Pengertian
Qiyamu Ramadhan

Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه
البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:
Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه
البخاري
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.
Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.
Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.
Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.
Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Menurut Madhab Empat
Ada beberapa
pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan
Ramadhan sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan
Imam Hanafi dalam kitab Fathul
Qadirbahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah
Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap
istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat,
kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20
rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan
setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Madzhab Maliki
Dalam
kitab Al-Mudawwanah al Kubro,
Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin
mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim
(perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat
tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya
mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati
orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan
umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin
Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab
memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11
rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa
berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang
fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan
shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam
Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah
20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46
rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3. Madzhab
as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan
Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di
madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu
diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah
dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut
Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20
rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4. Madzhab Hanbali
Imam
Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia
berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai
mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal)
mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah
Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab,
dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar
mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama
mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada
separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya
maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin
Yazid.
Kesimpulan
Dari
apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab
sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia
mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus
untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan
mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
Para ulama ini beralasan bahwa
shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan
Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat
serta terdengar diantara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi
ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan
dalam Ushul al-Fiqh.
Lebih Utama
Mana Shalat Tarawih Berjamaah / Sendiri ?
Para ulama juga berbeda pendapat apakah seharusnya shalat
tarawih dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri di malam Ramadhan
maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:
1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana
hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam,
sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah
Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”
Alasannya:
1) Sabda Nabi Muhammad Saw.
Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:
1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana
hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam,
sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah
Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”
Alasannya:
1) Sabda Nabi Muhammad Saw.
عن يسر بن سعيد ان زيد بن ثابت قال: افضل الصلاة
صلاتكم في بيوتكم الاصلاة المكتوبة. رواه الترمذى
Artinya: hadits riwayat dari Yusrin bin Said bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Paling utama-utamanya shalat adalah shalat kalian dikerjakan dirumah kecuali shalat fardlu”.
Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana Imam Malik melakukan Qiyamul lail di Bulan Ramadhan lebih disukai yang mana berjamaah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah?
Imam Malik menjawab: kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah
Imam Turmudzi dan Imam Rabiah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain. Sementara Imam Malik lebih suka dan lebih senang melakukan shalat sunnat sendiri di rumah
Penjelasan Sahabat Umar Tentang
Bid'ah yang Baik
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه
البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu(HR. Al-Bukhari)
Nabi SAW melakukan shalat itu di rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam saja. Dalam hadit yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim,
عن عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه
وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس, ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من
الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم, فلما أصبح قال: رأيت
الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان.
رواه البخارى)
bahwa Nabi SAW pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang-orang banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi Nabi SAW tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.
Dari uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan ada dua macam:
a. Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
b. Shalat di masjid berjama’ah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat shalat Nabi Muhammad Saw itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.
Sebagian ahli fiqh mengatakan, “Kemungkinan Nabi Muhammad Saw dan para shahabatnya menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing”. Namun kemungkinan semacam ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.
Anjuran Umar ra.
Khalifah Umar bin Khottob r.a masuk ke masjid, lalu melihat para shahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina Umar r.a berkata, “Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu pandangan tentu lebih baik”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka di bawah Imam Ubay bin Ka’ab.
Setelah dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka dimana mereka tidur lebih baik daripada malam dimana mereka shalat, yakni akhir malam sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (Riwayat al-Bukhari).
Maksudnya dinamakan bid’ah itu karena bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya – bahkan bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam berjama’ah beberapa malam.
Maka anjuran Umar ra adalah perintah kepada publik umat untuk shalat malam Ramadhan di masjid secara berjama’ah pada awal malam. Ibnu al-Tin dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi Saw terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka.
Tetapi setelah Nabi Saw wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar