Kebangkitan
Islam berarti kaum Muslimin -setelah terlelap dalam ‘tidur’ yang cukup
lama alias (berabad-abad)- kini menghendaki berkuasanya Islam di tengah
masyarakat.
Ciri era ini adalah harapan untuk kembali ke peradaban Islam dan
menghidupkannya, tumbuhnya rasa percaya diri, menolak solusi politik dan
sosial yang diimpor dari Barat dan Timur, dan kembali kepada
independensi politik Islam.
Islam akan bangkit tampa kekerasan; jadi kita tak butuh teroris / pem bom bunuh diri
Dari
sisi pengaruh yang ditimbulkan, karakteristik ini menempatkan era
kebangkitan Islam pada sebuah posisi khas dalam tren politik-sosial
dunia. Prestasi besar yang melahirkan kebangkitan islami ini adalah buah
dari usaha dan pencerahan para reformis Islam. Gerakan-gerakan islami
dan pusat-pusat studi dan pengembangan ajaran Islam di bawah
kepemimpinan ulama Muslim serta hauzah ilmiah (pusat studi Islam tradisional semacam pesanteran) di Irak dan Iran adalah motor utama reformasi besar ini.
Tentu saja beberapa faktor seperti kegagalan aliran dan mazhab pemikiran politik dan ekonomi atau pelbagai isme
yang ditawarkan dan praktekkan Timur dan Barat dalam mengatasi
persoalan sosial, dan terbongkarnya kedok para penguasa dan pengklaim
modernisasi–yang merupakan pelaksana konspirasi imprealisme–serta
ketidakpercayaan rakyat terhadap kinerja mereka, juga membuat seruan dan
himbauan para reformis lebih mudah dipahami dan dicerna. Di samping
itu, kesewenang-wenangan para penguasa dan penyalahgunaan kekayaan
bangsa oleh mereka demi kepentingan kaum imprealis telah membangkitkan
ide kembali kepada naungan politik-sosial Islam sebagai sebuah perubahan
yang mendunia dan memicu kemunculan gerakan pembebasan rakyat melawan
penguasa yang menjadi boneka dan antek penjajah di dunia Islam.
Kemenangan
Revolusi Islam Iran telah meniupkan spirit baru kepada kebangkitan kaum
Muslimin dan menjadi teladan gerakan pembebasan kaum tertindas. Oleh
karena itu, kehancuran Revolusi Islam Iran adalah satu-satunya cara
menghalangi kebangkitan kaum Muslimin, sehingga karena itu kaum
imprealis mengerahkan segala daya dan upaya guna mewujudkan tujuan jahat
ini. Mulanya, mereka memaksakan perang kepada Iran melalui partai
Ba`ath Irak yang dipimpin Saddam dan didukung sepenuhnya oleh pasukan
koalisi Barat, dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Islam yang baru
lahir. Ini adalah sebuah perang tak seimbang, dimana pihak agresor Irak
disokong oleh pelbagai bantuan propaganda, logistik, dan media negara
adidaya, sementara pihak yang tertindas (Iran) berjuang sendirian
mempertahankan keyakinan dan kedaulatan negara mereka dengan fasilitas
yang sangat minim dan terbatas. Pada akhirnya, darah jualah yang
mengalahkan pedang, seperti yang sudah terbukti selama ini dalam sejarah
manusia. Artinya, dalam konfrontasi antara kebenaran dan kebatilan,
kemenangan selalu memihak yang pertama.
Meskipun
demikian bukan berarti pasca perang Irak-Iran musuh berpangku tangan
dan menyerah. Beragam konspirasi musuh untuk menghancurkan tumpuan
harapan bangsa-bangsa Muslim terus berlanjut. Para pemimpin kekufuran,
Zionisme, dan Kristen yang diikuti semua organisasi dan lembaga
internasional bersatu padu mewujudkan tujuan busuk ini. Namun, seperti
yang disaksikan semua orang, Revolusi dan pemerintahan rakyat di Iran
tetap tegak dan berdiri dengan kokoh dan bahkan lebih kuat daripada
masa-masa sebelumnya. Begitu pula halnya dengan gelora kecintaan
terhadap Islam dan perjuangan bangsa-bangsa dalam mempertahankan
norma-norma ajaran mereka—dengan berlalunya waktu—justru semakin meluas
dan mengakar.
Karena
itu, kini dunia Islam sedang melalui periode yang amat penting. Sebab,
seiring meluasnya kebangkitan Islam di dunia, musuh berusaha
menghadangnya dengan beragam cara dan rintangan. Oleh karena itu, upaya
memperkenalkan generasi Islam yang tengah bangkit terhadap tantangan dan
ancaman ini akan melipatgandakan kewaspadaan dan kemampuan mereka dalam
mengantisipasinya.
Substansi Tantangan Islam di Era Kebangkitan
Sebelumnya,
perlu kita ketahui bahwa kendati musuh memiliki kelebihan dalam sektor
fasilitas dan peralatan perang, propaganda, dan ekonomi, namun dalam
perbandingan kekuatan antara front kebenaran dan kebatilan, hari demi
hari situasi lebih memihak kepada kebenaran. Sebab, perang ini bukan
jenis perang militer, yang kelengkapan fasilitas militer bisa menjadi
penentu kemenangan. Ini adalah fakta yang juga disadari pihak musuh.
Dalam analisanya terhadap kekuatan baru Islam, Barat mengetahui bahwa
pesan yang dahulu membuat bangsa Muslim bak bendungan kuat di hadapan
kehendak kaum imprealis, kini telah kembali hidup dalam jiwa kaum
Muslimin. Ini adalah pesan yang di zaman Rasulullah saw dahulu telah
terbukti mampu memobilisasi rakyat melawan penguasa zalim dan
memunculkan revolusi budaya paling sukses sepanjang sejarah umat manusia
serta membangun peradaban yang gemilang.
Sedikit menengok ke belakang,
setelah jatuhnya Kekhalifahan Usmani yang membuat Barat berpikir bahwa
Islam sudah tamat, pihak musuh telah merasakan kekuatan pesan ini:
Kekalahan
pasukan militer Napoleon saat menyerang Mesir, kemenangan rakyat Irak
dan pengusiran penjajah Inggris di tahun 1920, digagalkannya konspirasi
imprealis Inggris di Iran dalam peristiwa pengharaman tembakau,
dibentuknya pemerintahan Islam di Pakistan, kegigihan rakyat Afghanistan
dalam mengusir Uni Soviet, dan akhirnya, perjuangan Islam di Palestina
dan belahan dunia lain, semua ini adalah tamparan yang dilayangkan
“pesan” ini kepada musuh. Dengan demikian, musuh melihat bahwa ia
berhadapan dengan suatu pemikiran yang terlahir kembali; pemikiran yang
tak bisa dilawan dengan kekuatan militer, yaitu pemikiran tentang
kembalinya kekuasaan Islam dalam kehidupan sosial masyarakat.
Melihat
realita tersebut, pihak musuh Islam kini memikirkan cara lain untuk
menghadapi pemikiran ini. Kendati dalam periode sebelum dan sesudah era
kebangkitan, cara mereka tetap bercorak kebudayaan-peradaban, namun
dalam era kebangkitan dan pasca gagalnya upaya penghapusan agama, mereka
menggantikannya dengan liberalisme, yaitu pemisahan agama dari
kehidupan politik dan sosial. Dalam rancangan ini, keimanan dan
keberagamaan hanya diposisikan sebagai suatu keyakinan dan ritual
ibadah.
Tapi di sisi lain, manusia mesti dibebaskan dari segala ikatan
agama dalam urusan sosial. Dengan demikian, pada paruh pertama, mereka
berusaha memisahkan manusia dari keyakinan terhadap Tuhan dan metafisik.
Namun dalam paruh kedua, seraya mengakui keberadaan Tuhan, mereka
menekankan pemisahan agama (baca: Islam) dari ranah sosial dan politik
manusia. Oleh karena itu, Barat memulai perlawanan terhadap pemikiran
politik Islam dan penyebarannya. Sebab, perhatian bangsa-bangsa dunia
kepada pesan pembebasan Islam dan pengaruh positifnya bagi mereka adalah
bahaya besar yang mengancam eksistensi kaum imprealis. Tak seperti
dahulu ketika musuh melawan Islam di tanah kaum Muslimin sendiri,
sekarang mereka mesti mengerahkan usaha untuk membendung masuknya Islam
ke sarang mereka.
Larangan masuk sekolah terhadap pelajar wanita
Muslimah berjilbab di sebagian negara besar Eropa, adalah salah satu
contoh nyata dari realita ini.
Dengan
memperhatikan penjelasan di atas, perlawanan Barat terhadap gelombang
kebangkitan Islam di dunia bisa dirangkum dalam tiga pilar yang semuanya
bercorak kebudayaan-peradaban.
a. Di tengah masyarakat Islam:
1. Menolak efektivitas dan komprehensifitas Islam dalam mengatur kehidupan manusia masa kini.
2. Menghembuskan pemikiran tentang kontradiksi antara hukum-hukum sosial Islam dan modernisme.
3.
Menyebar keraguan tentang sebagian hukum permanen Islam dan menyebutnya
sebagai hukum yang bersifat periodik, seperti hukum waris, hijab,
undang-undang pidana Islam, dan lain sebagainya.
4. Menolak peran ulama sebagai rujukan agama.
5. Menolak ijtihad dan spesialisasi dalam hukum-hukum Islam.
6. Menyuarakan kebebasan mutlak.
7. Menciptakan keraguan dalam keyakinan agama generasi muda terkait prinsip epistemologi Islam.
8.
Menyebarkan paham-paham Barat dan mengaitkannya dengan prinsip
epistemologi Islam, seperti pluralisme, wacana hermenetik, menolak
validitas Al-Quran serta hadis dan lain sebagainya.
9.
Melawan prinsip dan norma etika di tengah masyarakat Islam, dengan cara
menyebarkan kesepakatan internasional terkait isu HAM, emansipasi
wanita, kebebasan, dan lainnya, kemudian memaksa negara-negara Islam
untuk menaatinya.
b. Di tingkat dunia:
1.
Merusak citra Islam dan menyebut Al-Quran sebagai sumber kekerasan
(dengan cara membentuk kelompok-kelompok teroris, seperti Al-Qaeda guna
memburamkan ajaran Islam).
2. Memprovokasi para pengikut agama lain, khususnya Kristen, untuk memusuhi dan membenci kaum Muslimin.
3. Meragukan Islam sebagai agama samawi.
4. Membentuk beragam seminar dan mendirikan pusat penelitian untuk mencari kelemahan Islam.
c. Memudarkan kekuatan potensial negara-negara Islam:
1. Menciptakan pertikaian antar suku dan mazhab di dalam negara Muslim.
2. Menciptakan dan memperkeruh berbagai krisis dan sengketa politik dalam negara Islam melalui orang-orang bayaran.
3. Mendidik teroris dan berusaha mengacaukan stabilitas masyarakat Muslim.
4.
Memecah belah negara-negara Muslim guna mencegah persatuan mereka dalam
mengambil sikap di organisasi-organisasi internasional.
5.
Melemahkan kekuatan ekonomi negara-negara Muslim dan memerah kekayaan
sumber alam mereka demi mencegah kemajuan masyarakat Muslim, dengan
cara:
5.1. Menciptakan musuh imajiner, sehingga memaksa negara-negara ini membeli senjata dengan anggaran besar.
5.2. Menjebak negara-negara ini dengan persoalan internal dan tanggungan biaya besar untuk mengontrol situasi dalam negeri.
5.3. Menciptakan krisis guna mencegah perkembangan ekonomi negara-negara Islam.
6.
Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Muslim dan menyebarkan
keputusasaan di tengah mereka demi melemahkan semangat perjuangan dan
memupus harapan terhadap kemerdekaan serta kemandirian.
sumber :
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=133:era-kebangkitan-islam&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143