Senin, 12 Desember 2011

Setenang pagi

Belajar Setenang Pagi

Nov 15th, 2011 • Category: Muhasabah
 
Pagi selalu hening. Itulah wajahnya. Wajah aslinya. Jika kita bisa seperti pagi, kita pun akan merasa nyaman. Tapi ternyata tidak selalu bisa demikian. Atas banyak tugas dan kewajiban kita masih sering terburu-buru. Tergesa-gesa. Ya, terburu-buru karena kurang siap menyambut pagi. Karena bangun selepas adzan shubuh berkumandang.
Shalat terburu-buru karena khawatir matahari terbit meninggi. Mandi terburu-buru khawatir tak nutut berangkat kerja. Sarapan pun terburu-buru. Serba terburu-buru karena tak sehati dengan pagi.

Tentang terburu-buru,
waspadai yang seperti  ini:
terburu-buru dalam bertindak.
Terburu-buru dalam beramal.

Terburu-buru. Tergesa-gesa. Itulah watak manusia. Karena sikap ini, banyak manusia celaka. Paling tidak, ia menyesal atas apa yang dilakukannya. Namun hal itu tidak akan pernah menimpa seorang mukmin, karena baginya berlaku muhasabah sebelum beramal.

Imam Hasan al Bashri rahimahullah berkata,  “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian ulama menjabarkan ucapan Hasan al Bashri dengan mengatakan,  “Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan bertekad melakukannya, maka ia berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya, maka ia tinggalkan. Namun jika mampu, ia berhenti lagi untuk menimbang, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau sebaliknya. Jika ternyata lebih baik meninggalkannya, ia tinggalkan.”

“Jika melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya,” kata ulama, “ia akan berhenti dan kembali menimbang, apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? “
Lebih lanjut dikatakan, “Jika hanya untuk sekedar mendapatkan kedudukan atau pujian dan harta, ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.”

Dilanjutkan pula, “Jika ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia berhenti lagi dan melihat, apakah ia akan dibantu dan ada orang  yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Jika tidak ada yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan.”

“Jika mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya,” papar ulama.

Subhanallah, begitu seorang mukmin bemuhasabah. Ia khawatir amalnya sia-sia atau gagal. Apa kabar dengan amal-amal kita, sudahkah kita muhasabahi? Ya, sebelum beramal, mukmin berhenti sejenak, menata hati agar semua ikhlas, semata-mata mengharap Allah ‘Azza wa Jalla.(harits purnama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar