KISAH MARYAM DAN NABI ISA a.s.
Kehamilan Maryam tanpa sentuhan
seorang laki-laki
QS Maryam :
16. Dan ceritakanlah (kisah) Maryam
di dalam Al Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu
tempat di sebelah timur,
17. maka ia mengadakan tabir (yang
melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami[901] kepadanya,
maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
***[901]. Maksudnya: Jibril a.s.
18. Maryam berkata:
"Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah,
jika kamu seorang yang bertakwa."
19. Ia (jibril) berkata:
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu
seorang anak laki-laki yang suci."
20. Maryam berkata: "Bagaimana
akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun
menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
21. Jibril berkata:
"Demikianlah." Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiKu;
dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat
dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan."
22. Maka Maryam mengandungnya, lalu
ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.
23. Maka rasa sakit akan melahirkan
anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata:
"Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang
yang tidak berarti, lagi dilupakan."
24. Maka Jibril menyerunya dari
tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu
telah menjadikan anak sungai di bawahmu.
25. Dan goyanglah pangkal pohon
kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak
kepadamu,
26. maka makan, minum dan bersenang
hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah,
maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini."
27. Maka Maryam membawa anak itu
kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: "Hai Maryam,
sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.
28. Hai saudara perempuan Harun[902],
ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah
seorang pezina",
*** [902]. Maryam dipanggil saudara
perempuan Harun, karena ia seorang wanita yang shaleh seperti keshalehan
Nabi Harun a.s.
29. maka Maryam menunjuk kepada
anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil
yang masih di dalam ayunan?"
30. Berkata Isa: "Sesungguhnya
aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku
seorang nabi,
31. dan Dia menjadikan aku seorang
yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
32. dan berbakti kepada ibuku, dan
Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
33. Dan kesejahteraan semoga
dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan
pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."
34. Itulah Isa putera Maryam, yang
mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang
kebenarannya.
35. Tidak layak bagi Allah mempunyai
anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya
berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.
36. Sesungguhnya Allah adalah
Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan
yang lurus.
Berhubung saya bukan ahli fiqih atau
ushul fiqih, terkait soal apakah boleh mengucapkan selamat Natal, maka saya
“bertanya” pada ahli agama yang kompeten: apakah boleh mengucapkan selamat
Natal? Benarkan mengucapkan selamat Natal, haram?
Ternyata, kata ahli agama: boleh
mengucapkan selamat merayakan Natal. Umumnya ulama kontemporer membolehkan
pengucapan selamat Natal. Yang mengharamkan ucapan selamat Natal, kata ahli
agama ini (ingat: bukan kata saya), hampir bisa dipastikan adalah ulama
Wahabi-Salafi dan pendukungnya di Indonesia. Karena ini era kontemporer, maka
sudah barang tentu, saya ikut pendapat ulama kontemporer.
Untuk mudahnya saya copas
habis-habisan pengelompokan pendapat ulama berikut ini, dikutip dari rilis
Pesantren Al-Khoirot Jawa Timur bertajuk “Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut
Pandangan Ulama Islam” berikut ini:
Ada dua hal yang menjadi kontroversi
seputar Natal bagi muslim yaitu hukum (a) mengucapkan selamat Natal; dan (b)
mengikuti ritual sakramen Natal.
Mayoritas ulama kontemporer sepakat
bahwa mengucapkan Selamat Natal itu boleh. Yang tidak sepakat dengan pandangan
ini adalah para ulama Wahabi dan pendukungnya. Apabla anda melihat komentar
yang tidak setuju dengan ucapan selamat Natal di artikel ini, maka hampir dapat
dipastikan mereka para aktifis Wahabi di Indonesia.
Masalah kedua adalah mengikuti
sakramen ritual Natal. Untuk hal ini, hampir semua ulama kontemporer sepakat
bahwa itu haram hukumnya.
Islam sangat menganjurkan para ahli
agama di bidangnya untuk melakukan ijtihad. Muadz bin Jabal dipuji Nabi dengan
ijtihadnya saat dikirim Nabi ke Yaman sebagai Hakim.[1]
Tetapi, ijtihad adalah aktivitas
para ahli di bidang hukum agama yang disebut fiqih atau syariah. Sebagaimana
juga undang-undang negara yang hanya dapat dibuat oleh para ahli hukum. Ada
yang bermimpi bahwa ijtihad hukum Islam dapat dilakukan oleh siapa saja
termasuk oleh mereka yang hanya modal membaca hadits terjemahan. Pendapat ini
tidak logis bahkan bagi kalangan awam sekalipun. Kalau hanya ahli hukum pidana
yang dapat membuat perundang-undangan atau keputusan hukum pidana umum, maka
mengapa hukum Islam yang jauh lebih penting dapat dilakukan oleh sembarang
orang? Tokoh Ulama Wahabi sendiri mewajibkan kalangan muslim yang awam ilmu
agama untuk taqlid kepada keputusan hukum yang diambil ulama mereka.
Kembali pada soal Natal, yang
menjadi perbedaan (ikhtilaf) ulama adalah seputar mengucapkan Selamat Natal.
Sedangkan mengikuti ritual natal hukumnya haram secara ijmak (mufakat ulama
fiqh). Sebagaimana haramnya orang Nasrani mengikuti ritual solat Idul Fitri
atau Idul Adha. Namun dipersilahkan untuk ikut acara makan-mak`n setelah acara
salat Ied selesai.
CATATAN: Artikel ini bertujuan untuk
memberi pencerahan pada umat Islam terhadap persoalan seputar Natal.
Karena itu, kami memuat dua pendapat yang berbeda. Baik yang menghalalkan atau
yang mengharamkan mengucapkan Selamat Natal atau ucapan selamat yang lain pada
pengikut agama lain. Adanya arus besar dua perbedaan pendapat seputar hal ini
penting. Karena dapat dipakai oleh umat Islam sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi. Pendapat diambil dengan memakai sumber rujukan dari kedua kubu.
Dengan mengesampingkan preferensi pribadi.
Umat Islam akan menjadi rahmat bagi
diri sendiri dan bagi seluruh alam apabila (a) tidak memaksakan kehendaknya
sendiri; (b) menghargai perbedaan pendapat ulama yang berdasarkan pada argumen
ilmiah; (c) boleh setuju atau tidak setuju dengan suatu pendapat dengan tetap
menjaga perilaku Islami. Yakni, santun, logis dan tidak emosional.
Alkhoirot.net akan terus memberikan
pencerahan pada umat yang bertanya pada kami dengan berusaha memberi jawaban
terbaik (mengemukakan berbagai pendapat ul`ma) dan tanpa bias. Yang ingin
bertanya seputar agama, silahkan kirim ke alkhoirot@gmail.com dan
info@alkhoirot.com. Arsip konsultasi agama sebelumnya lihat di Konsultasi
Agama Islam.
PENDAPAT BOLEHNYA MENGUCAPKAN
SELAMAT NATAL
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
2. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’
3. Dr. Wahbah Zuhayli
4. Dr. M. Quraish Shihab
5. Fatwa MUI (Majlis Ulama
Indonesia) dan Buya Hamka
6. Dr. Din Syamsuddin
7. Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah
8. Isi Fatwa MUI 1981 Seperti
Dikutip Eramuslim.com
ULAMA WAHABI MENGHARAMKAN UCAPAN
SELAMAT NATAL
Umumnya yang mengharamkan ucapan selamat
Natal adalah ulama Wahabi. Inti alasan dari ulama yang mengharamkan adalah
karena mengucapkan selamat pada perayaan orang non-muslim sama dengan mengakui
kebenaran agama mereka,al:
1. Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Ahkamu Ahlidz Dzimmah
2. Fatwa Syeikh Al-’Utsaimin (ulama
Wahabi)
3. Seluruh ulama Wahabi Salafi.
4. Seluruh simpatisan Wahabi Salafi
di Indonesia
HARAM MENGIKUTI SAKRAMEN (RITUAL)
NATAL
Mengikuti ritual (sakramen) Natal
haram hukumnya secara mutlak. Baik menurut ulama yang membolehkan ucapan
selamat natal maupun menurut ulama yang mengharamkannya.
SUMBER RUJUKAN KUTIPAN ULAMA
A. Bahasa Indonesia
1.
sites.google.com/site/ppmenetherlands/syariah/hukummengucapkanselamatnatal
2.
ustsarwat.com/web/ust.php?id=1198564259
B. Bahasa Arab
FATWA WAHBAH ZUHAILI SOAL NATAL
1.
http://www.fikr.com/zuhayli/fatawa_p54.htm#26 (pendapat Wahbah Zuhayli yang
membolehkan).
Zuhayli mengatakan:
لا
مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات
ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
Artinya: Tidak ada halangan dalam
bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli
fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas
(kebenaran) ideologi mereka.
2. islamqa.info/ar/cat/2021 (Ibnu
Taymiyyah yang mengharamkan)
3.
majdah.maktoob.com/vb/majdah14478/ (Al Uthaimin yang mengharamkan)
4.
alanba.com.kw/AbsoluteNMNEW/templates/local2010.aspx?articleid=159838&zoneid=14&m=0
FATWA YUSUF QARDHAWI SOAL NATAL
Pada link no. 4 mengutip fatwa
Qardhawi yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada hari raya umat Nasrani
dan hari-hari raya nonmuslim lain. Berikut pendapat Yuruf Qaradawi:
يرى
جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف
القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية
في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين
للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن
والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله
عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم
يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم
بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)».
ويرى
د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم
مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا
يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة
والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات جاملة
تعارفها الناس.
Artinya: Mayoritas ulama kontemporer
membolehkan mengucapkan selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya
adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan
kondisi dunia telah membuat Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas
bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani.
Ucapan selamat dibolehkan apabila
berdamai dengan umat Islam khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan
khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga,
berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain.
Mengucapkan selamat termasuk
kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang
disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang
yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada
hari raya umat Islam. Allah berfirman: Apabila kalian dihormati dengan suatu
penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik.
Qardhawi juga menjelaskan bahwa
tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim
akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut
merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (nonmuslim)
dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka
tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan
kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka atau rela
dengan hal itu. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa
dikenal.
Fatwa Qardhawi lebih detail lihat di
sini.
5. FATWA MUI DAN BUYA HAMKA
Ada pembaca yang memprotes di kotak
komentar bahwa MUI sebenarnya mengharamkan ucapan selamat Natal sejak era Buya Hamka
berdasarkan sumber dari Hidayatullah.com dengan mengutip ucapan salah satu
tokoh MUI saat ini yaitu H. Aminuddin Ya`qub. Ucapan Aminuddin Ya’qub–kalau itu
benar ucapan dia– bahwa MUI mengharamkan ucapan Natal sejak era Buya Hamka jadi
ketua MUI adalah tidak akurat.
Saya adalah pembaca setia majalah
Panji Masyarakat di mana Buya Hamka adalah pemrednya. Saya ingat persis
tulisannya dalam kolom “Dari Hati ke Hati” yang mengatakan bahwa dia mengharamkan
umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal. Tapi, kalau sekedar
mengucapkan selamat Natal atau mengikuti perayaan non-ritual tidak masalah
(tidak haram).
Saya kesulitan mencari berkas
majalah Panji Masyarakat tersebut, tapi untungnya ada berkas seputar fatwa MUI
dan HAMKA tersebut yang masih tersimpan di arsip Majalah TEMPO 16 Mei 1981
demikian: “Pada dasarnya menghadiri perayaan antaragama adalah wajar,
terkecuali yang bersifat peribadatan . . . “
Pada 30 Mei 1981 Majalah Tempo
melaporkan:
Mengapa Hamka mengundurkan diri ?
Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya
disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI
tersebut pokok isinya mengharapkan (sic!; maksudnya mungkin mengharamkan -red)
umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan
menghormati Nabi Isa.
.. Fatwa ini kemudian dikirim pada
27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun,
harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin
Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata
juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MU. Yang menarik, sehari setelah
tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa
tersebut.
Surat keputusan bertanggal 30 April
1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko
selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya
menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat
peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam
tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan
pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.
… HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu
diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari
ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk
Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.
Perbedaan dalam Internal MUI
Di samping itu, rupanya masih adanya
perbedaan pendapat. Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua
MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. “Biarpun di situ kita tidaj ikut
bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut
bernatal,” katanya. M nurut pendapatnya, “Seluruh acara dalam perayaan Natal
merupakan upacara ritual. (Majalah Tempo, 30 Mei 1981).
Kesimpulan Fatwa MUI dan Hamka
Inti dari fatwa MUI era Hamka tahun
1981 adalah (a) haram mengikuti ritual Natal; (b) tidak haram menghadiri
perayaan Natal, bukan ritualnya; (c) MUI Jawa Timur (KH. Misbach) mengharamkan
menghadiri acara Natal baik sekedar untuk mengikuti perayaannya saja atau
apalagi sampai mengikuti ritualnya.
Fatwa tersebut tidak membahas soal
mengucapkan ucapan Selamat Natal.
MUI Tidak Mengharamkan ucapan
Selamat Natal, kata Din Syamsuddin
Dikutip dari Hidayatullah.com
Selasa, Jum’at, 23 Desember 2011:
Din Syamsuddin: “MUI Tidak Larang
Ucapan Selamat Natal”
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Din
Syamsuddin mengatakan, MUI tak melarang umat Islam memberikan ucapan “Selamat
Natal”. Ibnu Qayyim dan Syaikh Muhammad ‘Utsaimîn mengatakan haram. @ Link
sumber: http://www.hidayatullah.com/read/2359/11/10/2005/kanal.php?kat_id=9
FATWA MUI 1981 DIKUTIP DARI KUMPULAN
FATWA MUI 1997 OLEH ERAMUSLIM.COM
Eramuslim.com mengutip khutbah Jumat
Hartono Ahmad Jaiz seputar fatwa MUI era Hamka soal Natal.
(MUI) MEMUTUSKAN
Memfatwakan
Perayaan Natal di Indonesia meskipun
tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak
dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
Mengikuti upacara Natal bersama bagi
ummat Islam hukumnya haram.
Agar ummat Islam tidak terjerumus
kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan
Natal. (Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H, 7 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, Ketua K. H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI).
Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama
Indonesia 1417H/ 1997, halaman 187-193)
Sumber link: Eramuslim.com
CATATAN: Dalam fatwa di atas, jelas
disebutkan HARAMNYA mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Bukan mengucapkan
selamat Natal.
DIN SYAMSUDDIN TENTANG UCAPAN
SELAMAT NATAL
Kapanlagi.com - Ada pengakuan
menarik dari Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof DR HM Din
Syamsuddin MA soal muslim memberikan ucapan selamat Natal. “Saya tiap tahun
memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya di hadapan
ratusan umat Kristiani dalam seminarWawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya
(10/10).
Din yang juga Sekretaris Umum MUI
Pusat itu menyatakan MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi melarang
orang Islam ikut sakramen/ritual Natal.
“Kalau hanya memberi ucapan selamat
tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam
ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam,”
katanya. @ Link sumber:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/74225
KESIMPULAN HUKUM UCAPAN SELAMAT
NATAL
Seorang muslim yang mengucapkan
Selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut mayoritas ulama.
Yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen natal. Mengucapkan
Selamat Natal itu perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman
kuliah/sekolah, kolega kerja, atau rekan bisnis yang beragama Nasrani sebagai
sikap mutual respect.
Bagi yang tidak punya hubungan
apapun dengan orang Nasrani, tentu saja ucapan itu tidak diperlukan.Adapun
pendapat yang tidak membolehkan adalah pendapat sebagian kecil ulama umumnya yang
berlatarbelakang faham Wahabi Salafi yang memang dikenal ekstrim dan intoleran
bahkan kepada kelompok lain dalam Islam sendiri.
Kembali saya klik sana-sini di
internet. Akhirnya ketemulah artikel Quraish Shihab ini. Intinya, mengucapkan
selamat Natal dibolehkan dan tersurat dalam Qs surah Maryam (19) ayat ke-33.
Namun untuk memuaskan hati saya maka saya copas habis-habis tanpa ampun
sebagaimana di bawah ini, sumber di sini:
Selamat Natal Menurut Al-Qur’an
Dr. M. Quraish Shihab
Sakit perut menjelang persalinan,
memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan
tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur:
"Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu,
makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar
tidak bicara.'" "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu
bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika
melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk
bayinya.
Dan ketika itu bercakaplah sang bayi
menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat,
berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam
sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku,
dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali." Itu cuplikan
kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran
mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia
itu, Isa a.s.
Terlarangkah mengucapkan salam
semacam itu?
Bukankah Al-Quran telah memberikan
contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun,
keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa
a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw.,
karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat
dan salam untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan
rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.?
Bukankah Nabi saw. juga merayakan
hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura,
seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi
pengikut Musa a.s."
Bukankah, "Para Nabi bersaudara
hanya ibunya yang berbeda ?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.?
Bukankah seluruh umat bersaudara ?
Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas
kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.
Banyak persoalan yang berkaitan
dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan
atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang
menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang
di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu."
Manusia adalah fokus ajaran
keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan. Isa menunjuk
dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad saw.
diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu."
Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan
belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan
berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur."
Dan ketika terjadi gerhana pada hari
wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak mengalami
gerhana karena kematian atau kehahiran seorang." Keduanya datang membebaskan
maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin
dalam istilah Al-Quran.
Bukankah ini satu dari sekian titik
temu antara Muhammad dan Al-Masih ?
Bukankah ini sebagian dari kandungan
Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen
(dan Yahudi )
" Katakanlah: "Hai Ahli
Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."(QS 3/Ali Imron :64) ?
Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama
ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah
mengabadikan selamat natal itu? Itulah antara lain alasan yang
membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal
yang bukan ritual .
Di sisi lain, marilah kita
menggunakan kacamata yang melarangnya. Agama, sebelum negara, menuntut
agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian
akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan
akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari
kerancuan dan kesalahpahaman.
Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan
satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin
bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata "Allah,"
misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang
dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata
yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad)
Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan.
Beliau tidak sekalipun bertanya,
"Dimana Tuhan ?" Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu karena
ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil
bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para
ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi
"wujud Tuhan."
Natalan, walaupun berkaitan dengan
Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah,
mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini
dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang
secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.
Dengan kacamata itu, lahir larangan
dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan
selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai
pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain ? Mungkin!
Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara
akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau
demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani,
kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan,
sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim
yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu.
Adakah yang berwewenang melarang
seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran
memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai
dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu
sesuai dengan pandangan dan keyakinannya.
Salah satu contoh yang dikemukakan
adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami
ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah
demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai
dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi
sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini,
fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama
pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya,
lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang
Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih.
Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari
penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa
jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya,
dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad
saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari
wafat dan hari kebangkitannya nanti.
di rangkum dari berbagai sumber
1.
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Natal.html
MEMBUMIKAN AL-QURAN Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Dr. M. Quraish Shihab Penerbit Mizan, Cetakan
13, Rajab 1417/November 1996 Jln. Yodkali 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931
- Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net
2. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/078450166/Alissa-Wahid-Ucapan-Selamat-Natal-Tidak-Dilarang
3.
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/24/setelah-saya-tanya-ahlinya-kata-ahlinya-boleh-ucapkan-selamat-natal-519355.html
@@@ Serahkan pada Ahlinya
____________Semoga
bermanfaat._____________
Salam,