Sabtu, 17 Desember 2011

Kelezatan Cinta

Kelezatan dan Cinta 
adalah dua hal yang jauh berbeda

(Posted in Memahami Makna CINTA)

Orang yang mengatakan bahwa cinta dan seks itu adalah dua hal yang sama, berarti dia telah menyamakan orang yang dicintai dengan sepiring makanan, padahal keduanya jauh berbeda. Dengan makanan, kita menginginkannya, namun dengan orang yang dicintai, kita mencintainya.

Agar lebih jelas perbedaan antara cinta dan keinginan (seks), kami akan memaparkan beberapa perbedaan pokok antara kelezatan atau keinginan (seks) dan cinta dalam beberapa poin berikut :


* Kelezatan akan berakhir, sedangkan kebutuhan kita akan cinta akan terus ada


Ketika kita menyantap sepiring makanan yang kita sukai, maka kita akan kenyang dan selera kita terhadap makanan tersebut akan hilang, bahkan mungkin kita tidak akan menginginkannya lagi. Inilah yang terjadi pada diri seseorang terhadap lawan jenisnya, ketika cintanya hanya berdasarkan hasrat seksual.


Ketika keinginan kita kepada orang yang dicintai tidak lebih dari seperti keinginan kita pada sepiring makanan, maka ketika kelezatannya sudah berakhir, namun kita tetap memaksakan diri untuk terus memakan makanan tersebut, mungkin pencernaan kita akan terganggu, bahkan mungkin kita akan muntah akibat terlalu banyak makan, sementara kita tidak merasakan kebahagiaan sedikitpun setelah kita meninggalkan meja makan.


Pada saat kita membayangkan menemukan apa yang diinginkan, tetapi justru saat itu kita merasakan ketidakhangatan, lalu kita mulai melirik tempat lain untuk mencari kehangatan dan kasih sayang, maka sesungguhnya kita mulai bergerak untuk menemukan sesuatu yang lebih. Kita merasa bahwa sesuatu itu ada dan sedang berseru di dalam diri kita. Sesuatu itu adalah kebutuhan tanpa batas akan cinta, yang terus menghiba agar dipuaskan, siap untuk disalurkan dan rindu untuk berkembang.


Kelezatan lahir tidak akan memberikan rasa aman dan kestabilan pada diri kita, karena kelezatan itu bukanlah cinta.


* Cinta itu kekal dan selalu baru, sementara kelezatan cepat sirna


Pemuasan hasrat seksual tidak dapat memberikan jaminan keabadian cinta pada perasaan seorang manusia. Setiap kali hasrat seksual itu disalurkan, maka hasrat itu akan berhenti memelas dan cinta -yang palsu tentuanya- akan segera hilang.


Oleh karena itu, hubungan intim antara dua anak manusia yang tidak diikat oleh hubungan cinta pasti diiringi oleh rasa lelah, sikap tidak peduli, dan rasa bosan yang muncul akibat sudah merasa puas. Sementara cinta membentuk perasaan selalu peduli kepada orang yang kita cintai. Cinta menciptakan hubungan abadi dengan orang yang kita cintai, di mana setiap hari kita merasakan perasaan yang baru terhadap orang yang kita cintai, perasaan yang tidak dibatasi oleh batas-batas setiap hari, di mana perasaan hari ini tidak ada hubungannya dengan perasaan kemarin.


Oleh karena itu, seorang pecinta hakiki, walaupun dia telah menikmati kelezatan bersama orang yang dicintainya dan telah melewati batas kepuasan seksual, semua itu tidak menyurutkan perhatian dan kepeduliannya terhadap orang yang dicintainya, juga tidak mengurangi hasratnya, bahkan hasrat tersebut semakin bertambah besar. Dia merasa bahwa hasrat itu kembali baru dan terus baru. Dia tidak pernah merasa bosan atau sudah merasa puas dengan kekasihnya. Justru keingingannya bertambah kuat dan kerinduannya bertambah besar, begitu juga dengan kasih sayangnya, seakan-akan Allah membalas hati pecinta itu dengan tambahan cinta, ridha dan kerinduan.


Ada sebuah puisi Prancis yang bercerita tentang cinta suci ini, ditulis oleh Rosemound Gerar, yang terjemahnya sebagai berikut :


Setiap hari aku mencintaimu


dengan cinta yang bertambah-tambah


Hari ini aku mencintaimu lebih dari cintaku kemarin


dan kurang dari cintaku besok


Ada pun tidak lagi menggelisahkanmu


Cinta adalah suatu proses yang selalu baru, aktif dan dinamis. Cinta selamanya tidak suka dengan keadaan stagnan atau baku. Cinta adalah aktivitas yang selalu baru, sebab cinta tidak bermaksud memiliki orang lain, namun cinta juga tidak hanya puas dengan memiliki.


* Tidak ada satu pun yang dapat menggantikan cinta, sementara kelezatan dapat digantikan oleh apa saja


Terkadang seseorang mau mengganti makanan yang diinginkannya dengan makanan lain yang mirip dengan makanan tersebut. Begitu juga orang yang kita cintai -berdasarkan cinta palsu- saat kehilangan keistimewaan atau kelezatannya, dapat diganti dengan orang lain yang dapat memberikan kelezatan yang kita kira itulah cinta. Faktor seksual adalah faktor buta yang mendorong seorang pria berhubungan dengan seorang wanita. Artinya, wanita mana saja dapat berhubungan dengan pria mana saja dan pria mana saja dapat berhubungan dengan wanita mana saja. Terkadang hubungan ini dapat berlangsung walaupun masing-masing pihak tidak saling mengenal.


Adapun cinta, ia membuka mata hati untuk melihat hakiki sebenarnya dan nilai-nilai moral yang ada pada diri orang yang dicintai. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengganti orang yang kita cintai dengan orang lain, siapa pun dia, sekalipun lebih cantik atau lebih tampan. Bahkan seorang pecinta sejati terkadang sama sekali tidak lagi menginginkan hubungan intim dengan orang lain, karena cintanya kepada orang yang dicintainya. Kelezatan yang ada di alam ini tidak bisa menggantikan senyuman yang senantiasa dinantinya dari orang yang dicintainya.


Gambaran-gambaran ini mungkin terlihat terlalu romantis, tetapi inilah hakikat yang dicari oleh setiap orang yang membaca realita dan sejarah.


Di antara cerita sejarah yang populer tentang hal ini adalah kisah Antonio, seorang panglima besar Romawi, yang menikah dengan Cleopatra, ratu Mesir. Namun setelah begitu lama menikah, panglima itu kehilangan keseimbangannya, saat mengetahui Cleopatra meninggalkannya, ketika dia sibuk berperang bersama para komandan pasukan Romawi. (Cleopatra mengira bahwa Antonio telah tewas).


Antonio pun mengejar Cleopatra, tanpa mempedulikan apa pun. Karena itu, dia kehilangan kekuasaannya yang besar, kekuasaan yang meliputi sebagian besar wilayah kekuasaan Romawi. Kejadian ini mendorong Plotark, seorang sejarawan Romawi, untuk mengomentarinya. Dia berkata : “Sesungguhnya jiwa para pecinta hanya akan tenang di utbuh orang yang mereka cintai.”


Selanjutnya, adalah kisah panglima paling agung dan paling besar, juga paling kita cintai tetapi -maaf- kami tidak banyak menyebutkan beliau dalam pembahasan kami tentang cinta. Beliau adalah panglima dan nabi besar, Muhammad SAW, yang mengenal cinta hakiki. Cinta beliau itu terus berkembang di dalam hati hingga setelah kematian kekasih beliau, tanpa ada seorang pun yang dapat menggantikannya.


Beliau mencintai Sayyidah Khadijah ra, dengan cinta yang kekuatan dan ketinggiannya mampu membuka hati Muhammad SAW dan memenuhinya setiap tahun. Bahkan cinta ini tidak padam dengan wafatnya Khadijah ra.


Setahun setelah wafat Khadijah ra, salah seorang sahabat perempuan datang menemui Rasulullah SAW dan berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak ingin menikah? Engkau memiliki tujuh tanggungan dan tugas dakwah yang penting.” Tiba-tiba Rasulullah SAW menangis dan bersabda : “Apakah ada orang lain setelah Khadijah?”


Seandainya Allah SWT tidak memerintahkan beliau untuk menikah dengan istri-istri beliau setelah Khaadijah ra, tentu beliau tidak akan menikah lagi dan tidak akan melupakan Khadijah ra. sekalipun setelah berlalu empat belas tahun dari wafatnya . Tidak ada seorang wanita pun yang dapat menggeser kedudukan Khadijah ra. di hati Muhammad SAW, bahkan ‘Aisyah ra. sendiri, istri yang paling dicintai beliau berikutnya, tidak mampu menempati kedudukan Khadijah ra. di hati beliau.


Pada hari penaklukan Makkah, beliau memasuki kota Makkah dengan kemenangan dan keberuntungan. Orang-orang Quraisy pun meminta ampunan dari beliau. Saat itu beliau melihat seorang perempuan tua yang datang dari jauh. Beliau segera meninggalkan kerumunan dan mendekati perempuan tua tersebut, lalu berbicara dengannya. Tidak berapa lama, beliau melepaskan mantel beliau dan meletakkannya di atas tanah, lalu duduk bersama perempuan tua itu di atasnya.


‘Aisyah ra. pun menanyakan tentang perempuan tua yang membuat beliau rela memberikan waktu dan bersedia berbicara dengannya pada saat-saat sepeti itu. Maka beliau menjawab : “Ini adalah teman Khadijah.”


‘Aisyah ra. kembali bertanya : “Apa yang kalian bicarakan, wahai Rasulullah?”


Beliau menjawab : “Kami berbicara tentang Khadijah.”


Ibu kita, ‘Aisyah ra, pun cemburu dan berkata : “Engkau masih mengingat perempuan yang sudah ditutupi tanah itu, padahal Allah telah menggantikan dengan yang lebih baik darinya!”


‘Aisyah ra. tidak menyadari bahwa itu sebuah kekeliruan, kecuali setelah nampak kemarahan di raut wajah Rasulullah SAW. Ketika itu pun beliau bersabda : “Demi Allah, tidak ada yang dapat menggantikannya. Sungguh dia menghiburku saat orang-orang mengusirku dan membenarkanku saat orang-orang mendustakanku.”


‘Aisyah ra. menyadari kemarahan kekasihnya, maka dia segera berkata :”Maafkan aku, wahai Rasulullah.”


Beliau bersabda : “Minta maaflah kepada Khadijah, baru aku akan memaafkanmu.”


Kisah cinta yang terus bersinar di relung-relung hati Muhammad SAW seperti sebuah mutiara ini diriwayatkan oleh Bukhari, secara makna, dari Sayyidah ‘Aisyah ra.


* Kelezatan adalah egoisme, sedangkan cinta tidak demikian


Orang-orang yang tidak peduli selain kelezatan lahir dan pemuasan syahwat, tidak mencintai, kecuali kepada diri mereka sendiri dan tidak mengagungkan, kecuali syahwat mereka saja.


Kekasih mereka hanya sebagai alat dan sarana. Tidak ada pembicaraan mereka tentang cinta, kecuali pemuasan nafsu dan kenikmatan diri dengan berbagai kelezatan yang disajikan oleh khayalan egoisme mereka dengan dalih cinta.


Kenikmatan berbeda dari kebahagiaan. Yang pertama hanya sekejap, sekilas, dan akan segera sirna, lalu penyesalan, sedangkan yang kedua adalah semangat dan kegembiraan. Kelezatan adalah murni kebetulan, sedangkan cinta adalah kesadaran lagi kejujuran yang menyentuh hati dan jiwa, serta memberikan begitu banyak kebahagiaan. Cinta memastikan saat-saat bahagia Anda dan tidak membiarkan kelezatan menguasai Anda atau menawan Anda di dalam penjara kerugian.


Psikolog ternama, Osfield Shapartes, dalam tulisannya yang berjudul Psikologi Seksual, berkata : “Dorongan seksual berafiliasi pada sisi biologis, sementara cinta berafiliasi pada sisi kepribadian dari eksistensi kita. Perbedaan ini belum kita mengerti sampai sekarang, padahal itu adalah perbedaan fundamental.”


Kemajuan pembahasan di bidang ini -sayang sekali- terhalang oleh pendapat yang dikatakan oleh dua orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang masalah seks. Mereka adalah Haflock Alice dan Sigmond Freud, yang menegaskan bahwa cinta dapat lahir dari dorongan seksual, kemudian akan kembali kepadanya.


Namun kita harus ingat bahwa dorongan seksual hanya memuaskan keingingan perorangan, sama sekali tidak menyentuh perasaan orang yang membutuhkan cinta, sementara cinta membawa kita keluar dari diri kita, lalu mendorong kita menuju makhluk lain

Bagaimana Al-Qur’anul Karim Berbicara tentang Cinta Bernuansa Fisik (Seks)

Kata “al-hubb” (cinta) dalam firman Allah SWT (Al-Qur’anul Karim) disebutkan di delapan puluh tempat lebih, dengan berbagai bentuk katanya. Akan tetapi semuanya mengacu pada makna perasaan manusia secara umum. Meskipun demikian ketika KItabullah yang mulia itu menyinggung aspek perasaan dalam kehidupan manusia, ia juga tidak melupakan aspek-aspek yang berhubungan dengan hasrat seksual dalam kedudukannya sebagai penyempurna alami bagi proses pembentukan manusia.

Al-Qur’an telah memaparkan tentang cinta yang bernuansa seks atau yang biasa dikenal dengan istilah al-hubb al-jasadi ini. Al-Qur’an telah mengatur masalah cinta seperti ini dan telah membuat sejumlahh undang-undang yang berfungsi untuk mengaturnya. Bahkan dalam tataran kehidupan berumah tangga, seorang wanita tidak halal bagi suaminya sepanjang waktu. Al-Qur’an telah mengatur waktu-waktu untuk melakukan hubungan seksual. Ia telah membolehkan hubungan intim pada waktu-waktu tertentu dan mengharamkannya pada waktu-waktu tertentu pula, yaitu ketika hubungan intim tersebut dapat menyebabkan kemudharatan. Selain itu, Al-Qur’an juga telah menetapkan beberapa undang-undang yang mengharamkan segala bentuk hubungan intim di luar ikatan pernikahan.

Demikianlah AL-Qur’an yang agung ini mengatur seluruh kepentingan individu dan masyarakat secara kebersamaan dalam sebuah keseimbangan yang menakjubkan lagi memukau. Al-Qur’an menyentuh sisi-sisi yang sangat sensitif ni dengan penuh kelembutan dan penuh kesopanan seperti gaya bahasa Al-Qur’an pada umumnya. LIhatlah penjelasan Tuhan (Al-Qur’an) yang dengan indahnya mengisyaratkan hubungan seksual dengan menggunakan berbagai ungkapan; terkadang menggunakan al-mubaasyaroh (menggauli), terkadang menggunakan al-mulaamasah (menyentuh), dan terkadang menggunakan al-ifdhoo’ atau al-ityaan (mendatangi). BIla seseorang memperhatikan ayat-ayat yang memuat kosakata-kosakata seperti ini, maka dia akan menemukan bahwa kosakata-kosakata tersebut bercirikan isyarat atau sindiran.

Al-Qur’an mengetengahkan kosakata-kosakata tersebut dalam sebuah kinayah (majaz) yang indah. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kamu mendekati mereka.” (QS. AL-Baqarah 2 : 222)

“Maka setelah dicampurinya.” (QS. Al-A’raaf 7 : 189)

“Kamu telah menyentuh perempuan.” (QS. An-Nisaa’ 4 : 43)

dan firman-firman serupa yang merupakan contoh-contoh yang mengundang perenungan dan tidak membangkitkan rasa malu. Hal serupa juga terdapat pada firman Allah SWT :

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam.” (QS. Al-Baqarah 2 : 223)

Barangkali tujuan Al-Qur’an menggunakan gaya bahasa seperti itu adalah untuk mengarahkan perhatian manusia pada aspek kelembutan dan adab yang harus diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual. Dalam Tafsir Al-Manaar, juz 2, hlm. 176 disebutkan : “Al-Qur’an yang mulia telah mengajarkan kepada kita tentang kesopanan dalam mengungkapkan perkara ini ketika pengungkapan tersebut memang diperlukan, yaitu dengan menggunakan kinayah (majaz) yang halus.”

Hal ini merupakan bukti yang paling kuat yang menunjukkan kebenaran Al-Qur’an dan sifat realistisnya, di mana ia berusaha menyeimbangkan antara aspek perasaan dan aspek hasrat seksual.

Al-qur’an bukanlah sekedar kitab larangan dan anjuran, melainkan juga kitab perundang-undangan dan kitab kemanusiaan yang paling amat sempurna. Ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dengan segenap makna dan perasaan yang menghiasinya, serta segenap syahwat dan gejolak biologis yang ada di dalamnya. Allah berfirman :

“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’aam [6] : 38) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar