Dakwah dapat
diartikan mengumpulkan manusia dalam kebaikan dan menunjukkan mereka kepada
jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf nahi munkar. Sandaran pendapat ini
adalah firman Allah Swt:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
”Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3: 104)
Ayat tersebut merupakan
landasan umum mengenai dakwah: amar ma’ruf nahi munkar. Tak diragukan lagi bahwa
ajaran tentang dakwah merupakan bagian integral dalam Islam. Di samping dituntut
untuk hidup secara Islami, kita juga dituntut untuk menyebarkan ajaran Islam ke
seluruh umat manusia. Dan berkat dakwah pula agama Islam dapat menyebar dan
diterima di mana-mana, di hampir semua belahan benua.
Dakwah adalah
tradisi yang diwariskan para Nabi dan Rasul beserta para pengikut setianya. Para
ulama, kiai-kiai yang membawa misi Islam ke negeri ini mencurahkan hampir
seluruh hidupnya untuk kepentingan dakwah demi kejayaan Islam dan kehidupan yang
damai bagi para pemeluknya di bawah naungan ridla Ilahi.
Dapat dikatakan bahwa dengan
bermodalkan spirit demi menegakkan agama Allah para Walisongo berhasil
mengislamkan kawasan Melayu-Nusantara sebagai agama mayoritas meskipun pada
awalnya penduduk lokal telah menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan
lokal lainnya selama berabad-abad. Hal ini membuktikan betapa arti pentingnya
sebuah prencanaan dan strategi dakwah yang dilakukan oleh para pejuang Islam
sejati (para pendahulu kita) dalam merombak suatu tatanan masyarakat tanpa
menimbulkan gejolak atau konflik-horisontal yang berkepanjangan. Sehingga
tampilan wajah Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia kini menjadi agama
yang ramah, toleran, penuh kedamaian dan mengedepankan suasana keselarasan
sosial.
Sebaliknya, tanpa adanya dakwah yang intensif dan terprogram
dengan baik maka nilai-nilai Islam sudah barang tentu akan semakin jauh
ditinggalkan oleh masyarakat dan komunitas manusia. Di mana musuh-musuh Islam
akan senantiasa menghendaki keruntuhannya. Karena begitu pentingnya, maka dakwah
tidak dapat dianggap enteng dan sepele.
Sesuai dengan visi dan misi
kelahirannya, bahwa NU merupakan jam’iyah keagaman yang bergerak di bidang
dakwah Islam, yang meliputi masalah keagamaan, pendidikan dan
sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini pula hingga saat ini NU tetap konsisten
pada jalur kulturalnya. Memilih model dakwah kultural ini tak lain adalah upaya
melestarikan prestasi dakwah para muballigh Islam awal di bumi Nusantara yang
lebih terkenal dengan sebutan Walisongo.
Merupakan best-practice dari pada model dakwah warisan
Walisongo yaitu soal kemampuannya dalam menjalin hubungan yang baik dengan
masyarakat setempat berikut tradisi maupun kultur lokal. Yakni dengan
memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang ramah dan
meneduhkan, sehingga tampilan wajah Islam memiliki daya tarik nan memukau kepada
penduduk pribumi yang pengaruhnya terus meluas hingga ke pusat-pusat kekuasaan
kerajaan di masa itu.
Jasa para Walisongo memiliki peranan penting dalam
mengantarkan model perjuangan para generasi da’i/kiai selanjutnya. Berkat
jasa-jasanya Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa, bahkan telah
menyebar ke seluruh Nusantara. Perlu penulis tegaskan kembali bahwa,
keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya yang tepat.
Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog,
forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya
lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai
menumpahkan darah.
Strategi dakwah yang kemudian oleh sejarawan dikenal
dengan model strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam
dalam menyikapi proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Dari sudut pandang
sosiologi, sepertinya strategi yang diterapkan Walisongo benar-benar
memperhatikan seluruh konteks maupun situasi yang melingkupi masyarakat setempat
sehingga nampak jelas tidak begitu mementingkan kehadiran simbol-simbol Islam
yang mencerminkan budaya Timur Tengah. Justru penekanannya terletak pada
nilai-nilai substantif Islam dengan kerja-kerja dakwah kultural yang penuh
nuansa dialogis dan toleran.
Upaya rekonsiliasi kultural antara Islam dan
budaya lokal ini kerap dilakukan oleh para Walisonggo sebagai kreasi dakwahnya,
dan bukti-bukti historisnya sangat mudah dilacak, sebut misalnya ornamen yang
terdapat pada bangunan masjid Wali seperti yang terdapat pada bentuk arsitektur
masjid Demak dan menara masjid Kudus atau budaya kirim do’a seperti budaya
tahlilan yang lazim oleh warga nahdliyin disebut slametan.
Dengan kata
lain upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal yang pernah digagas dan
dikembangkan oleh para Walisongo pada akhirnya melahirkan corak Islam yang khas
Melayu-Nusantra atau Islam Indonesia sebagaimana yang kita lihat
sekarang.
Dalam dekade
terakhir ini, kita menyaksikan semarak dakwah Islam di Tanah Air. Banyak
bermunculan da’i-da’i muda tampil mengisi acara-acara pengajian di berbagai
tempat dan kesempatan. Ceramah-ceramah keagamaan itu tidak saja dilakukan di
masjid-masjid atau mushalla, tetapi juga di kantor-kantor pemerintah dan
perusahaan. Selain melalui ceramah di panggung pengajian, geliat dakwah ini
diramaikan dengan hadirnya di berbagai media informasi Islami, apakah dalam
bentuk media cetak atau elektronik.
Bagi mereka yang kekeringan
spiritualitas, kapan saja dan di mana saja bisa menyiraminya, baik melalui
radio, televisi maupun majalah-majalah. Tidak sedikit kalangan pejabat,
eksekutif, profesional dan selebritis yang haus siraman-siraman rohani keislaman
rajin mengahadiri dan menyimak acara-acara pengajian dengan khidmat. Haluan dan
orientasi hidup mereka berubah ke arah yang lebih baik. Kenyataan ini tentu saja
amat mengembirakan.
Namun sayangnya, dibalik ghirah berdakwah itu
terdapat beberapa juru dakwah yang kurang memperhatikan etika berdakwah.
Misalnya berdakwah dengan gaya pidato yang provokatif dan bermuatan hasutan atau
menjelek-jelekan pihak lain. Dakwah seperti ini justru kontra produktif dan
dapat menimbulkan perpejahan atau firqah di masyarakat.
Dakwah yang
dilakukan dengan cara kekerasan dan paksaan dampak madaraatnya jauh lebih besar
dari pada manfaatnya. Bahkan yang memilukan lagi, akhir-akhir ini sering
bermunculan aksi dari sekelompok orang Islam yang cenderung anarkhis dan
destruktif. Islam menjadi beringas dan kasar. Pujian Allahu Akbar, Allah
Mahabesar, berubah menjadi semangat untuk merusak dan membakar. Cintra Islam pun
menjadi buruk di mata penganut agama lain. Agama Islam dikira identik dengan
budaya kekerasan, padahal hal itu justru dilarang agama. Bukankah pesan
Al-Qur’an pada surat An-Nahl, ayat 125 mengajarkan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
”Serulah (manusia) kepada Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Menurut keterangan ayat di atas,
dari segi metodologis, bahwa dakwah Islam dapat dilaksanakan dengan cara:
Pertama, bil hikmah, yaitu
dakwah yang dilakukan dengan contoh yang baik, di dalamnya bisa tingkah laku dan
tutur kata yang baik, sejuk dan mententramkan. Di sini dibutuhkan konsistensi
antara yang diucapkan dan tindakan nyata.
Jika tingkah laku dan tutur
kata itu diteladani, bisa menyentuh dan mengubah sikap seseorang, berarti di
dalamnya terdapat hikmah. Dakwah dengan hikmah jauh lebih efektif: tantangannya
relatif sedikit tapi dampak sosialnya lebih besar. Kebanyakan orang lebih senang
meneladani suatu kebajikan atas dasar kesadaran diri sendiri dari pada dipaksa
orang lain. Biarlah masyarakat melihat, menghayati dan mengikuti perilaku atau
contoh keteladanan yang baik itu.
Kedua, bil lisan, yaitu cara dakwah dengan
menyampaikan nasehat atau memberikan penjelasan-penjelasan keagamaan secara
lisan. Pengajian-pengajian umum atau ceramah-ceramah keagamaan lain bisa
dimasukan kategori ini. Sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang tidak sesuai
dengan norma dan etika agama, dijelaskan dan diperingatkan sehingga bisa kembali
ke jalan yang benar. Cari ini kerap mendapatkan tentangan, terutama ketika
ber-nahi mungkar (mencegah
kemungkaran/kemaksiatan). Menasehati orang agar meninggalkan kemaksiatan jauh
lebih berat daripada mengajak kepada kebaikan.
Ketiga, dengan cara dialog dengan
beradu argumentasi ataumujadalah. Dakwah model ini lebih banyak
dilakukan oleh para intelektual atau ahli agama untuk masalah-masalah berat yang
memerlukan kajian ilmiah. Baik di bidang aqidah, ibadah maupun mu’amalah
terdapat hal-hal yang perlu menggunakan argumentasi rasional. Tidak sedikit
masalah-masalah kontemporer yang tidak ada pijakan normatifnya, namun harus
ditinjau dari sudut pandang Islam, mengundang perdebatan di kalangan ulama.
Siapa yang argumentasinya lebih kuat, maka itulah pendapat yang dipandang paling
mendekati kebenaran.
Selain
menyangkut isi pesan dan metode atau cara menyampaikan pesan dakwah ada hal lain
yang perlu diperhatikan oleh juru dakwah, yaitu kalangan audien atau sasaran
dakwah. Seorang da’i yang profesional tidak boleh melakukan generalisasi atau
bersikap gebyah-uyah (hantam kromo) kepada
masyarakat yang hendak didakwahi. Mereka harus dipilah-pilah dan
diklasifikasikan terlebih dahulu sesuai latar belakang masing-masing karena hal
ini menyakut ketepatan dalam berdakwah. Kalau sejak awal tidak cermat memetakan
kelompok audien maka dakwah bisa gagal total. Hanya buang-buang waktu dan tenaga
dan bisa jadi hanya berhasil membuat umat tambah resah akibat dakwah yang
diberikan.
Dalam konteks ini sasaran atau objek dakwah dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok; Pertama, adalah golongan objek yang disebut
umat ijabah; yaitu kategori umat (audien) yang sudah siap melakukan ajaran
syariat (hukum positif) Islam. Untuk golongan objek dakwah ini tentu pendekatan
yang digunakan adalah fiqhul ahkam.
Kedua, ialah golongan objek yang
disebut umat dakwah; yaitu kategori umat yang masih dalam kondisi pembinaan atau
membutuhkan bimbingan secara intensif, di mana pesan dakwah yang diberikan
bertujuan dalam rangka pengembangan agama Islam di tengah-tengah masyarakat luas
yang beraneka ragam (plural). Maka pendekatan yang cocok untuk kondisi demikian
adalah tidak melalui pendekatan fiqh yang legal formal, namun melalui guidance and counseling atau fiqhul dakwah.
Dan ketiga, yaitu dakwah pada
golongan orang yang tersebut di luar kedua kategori di atas; yaitu dakwah dengan
melalui pendekatan fiqhul
siyasah, karena pada posisi ini seorang da’i di lingkungan Nahdlatul Ulama’
dituntut lebih profesional dalam hal memberikan penjelasan mengenai hubungan
agama dengan politik dan kekuasaan negara secara logis dan proporsional. Dengan
demikian kelompok umat di luar Islam dapat menerima seruan agama rahmatan
lil’alamin ini dalam nuansa keramahan dan kesejukan sehingga tidak muncul kesan
ancaman ataupun keterpaksaan untuk menerimanya.
Sebagai rangkaian penutup, perlu
kami informasikan di sini, bahwa akhir-akhir ini kiai-kiai pesantren di
lingkungan NU yang selama ini berjuang keras mempertahankan tegaknya idiologi
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak hanya sibuk menghadapi serbuan limbah budaya
global yang merong-rong sendi-sendi akidah umat. Akan tetapi mereka juga
dihadapkan pada mewabahnya ideologi transnasional, liberalisme dan sekularisme
yang berusaha mendesakralisasikan agama hampir tanpa batas, sehingga berpotensi
mengikis spiritualitas yang dibutuhkan sebagai salah satu pijakan utama atau
sumber nilai-nilai etis dan moral masyarakat.
Dua ”kutub ekstrim”
tersebut jelas bukan pilihan untuk membangun kejayaan Islam. Pandangan dan sikap
radikal yang nyaris paralel dengan tindak kekerasan hanya membuat wajah Islam
menjadi seram dan lekat dengan kebrutalan. Sementara sekularisme dan liberalisme
cenderung menjauhkan muslim dari ajaran agamanya.
Adalah tugas NU khususnya LDNU untuk
mereformulasi model dakwah kultural warisan Walisonggo demi menjaga
kesinambungan dan kelangsungan syiar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi
Indonesia. Selain itu, LDNU sebagai garda depan dalam mensosialisasikan
nilai-nilai Islam inklusif, ramah, moderat dan toleran, --yang mencerminkan
Islam rahmatan lil’alamin--
perlu merumuskan kembali metode dan strategi dakwah yang tepat, dalam arti
responsif terhadap perubahan zaman. Lebih dari itu, materi dakwah yang
disampaikan pun harus diupayakan tetap kontekstual, sesuai perkembangan serta
kebutuhan masyarakat sebagai objek dakwah.
Satu hal yang penting diingat,
sebagai lembaga keagamaan yang konsen di bidang dakwah Islam LDNU juga dituntut
mengembangkan program-program dakwah kultural yang lebih inovatif dan, tidak
lupa mempersiapkan kader-kader dakwah yang handal, tangguh dan memiliki
pengetahuan keislaman yang mumpuni di samping skill berdakwah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Wallahu’alam
Dr. KH. Hasyim Muzadi
Ketua Umum
PBNU