di
dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri
yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa
telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi
jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar
telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd
ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”,
sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam
bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau
bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui
oleh kita.
Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat
kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan
Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh
karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam
pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu
hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat,
lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada
anggota-anggota badan.
Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa
al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan
riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan
mereka mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan
adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan
Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali
mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara
bersemayam-Nya tidak diketahui”. Atau terkadang mereka juga berkata:
“Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”. jadi,
Perkataan mereka “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak
lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah
yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A’udzu
Billah.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan
bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di
majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap
beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy
Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala
hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau
berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an-
(al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis
dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya
sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa
tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali
seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya
untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi
berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga
diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik
sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah
seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya
berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah
tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa
bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini
secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa
adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan
lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia
meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia
bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah
menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan
tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam
Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain
Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika
al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena
menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai
ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap
mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk,
bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang
berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam
Malik.
Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam
tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas
merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam
Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam
Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits
terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau
adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari
sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn
Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir
al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah,
dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah
menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan
tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip
sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La
Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian
melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta).
Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah
secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut
nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah
diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara
nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam
-ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik
arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya
satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa
tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah
atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian
melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”.
Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu
dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan
ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik
ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya
bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang
berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula
perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla
az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya
‘Ulumiddin).
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari
Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik-
berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”,
adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah
ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh
bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn
Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib
(riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia
-Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak
menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man
dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya
an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di
atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata
tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan
dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.
Jadi kita harus bisa bedakan kapan para Salafush Sholeh, para Imam
Mazhab, para pengikut Imam Mazhab, para Habib, para Sayyid sedang
menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau kapan
mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau
menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan
kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy
istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu. Namun
mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana ulama Ibnu Taimiyyah
memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala
bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Allah Azza wa Jalla adalah dekat. Dia dekat tidak bersentuh, jauh
tidak berjarak. Tidak ada bagiNya, kanan, kiri, atas, bawah, depan,
belakang. Mustahil sesuatu membatasiNya.
Ingatlah jika mengetahui/menyadari kesalahan/kesalahpahaman atau
mengikuti kesalahpahaman ulama ketika di akhirat nanti merupakan tanda
ketidak-dekatan dengan Allah Azza wa Jalla dan penyesalan yang tidak
berguna
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami
dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Indikator seseorang dekat dengan Allah ta'ala adalah berakhlakul
kharimah. Jika pembawaannya suka membenci, mencela, menghujat,
memperolok-olok atau perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu lainnya
terhadap saudara muslim lainnya maka jelaslah sedang dalam kesesatan.
Fiirman Allah ta'ala yang artinya, “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Orang-orang yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla paling keras
permusuhannya terhadap orang yang telah bersyahadat adalah orang-orang
yang tidak bersyahadat yakni kaum Yahudi dan orang-orang musyrik.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ).
Jika telah bersyahadat namun mempunyai rasa permusuhan kepada sesama
muslim, boleh jadi telah menjadi orang musyrik atau terjerumus ke
dalam kekufuran
Sebagaimana peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari
umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir
karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah
Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H)
dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Oleh karenanya agar tidak terjerumus ke dalam kekufuran , dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, sebaiknyalah kita
memperhatikan batas-batas yang disampaikan oleh para ulama terdahulu
seperti,
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam
“Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat
mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna
yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah,
yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah
Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha
Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah
aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat,
karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Note/tulisan kali ini terinspirasi dari
http://forumaswajaindonesia.wordpress.com/2011/03/20/tauhid-imam-abu-hanifah/http://forumaswajaindonesia.wordpress.com/2011/03/20/aqidah-imam-malik-ibn-annas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar