Kamis, 22 Desember 2011

Wihdatul Wujud

Manunggaling Kawulo Gusti

Seringkali dalam masyarakat saya temukan beberapa kenyataan mengenai masalah yang berkaitan dengan konsep Manunggalin Kawulo Gusti. Ada sebagian yang memvonis sebagai ajaran sesat, karena dirujukkan pada seorang tokoh Syech Siti Jenar atau sebutan lain Syech Abdul Jalil. Hal ini diakibatkan pemahaman bahwa Manunggaling Kawulo Gusti berarti menyatunya fisik kawulo dengan Gusti, sehingga dianggap keluar dari rel keyakinan agama. Dengan demikian, bahwa Syech Siti Jenar dihukumi pembawa kesesatan, padahal hampir kita semua benar-benar tidak mengenal dengan baik sosoknya.

Mungkin anda pernah menemui beberapa tulisan Manunggaling Kawulo Gusti ditulis dengan “Manunggaling Kawulo kelawan Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo ing Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo lan Gusti”. Pendapat saya adalah dengan tetap mempertahankan “Manunggaling Kawulo Gusti” tanpa ada kata disela-selanya. Sebab bagi saya konsep itu sudah jelas dan tidak perlu ditambahi dengan kata Lan, Kelawan (dan-Indo) atau “ing” (pada-indo). Sebab justru penambahan itu akan mengaburkan makna yang sesungguhnya.

Baiklah mari kita bahas dari sisi bahasa. Manunggal merupakan kata andahan (sudah tidak kata dasar), dari sisi rimbag-nya (asal katanya), maka termasuk kata yang mendapat wuwuhan (tambahan) yaitu ater-ater, dan termasuk yang mendapat hanuswara.

Ma + tunggal = Manunggal

Kata tunggal berarti satu, tetapi tidak menunjukkan urutan bilangan. Untuk menyebut urutan bilangan, lebih tepat menggunakan kata “siji”. Jadi tunggal lebih menunjukkan konsep “siji” yang murni, tanpa bilangan lain yang dibayangkan. Meski ada saja yang mengatakan “tunggal” itu bisa berarti “satu” yang didalamnya ada perjumbuhan beberapa unsur, tetapi unsur2 tersebut hilang sebutannya, sehingga tetap nampak “satu” dan unsur2 tersebut dianggap tidak ada. Misalnya ada istilah : Siji Ganjil, Loro Genep, Tri Tunggal. Saya tetap menggunakan arti tunggal itu satu yang tanpa urutan berikutnya atau unsur lainnya, karena memang tidak ada yang lain itu. Sementara kata manunggal tersebut kemudian berubah menjadi “manunggale” dan diperenak dengan “manunggaling”, merupakan bentuk kata yang menunjukkan adanya aktivitas. Misalnya kata “dumadine” alam, itu berarti adanya aktivitas, proses “dadine” (jadinya) alam.

Imbuhan Ma- dalam kata manunggal tersebut menurut saya berarti “nindaake gawean”, proses, aktivitas ke arah yang tunggal. Coba perhatikan kata berikut

Ma- Kidul = Mangidul, mengarah ke Kidul (selatan)
Ma- Kulon = Mangulon, mengarah ke Kulon (barat)

Dengan demikian kata “Manunggaling” adalah aktivitas, proses, kegiatan yang mengarah ke (yang) Tunggal.

Berikutnya adalah kata Kawulo. Merupakan bentuk akronim dari ka-hana-n sing kewuWULan aLA.  Ka-hana-n dalam bahasa Indonesia lebih tepat dengan “ADA” atau “ke-ADA-an”. (Silakan anda pelajari Martabat 7 dalam Serat Wirid Hidayat Jati). Dalam konsep Jawa, manusia adalah ADA (WUJUD) yang sudah “ketambahan jelek”, sudah tidak murni lagi, tidak suci lagi, karena raga, fisik dan sebagainya dalam diri manusia sudah jauh dari ke-ADA-an yang suci, baik suci dalam pengertian Ruh sebelum lahir, suci dari segala kotoran yang menghalangi.

Berikutnya adalah kata “Gusti”, ini kebalikan dari Kawulo, “Gusti” bisa diurai menjadi baGUS-baguse haTI, artinya hanya hati yang terbaiklah yang mampu menangkap WUJUD/ADA yang Mahasuci. Bukan bagus-baguse ati itu sendiri sebagai gusti yang Mahasuci (hati-hatilah dalam memahami ini). Mengapa? Dalam konsep Jawa yang disebut Allah itu adalah “tan kinoyo ngopo”, tak dapat diumpama-umpamakan seperti sesuatu, oleh karena itu DIA Mahasuci dari usaha “meng-kayak-kayak-kan”, menyerupakan dengan ini dan itu. Mungkin anda pernah mendengar ungkapan begini “gusti Allah”, “gusti”, “gusti kang Mahasuci” dibedakan dalam perbincangan mistik Jawa. Tapi abaikan dulu perbedaan ungkapan ini. Jadi fokus pada yang dimaksud Gusti disitu adalah Gusti Yang Mahasuci, inggih Allah SWT.

Dengan demikian, rangkaian kata-kata tersebut dalam “Manunggaling Kawulo Gusti” saya artikan sebagai  :

1)    Proses nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal. Siapa yang melakukan itu? Ya Kawulo. Dengan apa? Ya Gusti, membagusi hati.

2)    Kawulo Nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal, Siapa Dia? ya Gusti Kang Mahasuci.

3)    Nindakake/melakukan aktivitas, yang dilakukan oleh Kawulo denganmurni/tunggal/lurus kepada Gusti Kang Mahasuci.

Mengapa saya bisa mengajukan beberapa pengertian? Karena (a) kata-kata itu disusun tidak dalam bentuk kalimat yang lumrah/mudah dipahami umum, oleh karena itu bisa dibaca dalam berbagai bentuk, namun (b) dengan mendasarkan pada penjabaran perkata, maka batas-batas pengartian rangkaian kata tersebut tidak boleh lepas dari maksud perkata.

Semoga pemahaman saya ini bisa membantu dalam memahami konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang sering diperdebatkan dan disesatkan. Apakah ada pemahaman saya di atas sebagai bentuk pemahaman yang sesat? Semoga tidak. Dan dalam penjabaran lebih luas lagi dalam bentuk aktivitas apa? Proses seperti apa, konsep tersebut dijalankan? Sehingga tidak menjadi wacana kosong di kepala semata, tanpa wujud konkrit.

Pembahasan saya tentang Manunggaling Kawulo Gusti dari sisi kebahasaan membawa kepada beberapa kesimpulan, yaitu :

1)    Adanya aktivitas yang berarah/bertujuan kepada Gusti Yang Mahasuci. Dengan demikian, konsep Manunggaling Kawulo Gusti adalah konsep aplikatif, praktis dan eksperimental. Tanpa adanya praktek-praktek yang seperti dikehendaki dalam konsep tersebut, maka penghayatan akan konsep tersebut akan menjadi kering, membingungkan dan bias.

2)    Adanya dua (2) subyek dengan keber-ada-annya dan kedudukannya yang berbeda, sehingga menjadi jelas mana yang menjadi tujuannya. Subyek tersebut adalah Kawulo dengan keber-ada-an yang sudah mendapat imbuhan “ala” (jelek), sementara Gusti dengan Keber-Ada-annya Yang Mahasuci, dan ini sekaligus menjadi tujuan akhir atau arah yang dituju oleh aktivitas Kawulo

3)    Ada unsur “tengah” atau antara, atau bisa disebut sarana, media atau jalan atau penunjuk arah agar aktivitas dari Kawulo menjadi terarah kepada Gusti Yang Mahasuci. Apa itu? Bagus-bagusnya hati. Posisi hati (Kawulo) inilah yang menjadi unsur tersebut. Dengan adanya unsur tersebut akan terjadi kesambungan, antara Kawulo dengan Gusti Yang Mahasuci.

Dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, maka saya berpendapat bahwa segala bentuk amal perbuatan kita :

1)    Selalu membutuhkan dan melibatkan hati, jangan sampai berbuat sesuatu tanpa ada “rasa” dari hati, akal semata-mata. Nasehat yang sering kita dengar adalah “berhati-hatilah”, ini menasehati kita agar kita benar-benar memperhatikan hati kita, bukan sekedar hati-hati tidak melanggar rambu lalu lintas, atau berkendara pelan. Dengan hati-hati berarti, kesadaran akan kondisi sebagai Kawulo, dan bukan sebagai Gusti Mahasuci. Perluasan konsep ini dalam nasehat-nasehat leluhur kita muncul misalnya dalam ungkapan :”ojok rebutan bener, tapi rebutana salah”, maksudnya ketika sedang berselisih cobalah berusaha mencari kesalahan diri lebih dulu.

2)    Segala bentuk amal perbuatan kita (termasuk amal ibadah) merupakan proses dalam rangka membagusi hati, membersihkan kondisi Kawulo. Amal perbuatan bukan sebuah tujuan akhir, tetapi sebagai standar prosedur berproses. Puasa, sholat, berzikir dan lainnya bukankah sering disebut sebagai pembersih? Tujuannya adalah membentuk amal yang didasari oleh “rasa kehati-hatian” sehingga menjadi hati yang bagus dan tercermin dalam perbuatan yang mulia.

3)    Ada arah yang jelas, arah lurus dalam berpandangan dan berorientasi. Segala amal perbuatan kita hendaknya digerakkan seperti busur panah yang ditujukan pada titik tertentu, yaitu kepada Gusti Yang Mahasuci. Ketika arah panah mulai tengak-tengok bersegeralah diperbaiki arahnya agar tetap lurus menuju kepada tujuan akhir.

Beberapa konskuensi logis dari pemahaman tersebut di atas, maka akan mendidik diri kita untuk selalu berusaha berbuat dan beramal dalam kerangka jalan lurus, dari arah Kawulo melakukan pendekatan kepada arah yang lebih baik, lebih bersih sehingga bisa dekat dengan Gusti Yang Mahasuci.

Hati adalah kekayaan yang tak ternilai, dia bisa seluas samudra bahkan seluas angkasa raya, jika dilatih membesarkan dan melapangkannya. Dia bisa menjadi cermin tembus pandang yang dapat mengenalkan kita kepada berbagai rahasia dan kesejatian hidup. Jika sering dikotori, maka dalam membersihkannya harus jauh lebih sering. Dan itu semua harus dengan amal perbuatan yang melibatkan hati.

Wallahu 'alamu bisshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar