Hakikat tauhid dan nasehat seorang murid kepada gurunya
Oleh Zon Jonggol di Hello, EFKATRIC! ·
Mereka mengaku bahwa dakwah mereka adalah dakwah memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat atau disingkat TBC
Apakah tauhid ?
Tauhid secara umum adalah lawan dari syirik. Syirik adalah perbuatan
menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan orangnya dinamakan orang kafir
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali)? mereka menjawab : ya, wahai Rasulullah ! beliau bersabda : menyekutukan Allah“ [muttafaq ‘alaih, Al Bukhari hadits nomer : 2511]
Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala,
kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah
berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendakiNya“ [An Nisa : 48]
Tauhid secara umum maknanya adalah tidak menyekutukan Allah Azza wa
Jalla atau mereka bertauhid (mereka beriman) adalah mereka mengakui
tiada tuhan selain Allah Azza wa Jalla.
Sebagian orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah mengedepankan
“kebebasan” mengatakan bahwa Iblis mengakui tiada tuhan selain Allah
bahkan dijuluki "bapak tauhid" karena tidak mau sujud kepada selain
Allah.
Hakikat kafir atau menyekutukan Allah atau mereka yang
melakukan perbuatan syirik adalah mereka yang tidak mengakui ke -Maha
Kuasa - an Allah Azza wa Jalla
Iblis dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak mengakui
ke -Maha Kuasa -an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati
kewajibanNya berupa perintah untuk sujud kepada manusia (Nabi Adam
a.s).
Orang Islam yang bersujud (sholat) menghadap Ka’bah, tidak berarti
dia menyembah Ka’bah, akan tetapi dia sebenarnya sedang bersujud dan
menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menghadap ke Ka’bah
perwujudan menjalankan perintahNya atau mengakui ke Maha Kuasa an Allah
Azza wa Jalla. Begitu juga para malaikat sujud kepada manusia (Nabi
Adam a.s) perwujudan melaksanakan perintahNya atau mengakui ke Maha
Kuasa an Allah Azza wa Jalla.
Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani walaupun sebagain kecil mereka beriman
kepada Allah namun tetap dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla dan
dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat karena mereka tidak mengakui
ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati kewajibanNya
berupa perintah untuk bersyahadat.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para
nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan
hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang
ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami
mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi)
dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah
subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai
seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta’ala
menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu
alaihi wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan
mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ataukah kamu (hai orang-orang
Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub
dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?”
Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]:140 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “ Demi Allah,
yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal
aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula
Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah
dia ke dalam neraka.”
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi
bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Firman Allah ta’ala yang artinya
Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al
Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al Maa’idah [5]:68 )
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)
Ibadah sendiri berarti mentaati segala perintahNya dan menjauhi
segala larangan-Nya, sebagaimana seseorang yang sedang melaksanakan
ibadah haji, dia diperintahkan untuk mencium hajar aswad dan melempar
jumrah, amalan-amalan ini disebut ibadah karena melaksanakan perintah
Allah.
PerintahNya dan laranganNya oleh para pemimpin ijtihad kaum muslim
(Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dirumuskan kedalam 5
hukum perkara yakni Wajib (fardhu), Sunnah (mandub), haram, makruh,
mubah yang dikenal dengan istilah beristinbat (menetapkan hukum
perkara)
Orang kafir pada hakikatnya adalah mereka yang tidak mengakui ke
Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla yakni mereka yang tidak mentaati
kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa) , tidak menjauhi
laranganNya (dikerjakan berdosa) dan tidak menjauhi apa yang
diharamkanNya (dikerjakan berdosa).
Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan sholat adalah
orang kafir. Pada hakikatnya kafir karena tidak mengakui ke Maha Kuasa
an Allah Azza wa Jalla dengan tidak mentaati perintahNya berupa
kewajibanNya (ditinggalkan berdosa).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perbedaan antara seorang pria mukmin dan kafir adalah meninggalkan sholat” . (H.R. Muslim)
Rasulullah bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kami dan
mereka adalah sholat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, maka
sungguh dia telah menjadi kafir”. (H.R. Tirmidzi)
Ahli bid'ah pun termasuk orang kafir , mereka yang melakukan
perbuatan syirik, mereka yang tidak mau mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah
Azza wa Jalla karena mereka mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya
Perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla meliputi
kewajibanNya / perintahNya (ditinggalkan berdosa), laranganNya
(dikerjakan berdosa) dan segala perkara yang telah diharamkanNya
(dikerjakan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka
jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa
batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan
Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu
pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai
tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Ahli bid'ah adalah mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru
(bid'ah) sehingga mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya
Ahli bid'ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada
yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau
sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau
sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau
sebaliknya.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam
kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat
tarawih berjama'ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan
bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama
bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih) itu
ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Bid'ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah
sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan
ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan
penuh.
Bid'ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih
berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya
(ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan
berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban
(ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan
Ramadhan adalah berpuasa.
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah
–pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam–
setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang
alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan
mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya
Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan
pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul!
Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram
terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram,
kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka yang melampaui batas adalah mereka yang sombong yakni mereka yang menuhankan akal pikirannya, menuhankan hawa nafsunya.
Akal pikiran berbeda dengan Akal Qalbu (hati).
Akal Pikiran / logika adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau kerja otak.
Akal Qalbu / hati adalah mengikuti cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa setiap manusia.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda, “Apakah engkau datang
untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau
bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah
apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa
yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi
fatwa yang mem-benarkanmu.” Ini adalah hadits yang kami riwayatkan dari
dua imam, yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad
hasan
Iblis menolak sujud kepada manusia (Nabi Adam a.s), karena dia
merasa lebih baik dari manusia. Dia menganggap bahwa unsur api, lebih
baik daripada unsur tanah. Sebenarnya kalau saja Iblis mau jujur,
mestinya dia merasa malu, karena pada waktu dia menolak untuk sujud
kepada manusia, disitu terdapat makhluk yang lebih tinggi derajatnya
yaitu malaikat, karena mereka diciptakan dari cahaya. Walaupun begitu
mereka mau bersujud ketika diperintah Allah Azza wa Jalla, seharusnya
yang lebih rendah derajatnya ikut sujud juga. Akan tetapi begitulah
Iblis, dia sombong dan menolak untuk sujud.
Rasa takabbur dan sombong merupakan sifat yang sangat tercela.
Pertama kali yang mempunyai sifat ini adalah Iblis. Seseorang yang
mempunya sifat seperti ini akan dijauhkan dari surga .
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidak masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari perasaan sombong”
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda: "Keagungan adalah sarungKU dan kesombongan adalah pakaianKU. Barangsiapa merebutnya (dari AKU) maka AKU menyiksanya." (HR. Muslim)
Dosa pertama kali yang dilakukan makhluk adalah rasa sombong, tamak dan iri .
Berkata Qatadah : “Iblis merasa iri dengan Adam, karena dia
diberikan kemuliaan oleh Allah subhanahu wa’ta'ala, maka ia berkata :
“Saya tercipta dari api, sedangkan dia dari tanah”, kemudian munculah
dosa pertama kali yaitu rasa sombong. Setelah itu muncul rasa tamak,
sehingga Adam memakan dari pohon ‘ yang terlarang ‘ , kemudian rasa
iri, ketika anak Adam iri dengan saudaranya.
Ibnu Abbas ra mengatakan juga : “Jika seseorang terjerat di
dalam kesombongan, maka jangan banyak diharap. Sebaliknya jika ia
terjerat di dalam kemaksiatan, kemungkinan masih bisa diharapkan untuk
bertaubat”
Kesombongan kaum Yahudi karena memandang bahwa mereka adalah umat
pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa diistimewakan dan
dilebihkan atas seluruh umat pada zaman yaitu semasa Nabi Musa
‘alaihissalam. Selengkapnya telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan/
Orang yang merasa berilmu banyak, merasa berkompentesi berijtihad
dan tidak mau mengakui pemahaman/pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim
(Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang Empat, tidak mau mengakui
pemahaman/pendapat para jumhur ulama yang bermazhab atau mereka merasa
lebih Ahlus Sunnah dibandingkan muslim yang bermazhab boleh jadi
mereka yang terjerumus dalam kesombongan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/04/semakin-jauh-darinya/
Al-Hâfizh adz-Dzahabi adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam
banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, --terutama
dalam masalah akidah--, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya
tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah
menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah
Wal Jama'ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk
mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya,
serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu.
Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai
nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari
seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama
berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul
an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan
yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap
dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah
al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9 ]:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu.
Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri
karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau
engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi
Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas
ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama
Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya
dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah
lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad
sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah
dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga
saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya
medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam
(sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka
membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya,
adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong,
rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap
dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah
besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap
kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
Berikut nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan
dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam
terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat
an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn
Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:
*****awal kutipan*****
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah
rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku,
peliharalah imanku di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh... Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang
merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat
takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala
kebaikan!!
Oh... Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang
halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang
menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan
memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain.
Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang
lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan
kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau
melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji
pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu
sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib
orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah
kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian
kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah
menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu
sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri
mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran
ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal,
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap
segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut
dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan
sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak
mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali
tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda
Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah
apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi
dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus
mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar
argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur.
Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai
kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci
dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk
banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu
yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang
munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram
adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka
terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang
sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah
sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak
makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya
mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah
mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun
kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah
membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada
badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan
tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut
kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam
berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan
tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang
saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah.
Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka
mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah
laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi
satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari
membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”,
tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami
anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita
bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar
tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir
atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam
itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada
kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama
seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak
hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua
kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat
kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah
mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah)
dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut
adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan
bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan
lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang
ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan
tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak
lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah
akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang
berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang
serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka
dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun
sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau
tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi
pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau
mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak
lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau
akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi
orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan
berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan
dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri
tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh
al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat
dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering
merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak
benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus
diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah
saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?!
Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian
telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak
akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki
seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau
tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya
engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran
ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku
berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan
merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang,
sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal
saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para
musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka
adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka,
sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta,
orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan
terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari
nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang,
jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan
aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah
celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika
aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang
ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah,
taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah
atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para
sahabatnya sekalian.
*****akhir kutipan*****
Sebenarnya ada informasi dan saksi yang menyampaikan bahwa ulama
Ibnu Taimiyyah sebelum wafat telah sempat bertobat dari
kesalahpahaman-kesalahpahamannya namun sayangnya informasi ini tidak
tersampaikan dengan baik sehingga kesalahpahaman-kesalahpahaman beliau
tetap diikuti oleh ulama-ulama lainnya seperti ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab yang hidup setelah 350 tahun lebih wafatnya ulama Ibnu
Taimiyyah. Sebagaimana contoh yang diriwayatkan dalam tulisan pada http://arisandi.com/?p=964 berikut kutipannya
***awal kutipan****
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam
jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau
adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam
jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan
duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan,
seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa
hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya
telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad
ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau
berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga
banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith
danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan
tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang
kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar
sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan
ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang
bersangkutan.
****akhir kutipan*****
Padahal ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan agar menghindari
kitab-kitab ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah menyelisihi
pemahaman Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf maupun pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/07/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Begitu juga ulama-ulama negeri kita telah memperingatkan kita untuk
meninggalkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya seperti
contohnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia
yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti
ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul
Wahhab telah keluar daripada pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan dan
menyalahi pemahaman para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid
Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah
al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh
bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Files: